30 August 2008

Mencincang Identitas

Dalam Identity, Milan Kundera mengisahkan Chantal yang gusar karena pria-pria tak lagi memalingkan muka kepadanya ketika dia melenggang. Tapi aku bukan sedang ingin membicarakan buku itu. Di dalam sebuah forum di satu titik waktu di penghujung Agustus, tiba-tiba kata ‘identitas’ meluncur ringan dari mulut seorang teman. Kata itu terdengar seperti tak disengaja. Dia tak diucapkan dengan tekanan, tidak juga diberi jeda setelahnya untuk membiarkannya mengendap. Hanya satu kata di antara berondongan ribuan kata berikutnya. Tapi aku menangkapnya laiknya sesuatu yang maha penting.

Dan ketika giliranku tiba untuk angkat suara, aku pun berceloteh tentang teori identifikasi diri. “Seperti ketika menonton sebuah film, kita hanya akan betah bertahan jika ada satu karakter saja di dalamnya yang kepadanya kita bisa mengidentifikasikan diri,” kataku memberi contoh. Dengan begitu fungsi katarsis dari film itu tepat mengenai kita. Tapi soal teori katarsis ini tidak kuucapkan saat itu, hanya tersimpan di kepala. Lalu aku menjadikan gagasan itu sebagai dasar ketika membicarakan iklan, pembaca, promosi, dll.

Dan seperti biasa, setiap kali bersemangat membicarakan pikiran yang kusukai, aku seperti mengalami trance. Tiba-tiba aku tak peduli lagi orang mengerti atau tidak, orang suka atau tidak, ada yang tersinggung atau tidak. Dunia luar menjadi nomor dua. Setelah trance pagi itu, gagasan-gagasanku dicincang. Disebut brilian namun diikuti dengan ‘tapi’. Aku diam, teringat satu bagian cerita Holden Caulfield dalam The Catcher in the Rye mengenai seorang temannya yang bercerita tentang pamannya dan seluruh kelas menginterupsi dengan kata “Digression!”

Anehnya, aku tak merasa tersinggung. Justru seperti ada rasa kelegaan yang amat sangat yang menekan-nekan dadaku. Akhirnya aku bisa mengerti argumentasi Holden kepada Antolini: pengutaraan pikiran yang jujur adalah pencapaian. Setelah penyincangan berakhir, seorang teman menghampiri, seperti hendak mengejek aku yang baru saja dijagal. “Yang terpenting bagiku adalah aku sudah bersenang-senang dengan pikiranku,” kataku ringan menjawabnya. Kurenungkan kembali apakah aku mengatakannya dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu tarikan napas panjang, aku yakin aku bersungguh-sungguh. Entah kenapa aku teringat Chantal dan kerisauannya. Dia yang menaruh nilai dirinya pada berpaling-tidaknya orang lain ketika dia melenggang.

Tiba-tiba aku merasakan dorongan yang kuat untuk pulang, mandi, lalu menyelesaikan Identity itu sambil bersandar di dinding dengan bantal sebagai alas punggung. Dan Senin depan aku akan ikut puasa mengumpat.