“…sekalipun hanya do di senar E yang berhasil kau petik.”
Semua orang bungkam. Rongga paru-paru mereka menggenggam erat napas yang habis ditarik dalam-dalam, seakan tak ingin dibuang dan mengganggu debu yang terbang pelan di altar. Di depan mereka semua, aku. Dengan bulir-bulir keringat yang meluncur bebas dari kepala, beradu cepat di dahi, sebelum akhirnya menggantung di dagu dan menghujam sepatu. Di pelukku, si enam senar, sahabatku kala senandung. Di sampingku perempuan itu berdiri. Gaun renda bunga-bunga, sebuah tiara di kepala, dan satu tangannya di pundakku. Di jarinya, sebentuk cincin belah rotan yang baru saja kusematkan. Ia menatapku dengan mata seteduh danau, mengganti kata dengan anggukan kepala, seperti menyuruhku mulai. Aku seperti tenang, tapi ujung sepatuku yang mengetuk-ngetuk lantai menidakkan itu.
Dia memberiku jeda yang lebih menakutkan dari malam berbadai. Aku menunggunya tanpa berani lagi mengangkat muka. Tapi ketika ‘ya’ itu akhirnya meluncur dari mulut kecilnya, aku berteriak-teriak girang dan menari-nari di bawah pekat langit Jakarta. Lalu janji bodoh kembali terucap: sebuah komposisi gitar klasik ciptaanku sendiri di hari ucap ikrar, janji yang telah 2 kali membuatku urung beristri karena tak bisa kupenuhi. Kukutuki lidah lantangku. Setelah itu, hari-hari kami diisi dengan pilih-memilih katering, menelepon teman lama yang kini jadi tukang potret pre-wedding, menghubungi pendeta anu untuk pemberkatan di kapel anu, debat estetis soal puisi penyair mana yang akan ditulis di bagian belakang undangan. Dan hari ini kami di altar gereja.
Kutarik napas dalam sambil menengadahkan kepala ke atas. Lusinan malaikat yang terlukis di langit-langit, makin menjauhkanku dari tenang. Mata kupejam, mencoba mengingat-ingat komposisi itu. Hilang. Semuanya menguap. Aku ingat harus memakai akor-akor diminish yang janggal dan gatal, tapi entah akor apa. Aku tahu harus mengeksplorasi akor-akor minor yang galau, tapi entah akor apa. Hanya satu yang membekas: do di senar E sebagai sebuah mula. Dari atas, tatapan kulempar ke penonton yang sumuk menunggu. Jemari tangan kiriku sudah lama membentuk pola E pada fret, menanti gerak jemari di tangan kanan. Mataku kembali terpejam. Aku mengumpulkan tenaga. Dan dia kupetik, do di senar E. Hanya satu itu.
Suaranya bukan “Ting…” yang berdenting, melainkan “Dung…” yang mendengung. Lalu jeda dan jeda lagi. Lantas gaduh. Orang-orang saling tatap, lalu balik badan meninggalkan aku dan dia yang memerah di muka. Mereka tak menoleh ke belakang barang sedikitpun sampai ruang itu lengang. Lalu sempat jeda dan jeda lagi. Lantas, kepadaku yang tertunduk, dia berujar pelan, “Aku tetap mencinta, sekalipun hanya do di senar E yang berhasil kau petik.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment