25 July 2007

Dinamika Coret

Ada satu kebiasaan yang seperti tak pernah lekang. Aku suka sekali mencorat-coret buku atau kertas atau apa saja ketika terpikir sesuatu atau ketika kebosanan menyerang. Coretan itu beragam, mulai dari gambar, puisi, tag line, atau bahkan umpatan-umpatan spontan yang tak mungkin disuarakan. Semua itu biasanya jujur. Ia bentuk ungkapan hati yang bebas keluar tanpa terprovokasi atau takut dimaknai lain oleh orang. Dia bebas penilaian.

Pagi itu aku dibuat tersenyum oleh coretan-coretan tanganku sendiri. Semua berawal dari agenda lusuh yang kutemukan saat membereskan meja penuh serakan kertas. Agenda tahun 2006, tahun pertamaku bekerja di suatu tempat. Iseng-iseng aku telusuri halaman demi halamannya yang jauh dari rapi, sekadar ingin tahu apa yang pernah kupikirkan dahulu.

Halaman pertama sepertinya catatan-catatan kecil dalam sebuah rapat antardivisi. Tanggalnya jelas tertera, 9 Januari 2006. Aku mulai dengan tulisan-tulisan dalam format bullet-point. Ada ulasan sasaran pasar empat buku lifestyle. Di situ aku merinci selling point dan proyeksi usia pembaca. Hahaha, wajarlah. Itu bulan pertama, jadi masih bersemangat untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Di satu bagian pada halaman itu aku tulis begini, “Ingat: Pilih kelebihan terbaik buku untuk dipromosikan.” Hmmm...., di mana passion itu sekarang?

Tak jarang aku juga mencatat kesimpulan dari observasiku terhadap orang. Aku suka sekali memerhatikan orang bicara – pilihan katanya; dinamika suaranya; integrasi antara kata-kata, mimik muka, dan suara; rona wajah yang mencerminkan emosinya. Lebih jauh, aku menikmati menduga-duga apa yang ada dalam diri orang, terutama dari gagasan-gagasan dalam bicaranya. Di satu bagian, masih dalam rapat antardivisi itu, aku menulis begini, “Klasik: Self Defense Mechanism yang tidak pada tempatnya.” Lalu di bawahnya lagi, “Memorize: Pak Y!” Menyenangkan. Tapi seiring berjalannya waktu, semakin lama aku tercebur di tempat ini, aku sadar kenapa bapak yang kusebut tadi bersikap demikian. Bahkan, melalui interaksi dengannya yang belakangan sangat baik, aku menganggap sikapnya berdasar.

Aku balik bagian lain. Kali ini tak bertanggal. Tapi kalau nggak salah ini ditulis dalam sebuah rapat membahas rencana penyelenggaraan event yang cukup besar. Dengan cukup panjang aku tulis begini,

I hate bossy people!
Why do bossy people exist?
Does wealth always make people bossy?
Situation is getting out of control!
It's getting hot!
Hot money!

Hahaha. Jadi ingat sekarang. Saat itu seorang atasan seenaknya main perintah, seperti tak memikirkan bahwa orang punya pekerjaan lain yang notabene berjibun dan tak bisa dikompromikan tenggatnya. Tapi karena kultur yang memang jauh dari demokratis, orang mengunci mulut rapat-rapat sambil mengangguk-angguk palsu. Tak ada yang berani mempertanyakan, apalagi protes. Pertanyaan yang tak kunjung terjawab, kenapa pula muncul kata 'hot money' di sana? Ini jadi pe-er!

Ada juga yang membuatku terkekeh. Di suatu bagian, aku menemukan catatan kecil yang ditulis ketika tim kami dipanggil bos besar. Intinya, dalam rapat itu semua orang seperti jadi sasaran tembak. Kami dibombardir dengan kemarahan-kemarahan seputar kurangnya agresivitas, frekuensi kunjungan ke toko buku yang dinilai rendah, angka penjualan yang jarang dievaluasi – aku termasuk yang terbengong-bengong soal ini mengingat levelku memang tidak punya akses terhadap data penjualan, promosi yang lemah. Di sela-sela poin-poin yang dituduhkan, sempat-sempatnya aku menulis, “Cari arti ungkapan 'holy smoke' di Webster!”, ketika dua kata itu meluncur dari mulut si bos besar di puncak kalapnya. Hmmm..., ke mana kemampuan bersenang-senang itu kini?

Catatan lain soal rapat tak kalah miris. Tak bertanggal, hanya tertulis 'SELASA KELABU', mengingatkanku pada rapat mingguan yang dulu disiplin kami lakukan. Poin penting rapat hanya kucatat dua baris. Selebihnya adalah komentar-komentar yang menggambarkan betapa geramnya aku pada perilaku menjilat. Begini aku tulis,

“Sweet lips, Dear. Sweet lips!”, lalu,
“Even the smartest mouth will do lip service in the presence of the authority.”, lalu,
“Voice from heaven, voice from heaven, voice from heaven, voice from heaven.”, lalu,
“We know what attention is all about, Daniel!”

Namun, yang paling berkesan dari semuanya adalah petuah yang meluncur dari mulut bos perihal kerapian meja kerja. Kutulis begini,

Quotation of the day: “Mana bisa dapet suami kaya kalo kamar jorok!”

Membaca catatan-catatan itu membuatku sadar bahwa hidup ini – hidupku – tak lepas dari dinamika. Ada bagian-bagian di mana aku terdorong untuk mencurahkan pikiran terbaikku bagi pekerjaan – menganalisis penjualan, memberikan ide-ide promosi, mendaftar hal-hal yang dibutuhkan untuk melengkapi naskah, mencatat masukan-masukan penting pada rapat, dan lain-lain. Ada pula saat-saat di mana aku sadar bahwa kami semata-mata mengabdi kepada yang tak kekal, kepada yang miskin moral. Kami melayani kantong dan perut kami, bukan ilmu yang membuat orang cendekia seperti kata mulut kami kerap. Itulah saat-saat aku merasa tak menjadi bagian dari apa pun yang penting, saat-saat aku menjadi lunglai.

Tapi aku yakin ini bagian dari dinamika hidup – bahwa pemaknaan tujuan yang hakiki itu butuh proses, bahwa kesulitan justru merupakan proses pemuliaan seseorang, bahwa aku selalu punya pilihan sekalipun apa yang kupilih kelak masih entah.

No comments: