“Yang itu bagus. Sederhana cara pakainya, tapi tetap tajam.” Kau asing, namun berani mengomentari Nikon FM 2 buluk di tanganku. “Saya Mar.” Tangan kanan kau julurkan. “Dan,” balasku tak ingin kalah pendek. Tiga detik setelah itu, kita seperti sudah kenal lama, membicarakan karat dan daki di body titanium kamera tua itu. “Bandel. Kata orang kamera wartawan perang,” celotehmu. Kamera perangmu pun kutenteng pulang setelah dua pertiga uang pesangonku berpindah tangan.
Perangku bukan Waterloo. Kau tak tahu. Medan yang kurancang seminggu setelah surat PHK turun adalah Monas. Senjatanya kamera. Sengaja kupilih body yang agak besar. Kamera besar mudah meyakinkan orang udik. Targetku, tiga empat pasang muda-mudi yang ingin diabadikan ketika bergandeng tangan di bawah monumen kebanggaan Jakarta itu. Layananku delivery 5 ribu perak selembar.
Film kadaluarsa yang kubeli 5 ribu tiga kubanting putus asa. Aku tak bisa memasangnya ke kamera. Tombol mana yang harus dipencet agar kilatan cahaya keluar pun aku tak tahu. Kamera yang katamu kesayangan fotografer perang, James Nachtwey, itu kutenteng keluar, berharap menemukan seseorang tempat bertanya. Kalaupun tak ada, aku sudah memutuskan untuk menyemplungkannya ke Kali Haji Ung yang airnya lebih mirip oli bekas, sekadar kompensasi kekesalan. Namun, waktu kembali mempertemukan kita di Metromini Senen-Djago. Terima kasih telah menginjak sandalku sehingga aku menoleh. Kita turun, dan kau menguliahiku tentang shutter dan cara pasang film. “Apa tadi? Syater?” tanyaku membuatmu tersedak.
Dua bulan aku menjalani kehidupan itu: berangkat pukul 3 sore dan pulang jam 7 petang dengan 5 frame siap cetak. Usai singgah di kios Sumardjito yang plangnya ditulisi tulisan ‘AFDRUX’ gede-gede, aku pulang ke kontrakan, memberi tabik kepada nyamuk-nyamuk yang setia merecokiku ketika meninggalkan alam sadar. Paginya, kuambil foto-foto yang sudah dicetak dan kuantarkan ke rumah empunya dengan bersepeda. Pose-pose standar mereka - kedua pipi didekatkan dan senyum yang dibuat-buat – membuatku jengah. Kalau berfoto sendiri, biasanya posenya seragam: berkacak pinggang dan badan dimiringkan 35 derajat. Ya, aku butuh tempat muntah.
Sudah tiga bulan. Aku tak tahan. Dan’s Photo Section kubekukan. Kamera perangmu teronggok di lemari, kubenamkan di bawah kain jemuran yang tak kunjung sempat kusetrika.
****
Setahun sudah, dan aku kini wartawan dekil di koran gurem. Setiap kali mereka menyuruhku mencari kisah pemerkosaan. Seharian kerjaku nongkrong: di kantor polisi, rumah-rumah kardus di pinggir Ciliwung, lorong-lorong gelap Kampung Bali. “Di sana banyak kasus cabul,” mereka meyakinkanku. Kadang aku beruntung menemukannya, namun lebih sering cerita itu kukarang dari kedai kopi yang satu ke warung bubur yang lain. Jika penat, aku selalu ke Gedung Garnisun untuk menghabiskan malam. Mereka selalu memamerkan foto-foto hitam putih di sana, seperti malam ini. Aku cuma penikmat, Mar. Sudah setahun. Ratusan Metromini sudah kunaiki, dan aku tak pernah lagi menjumpaimu. Rindu…
“Masih dengan FM 2?” sebuah tangan menjawil pundakku. Itu kau, Mar. Tak berubah. “Kutumpuk di bawah kain,” aku terbata. Kita tak sempat bercakap. Mereka berebut meminta tanda tanganmu di pameran fotomu yang kesekian.
“Dari Mbak Mar,” seorang perempuan menyodorkan sobekan kertas. Aku tak paham, tapi tetap kubuka. Besok aku ke Kwitang, berburu FM 2. Mau temani? – Mar
(Medio Agustus, semua karena Get a Grip)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment