25 July 2007

Sebaris Kini

Ini kali ke-1016 dia membuka wadah kita, menghamburkan kita di meja kayu penuh ampas kopi yang tertumpah. Seperti salju pertama November, serpihan kulit ari kacang dia tepis hingga berhamburan di udara. Kotak itu dia balikkan. Dua warna cuma, hitam putih, selang-seling. Lama kupendam harap, dua dari 64 kotak yang saban hari jadi tempat kita menaruh kaki, mau menjadi satu dan melukis kelabu, tempat berselonjor yang baru. Harap yang sia-sia.

Aku mengenalmu sejak kotak kayu hitam putih itu dia beli. Saban hari kita digelarnya di meja, disusun di atas kotak kita, berhadap-hadapan, masing-masing di baris kedua. Kau bidak lemah di antara raja, menteri, dan kuda-kuda. Di pinggir, dengan langkah satu-satu. Sekali dua, hanya pada jejak pertama. Arahmu abadi ke depan, tapi tak kenal mundur, sekalipun mereka tepekur, terbahak, mengunyah kacang, menyeruput kopi hingga ke dasar gelas. Sesekali kau menyamping, tapi tetap ke depan, ketika dipaksanya menyikut yang lain, sebelum akhirnya dimangsa pada langkah kelima. Aku memendam rasa, menaruh hormat, menyimpan kekaguman. Pada keberserahanmu, ketetapan hatimu, juga langkah-langkahmu yang tegap. Aku mencinta.

Seribu lima belas kali sudah dia menggelar kita. Tak sekalipun kita tepat berhadapan di satu jalan, tak juga berselisih barang satu baris untuk saling menatap dekat. Kau jauh. Hanya bisa kupandangi, terlalu jauh bahkan untuk sekadar dibaui. Kau hanya kukenal lewat reka yang rahasia. Namun, rasa, hormat, dan kagum tadi tak beranjak dari tempatnya.

Selalu ada kesempatan sebenarnya, ketika dia serampangan melempar kita ke dalam kotak, ketika kalah tiga kali. Raja, menteri, bidak, kuda-kuda, hitam putih asal dilemparkannya di dua blok. Seribu lima belas kali aku mengucap harap, kau dilempar berdekatan denganku sehingga bisa kubaui, kupandangi, kukenal, kuhayati. Seribu lima belas kali harap itu patah. Kita pun dikurungnya di kotak nan pengap, tanpa celah untuk bergeser, tanpa dian untuk memandu mata.

Hari ini seperti seribu hari kemarin, kulempar dadu bagi kebaikan jemarinya. Dia memilih kita di antara hamparan raja, menteri, dan kuda-kuda. Aku ditaruhnya di pinggir, sendiri meratap. Kini giliranmu diangkat jemarinya ke udara. Lama di sana, seperti dihimpit jeda. “Di sini, di baris ini!” teriakku. Dia tak dengar. Dan, plekk… Dia menaruhmu di pinggir sebelah sana, di depan kuda rajamu. Ahh…, kita tak ditakdirkan bertemu.

Sempat aku putus asa, sebelum sebuah keajaiban mengemuka. Bruno, anjingnya, tiba-tiba melompati kotak kita, membuat kita jatuh dan berhamburan di lantai. Dia memunguti kita satu-satu. Aku bidak kesayangannya. Ditaruhnya aku di tempat yang itu-itu juga. Sementara kau masih di udara, dalam genggaman kasarnya. “Di sini, di baris ini!” pekikku lagi, tak lelah. Dia tak pernah dengar. Dan, plekk… Kau, aku, kita sebaris. Kali keseribu enam belas, dan kita sebaris kini.

Aku disorongkannya dua langkah ke depan. Kau disorongkan temannya dua langkah ke depan. Kita kehabisan langkah. Berhenti. Berpandangan. Satu saat setelah beribu kesempatan, dan aku justru teriris. Kini kulihat ke’kau’-anmu. Putih. Aku menatap diri. Hitam. Aku ingin lari, tapi langkah mundur bukan milik bidak sepertiku. Ingin aku menyamping, itu juga tak bisa. Dimakan, hanya itulah harapan agar kita tak berpandangan. Kau putih, aku hitam. Dan itu membuatku berduka di kali keseribu enam belas kita dibuka. Tapi aku masih mencinta.







No comments: