25 July 2007

Gita yang Kulenguhkan ke Udara

Di mana kau, wahai gita yang kulenguhkan ke udara? Meradang aku menantimu pulang, berharap kau dipantulkan angin yang membisikimu nestapaku. Aku seperti berjalan dengan setengah jiwa kian kemari, mengendus jejak kembaramu. Ada senja di mana aku tertatih. Kakiku terlalu kebas untuk kupijakkan ke tanah. Lunglai aku duduk berteduh di naungan batang sunyi, menatap ujung-ujung kaki langit mematung. Tak juga kulihat angin memantulkanmu, wahai gita yang kulenguhkan ke udara.

Lama aku senandung dalam diamku, selama itu pula tak lagi kudengar nadaku sendiri. Suatu kali kau di sana, mencelat dari sumbat jiwa. Gita yang ejawantah dalam lentik jemari, nyanyi yang berdenting di keteduhan dua mata. Sayang, terlalu sebentar. Kau tergesa. Angin menerbangkanmu, angin yang kulenguhkan. Aku begitu berduka. Ingin kusimpan kau di rongga dada, tapi di sana tak kulihat indahmu tuk kupuja. Kulepas kau ke udara, kecantikanmu mewujud tapi tak tergenggam.

Pamit kau dalam terbangmu, menjanjikan kembali di ujung kelana. Tak sempat kucecar kapan, kau tak lagi ada. Kukejar kau juga dalam sisa asa. Kutanyai semua. Angin subuh yang basah. Udara siang yang hangus. Bahkan lenguh napas jiwa-jiwa. Tak berjawab. Kurangkai pesan dan kutitipkan agar mereka memantulkanmu ke arahku jika bersua, membisikimu tentang aku yang berduka. Hingga kini tak ada.

Lantas kuhentikan kaki yang letih berkejaran, membesarkan hati menunggu dalam penantian tak kenal henti. Dalam pasrahku justru kau mengulang langkah. Dan kita pun bersua pula. Kukabarkan betapa aku hampir mati tanpamu, wahai gita yang kulenguhkan ke udara. Kau menjawab lewat lentik jemari dan teduh dua mata. Seperti menggenggammu aku. Tapi kau nada-nada yang titiannya hanya menemui kepenuhan makna di pekat udara. Dan lagi kau tergesa, menyurukkanku kembali ke nestapa. Tapi aku rela sejuta hari lagi tertatih lelah, menunggu pasrah, demi satu sua ketiga. Kan kunanti kau, wahai gita yang kulenguhkan ke udara.

No comments: