Gelarnya doktor. “Dari universitas Amerika,” akunya, tanpa merinci nama universitas yang dimaksud. Lupa dia barangkali bahwa di Amerika bertaburan juga universitas danga-danga (bahasa pergaulan di Medan yang berarti 'rongsokan'). Seorang mantan birokrat yang pernah mengurusi buku-buku pemerintah. Pantas saja dia mengerti banyak, bahkan hingga budaya beli dan baca buku guru-guru Indonesia. Mantap, pikirku. Meyakinkan.
Naskah bukunya sudah seminggu di tangan, rampung di-layout. Tapi malas kupegang. Kupikir hanya mumbo-jumbo psikologi sampah lainnya. Seperti membaca pikiranku, pagi itu dalam pertemuan kami, dia meyakinkanku bahwa naskahnya emas. “Belum ada buku pengembangan diri bernuansa lokal. Yang saya tulis ini meng-Indonesia banget,” mulutnya berbusa. Tak lupa dia kutip berbagai buku tentang konsep kecerdasan yang ditudingnya 'tidak aplikatif' a.k.a terlalu tinggi untuk otak jongkok orang Indonesia kebanyakan. Mantap, pikirku. Masih meyakinkan.
Okelah, tak kupermasalahkan substansinya pagi itu. Aku sedang pusing, tak berselera untuk berdebat sekalipun asumsi-asumsinya terdengar sangat lemah, jika tak ingin kusebut tanpa dasar. Dia seorang doktor, aku meyakinkan diri, naif. Debat bergeser soal lay-out. Doktor lulusan Amerika itu membuka topik dengan kalimat, “Sebagai orang yang mengerti seni, saya....” Intinya, dia minta lay-out diubah. Kurang artistik, katanya. Kucecar lebih spesifik, dia cuma bisa, “eee....anu......itu.....aaaa.....itu lho.” Prettt! Akhirnya aku iyakan. Yang penting dia cepat pulang, pikirku.
Pencerahan baru kutuai ketika doktor lulusan Amerika itu menghilang. Dalam hening, kuberanikan diri meneliti substansi naskahnya. Tak butuh waktu lama untuk menarik kesimpulan. Gardner, Stoltz, Gardner, Stoltz, Kiyosaki, Gardner lagi, lalu Stoltz lagi. Begitu terus. Aku bingung, ini buku atau kliping koran. Isinya kutipan semua, dari penulis asing pula. Jelas sudah penyakit utamanya: orisinalitas. Kuteruskan membaca, berharap menemukan emas ketika menggali lebih dalam. Lalu yang kutemukan adalah prinsip “Sing waras ngalah” yang dia sebut cerdas dan baru, prinsip efisiensi penggunaan kompor untuk menerangkan tata kelola waktu, dan berbagai asumsi-asumsi tak berdasar yang tak terhitung banyaknya. Doktor lulusan Amerika ini melulu stating the obvious alias ngomongin yang semua orang udah tahu. Lantas, di mana aspek cerdas yang tak henti dia sebut dengan mulutnya dan di naskahnya? Prettt lagi!
Soal asumsi-asumsi ini, kucoba kutip beberapa. Katanya – dalam buku 'emas' itu – orang yang baik bahasanya adalah orang yang baik dan halus kepribadiannya. Jelas saja aku teringat pada para pejabat negeri ini yang tentu baik bahasanya tapi tak terjamin budinya. Cukup satu itu saja, terlalu sakit jika diingat-ingat.
Yang paling parah, doktor yang mengaku sering menjadi pelatih pengembangan diri ini, malah mengajarkan sikap oportunis pada suatu bagian tentang komitmen. Begini dia mencontohkan. Ketika Anda bekerja di sebuah perusahaan, rajin-rajinlah membina hubungan dengan perusahaan lain yang sejenis dengan perusahaan Anda. Keuntungannya, ketika perusahaan Anda gulung tikar, Anda masih bisa pindah ke perusahaan yang sudah Anda 'dekati' itu. Doktor Amerika sinting. Dia tak paham sedang mengajarkan pengkhianatan.
Belum cukup. Di dalam buku, dia pampangkan semua foto keluarga, mulai dari foto katering kawinan anaknya, putrinya lagi main komputer, putranya lagi wisuda, ibu-ibu di RT-nya lagi senam pagi, kelas S2 yang diajarnya, pohon mangga di rumahnya, kolam ikan kerabatnya, dan tak ketinggalan tentu, foto dirinya lagi pelatihan. WTF! Maaf, terpaksa pakai frase ini. Album keluarga atau buku sih?
Dia datang di suatu siang. Senyumnya mengembang seperti biasa. Kali ini dia bawa ide yang lebih keblinger. “Saya usul agar foto saya dipampangkan di cover buku,” katanya dengan senyum mengembang tadi, sembari menunjukkan contoh buku-buku pengembangan diri dengan konsep cover serupa – karya Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll. Aku tak tahan. Kali ini dia kubantah lebih lugas. Aku utarakan keberatanku. Aku ingatkan dia bahwa orang-orang tadi mencantumkan foto di cover karena wajahnya memang sudah dikenal luas sebagai motivator profesional. Sedangkan bapak doktor kita? Yang benar sajalah mulutmu itu kalo bicara, begitu kata preman Pasar Sambu di Medan.
Dia diam, kalah. Saking panasnya, sempat terlintas di benakku untuk mendebat bukunya yang 'kosong' dan tak orisinal itu. Tapi kuurungkan niat. Aku ingat hari ini harus ke bertugas kantor representatif. Jangan sampai suasana hatiku rusak karena emosi. Tapi dia tetap saja nyerocos. Soal dirinya yang diundang jadi pembicara ahli di world book day, soal dirinya lagi yang didaulat jadi pemakalah di seminar tentang copyright, dan soal keprihatinannya pada air mata guru di Medan. Aku tak punya waktu lagi untuk mendengar pembanggaan diri berbalut keprihatinan semu. Aku pasang tampang dingin. Tak kutanggapi tawanya. Mukaku benar-benar datar. Dan ternyata berhasil. Tak lama dia pamit.
Lalu aku teringat perkataan Wilfrid Sheed suatu kali, “One reason the human race has such a low opinion of itself is that it gets so much of its wisdom from writers.”
Ahh....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
kenalin donk Niel kapan2 ;p
Post a Comment