20 December 2008

Jangkau

Di sebuah natal, ditemani sepatah kidung yang seperti berkabung, aku menyelipkan sebuah doa yang kelelahan. Kata-katanya kulupa. Yang kuingat, isinya pernyataan menyerah. Tuhan, kataku, aku datang lagi, bukan mau tawar-menawar, melainkan untuk menyerah. Doa itu tanpa pretensi untuk mengindah. Malah seperti repetisi yang kalah.

Malam ini adalah malam aku berhenti mengerti. Tentangmu. Tentang hidup. Segalanya jauh dari nalar, terasa muskil ditakar. Tiada dalam buku. Tak juga di lagu-lagu. Aku, kau, dan pikiranku seperti dalam tiga bilik. Aku dan harap. Pikiranku yang gagap. Kau? Dalam dunia yang tak terjangkau.

Tentang natal, pewarta bicara tentang upaya. Hatiku menganga. Sudah lewat aku. Sekali-sekali sumringah. Terkadang jengah. Sakit sering. Kupikirkan apa sebab. Kudapati nalarku yang tak terjembatani, yang menggantung, yang gagal. Dari situ, di sela kidung yang menggaung, aku menyerah kepada-Nya. Kukatakan aku akan berhenti merasa serba bisa, berhenti selalu tahu, berhenti mengaku paham. Kukatakan dariku akan lebih banyak terucap kata ‘tolong’.

Di halaman baru nanti, aku akan berhenti tegar, mulai sadar dan tahu kapan harus gentar. Malam ini juga, duniamu yang tak terjangkau itu adalah surat kanak-kanak dalam huruf-huruf yang jauh dari indah, namun dikirimkan kepada-Nya dengan harapan sampai yang lugu, yang kadang terasa lucu.