Di depan sepinggan pasta kami berkaca malam itu, ditemani lilin yang nyalanya liar oleh angin di jendela terbuka. Kami memandang potret diri di gunungan pasta merah menyala.
Wajah kami abu-abu, tidak hitam, tidak putih. Kami seperti merah pasta itu, yang memberi kesan pedas ketika diantarkan pelayan-pelayan bersenyum lebar ke muka kami, dan yang ternyata terasa masam ketika dilumat di antara geligi. Ia menipu sepintar senyum kosong kami ketika gurau demi gurau dilemparkan seseorang di meja kayu panjang itu. Gurau itu hambar bukan kepalang, namun toh kami bersedia memberinya tawa terlebar.
Kedua jarum jam dinding di sudut ruang sudah bersetubuh hening, sementara angin di luar makin menggoda kami untuk lelap. Kami paksa kelopak mata terbuka untuk meyakinkan seseorang tadi bahwa kami mendengarkan. Untunglah nyala liar lilin itu redup. Kalau tidak, urat-urat mata kami yang merah menyerupai garis retak pasti terkuak dan mengubur kesan antusias. Satu-satunya yang jujur malam itu adalah lelahnya tubuh. Sayang, kejujurannya pun kami bungkam.
Setengah jam sebelum potret pasta, kami disuguhi cermin lain. Potongan daging sapi yang nyaris setipis irisan bawang digoreng dan diletakkan berminyak di atas irisan daun hijau yang asing. Seperti fokus perhatian, irisan daging tadi dikelilingi wortel cacah dan tomat potong dadu di atas, kanan, dan kirinya. Kami tatap lekat-lekat keindahan warna-warni – hijau, cokelat muda, merah menyala, dan orens – di bawah dagu kami, berharap kenikmatan bersembunyi di sana. Kami antar irisan daging, cacahan wortel, dan tomat potong dadu tadi ke atas lidah yang basah. Lama kami mengunyah, berpikir, dan mencari. Kami tak menemukannya, melainkan yang lain – sebuah keinginan kuat untuk mencari tempat muntah. Toh kami masih tersenyum.
Pikiranku melayang ke tiga tahun silam, ketika ibu belum kembali ke Tuhannya. Serpihan-serpihan daging yang dari tadi hanya kubolak-balik dengan garpu kupandangi. “Di tangan ibuku, dia pasti jadi lebih nikmat,” benakku. Ibuku memasak dengan kejujuran. Merah di saus dan sambalnya pasti pedas. Rasa masam tomat hanya dijadikannya aksen untuk mengimbangi rasa pedas tadi. Sering kali sambal itu hanya disiramnya di atas ikan sardin yang digoreng kering.
Ditemani uap nasi panas, kami makan lahap sambil bercerita tentang pohon rambutan yang mulai berbuah atau jerat burung ayam-ayaman yang justru dilewati biawak sehingga rusak semalam. Kami tak mendiskusikan buku dan rasa senyum kami tak seperti tomat pasta.
Terkadang ia menyambut kami di sabtu siang dengan nasi panas, ikan asin kepala batu belah digoreng garing, aneka rebusan – daun singkong, daun pepaya, kacang panjang, labu siam – dan sepiring kecil sambal belacan. Belacan yang dibuat dari ebi itu dibelinya di pasar becek 500 rupiah. Ia panggang belacan itu di atas bara sampai sedikit menghitam sehingga baunya menyeruak mengusik tetangga, lalu ia ulek bersama cabai, bawang, dan tomat yang juga lunak oleh bara. Ke dalam sambal itulah aneka rebusan kami cocol, menemani dua-tiga piring nasi yang tak terasa ditambah. Diskusi kami sabtu itu soal tukang rumput di dekat kantor bapak yang ludes tanah dan kerbaunya, namun tetap gagal memasukkan anak sulungnya jadi pegawai negeri. Iba kami tulus pada orang yang ditipu itu. Kami tak membicarakan branding strategy dan rasa senyum kami tak seperti tomat pasta.
Kurindukan kesederhanaan itu, sesuatu yang sering orang tertawakan di sini. Keindahan dan gengsi mereka puja di ibukota. Orang dewakan keberbedaan di atas rasa, seperti kami yang malam itu mengucapkan terima kasih kepada pria berkulit pucat dan bermata besar pemilik restoran pasta. Sempat pula kami memuji masakannya yang enak.
“Kau dan kesederhanaanmu…,” tak kuteruskan lamunan itu, tak ingin menyeka tetes kedua di sudut mata.
25 July 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment