Di mana kau kini?
Kau tega, membuatku mencari-cari. Aku sudah mengingat-ingat di mana kau terakhir pamit. Tak ketemu. Yang kukais cuma serpihan ingatan dibalut terlalu banyak ‘kenapa’ yang tak ingin lagi kucari jawabnya. Aku ramai, tapi sepi. Aku sepi, tapi ramai. Aku mencarimu. Mendekatlah! Atau, paling tidak beri tanda kau di mana.
Malam tadi, dalam khayal kucari petunjuk di sepeda onthel-mu. Sepeda itu, katamu, kau beli dari seorang tukang besi yang hampir meleburnya jadi panci. Kau belikan dia garpu becak yang kokoh. Roda-rodanya kau beri ban baru yang bau karetnya kuciumi. Sepeda itu yang kau kayuh, membawaku ke rambung sialang, mencari ranting-ranting pohon karet untuk tungku ibu. Hari itu kita mendapat segunung ranting yang kau susun di sela palang onthel hingga besi tua itu tak bisa lagi kau tunggangi. Kau dudukkan aku di atas ranting bersusun dan mendorongku serta onthel itu keluar dari rimbun rambung. Berat, namun kau tetap tertawa ketika berceloteh tentang sarang jalak yang kita temukan kemarin. “Jalak itu bisa mengenalmu kalau sudah lama dipelihara,” katamu. Aku percaya. Kita sempat berhenti di kedai karo. Kau pesan segelas kopi. Kau tuang di piring setengah agar dingin dan bisa kuminum, sementara bibirmu menyeruput langsung dari gelas panas. “Ayo pulang,” katamu sambil memesan satu botol limun dingin lagi untuk kuminum di jalan.
Di mana kau kini?
Pagi berikutnya, kau ajakku mencari bambu. Kau memanduku menghindari semak berduri hingga kita sampai di pinggir rawa, tempat kau memotong batang-batang buluh yang kuat melengkung. Kau merangkainya dengan senar yang telah kau bentuk simpul laso. Kau juga mengajakku menebas rumput rawa, membuat lorong-lorong tempat burung ayam-ayaman mengendap-endap. Kita meninggalkan jerat itu ketika gerimis mulai menyentuh ujung-ujung daun. “Burung ayam-ayaman keluar mencari makan saat gerimis. Dia pasti kena jerat,” janjimu kusambut anggukan. Ketika gerimis pergi, kita tertawa riang saat meringkus burung-burung yang kakinya terlilit senar. Ibu menggulainya untuk makan kita siang itu.
Di mana kau kini?
Malam tadi aku teringat di mana kau pamit. Jas birumu, dasi merah hatimu, kemeja putihmu, begitu serasi. Aku panggil, tapi kau tak mendengar. Mungkin karena ratusan orang di sekitar kita terlalu bising. Aku sudah menyuruh mereka diam, tapi mulut mereka terus saja melantunkan Rembak Ras Kam, Tuhan. Aku menggoyang-goyang tanganmu yang berurat, tapi kau tak hirau. Kenapa? Bicaralah! Bicaralah! Sebelum orang-orang ini tambah riuh. Kenapa kau malah pergi? Kau turun ke bawah, diam dan rapi. Tali-tali kapal menurunkan rumahmu ke bumi. Di sanalah kau pamit tanpa kata. Kulemparkan segenggam tanah kering sebelum akhirnya kita terpisah, kutaburkan pucuk-pucuk bunga kantil sebelum melangkah ke kesendirian. Di atas pusaramu. Kini aku ingat, di sana kau pamit.
Di mana kau kini, Ayah?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Wow, amazing. I haven't read all of your blogs. but you sure have talent in using the languange to manipulate our perception.
this is my favorite so far. so..heartfelt.bravo!!
Hai, Reri. Seram banget pemilihan kata 'manipulasi' itu. Yah nggak segitu-gitunya lah. Hehehe. Thanks yah udah mampir dan liat-liat..
melting....i'm melted.......
Post a Comment