Kutemukan sebuah tempat baru, tempat aku duduk dan menyilangkan kaki sambil menatap langit senja. Itulah ujung balkon kamarku - tumpukan dinding bata dibalut kapur putih pudar. Tak pernah aku ke sana, sebab ke sanalah sampah-sampah sisa menyapu lantai selalu diterbangkan angin.
Sore itu aku penat. Aku butuh sesuatu yang tanpa batas untuk dipandangi hingga puas. Dan itu adalah langit senja. Dari depan kamar, langit tertutup pucuk-pucuk pauh yang mulai meranggas. Aku bergeser ke ujung balkon dan menganga. Langit tampak seperti campuran cat merah, kuning, dan putih yang ditumpahkan bertimpah-timpah di hamparan palet semesta. Pendarnya begitu memesona. Kutatap lekat elok langit yang sudah lama tak kutatap semenjak hidup tergadai demi kerja. Langit yang kupandangi dari pagi hingga malam terbuat dari asbes. Polanya bintik-bintik seragam. Di sana tak berlaku prakiraan. Tak ada nimbus cumulus, hujan es, apalagi kumpulan bangau menuju barat. Langit itu dari asbes, hanya berpola lain ketika air hujan merembes.
Balkon itu kini tempat ritual. Di sana aku lebur dalam sastra yang mengasah rasa. Di sana aku bersenandung, mengawal mega yang berarak mendung. Di sana aku diisi tanpa harus merasa dijejali. Di sana aku berpikir tanpa ada yang menganulir. Di sana aku berselonjor tanpa harus dituding kotor. Di sana aku termenung tanpa merasa dipasung.
Balkon itu memanusiakan!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
hmm... blog yang menarik, tapi kenapa termasuk golongan fakirmiskin dalam komentar ya? Sebaiknya segera bergabung dalam Front Blogger Fakir Komentar..
Hehe.. Becanda
Hahaha. Thanks udah mampir dan lihat-lihat. Soal komentar, tak terlalu perlulah itu. Writing is a therapy toh? Hehe..
Post a Comment