26 January 2012

Membongkar Presentasi Steve Jobs

Buku tentang presentasi melimpah di toko buku: mulai dari yang remeh-temeh sampai yang agak serius. Tapi kebanyakan buku-buku itu memakai pendekatan biasa: menjelaskan konsep-konsep komunikasi, pesan, media, dll, baru diikuti contoh-contoh presentasi yang efektif.

Buku Rahasia Presentasi Steve Jobs menggunakan pendekatan yang berbeda: dimulai dengan membedah contoh-contoh presentasi terbaik Steve Jobs, lalu diikuti dengan penjelasan konsep. Dari contoh presentasi Steve Jobs, penulis mengambil poin-poin pembelajaran dan menyajikan kerangka presentasi yang bisa diikuti oleh pembaca untuk meningkatkan mutu presentasinya sendiri. Selain menjelaskan tentang teknik-teknik presentasi yang efektif, buku ini juga diperkaya dengan cuplikan kisah-kisah menarik seputar kehidupan Steve Jobs.

Buku terbaik tentang teknik presentasi sejauh ini!

19 August 2011

Mengalami

Satu pagi. Dua pertanyaan. Satu tentang arti, yang lain ketidakpastian. Kita takkan membolak-balik panekuk atau telur mata sapi di pinggan, menghibur diri bahwa ada jawaban di sana. Tidak pula kita menanti jawab lewat layanan pesan-antar. Berjawab atau tidak, kaki kita akan mengukur jalanan hingga ke sudut-sudut tak terduga. Sebab bukan keterjawaban yang memuaskan kita. Justru sikap bertanya-tanya yang menghindarkan kita dari berhenti. Jadi, apa arti atau mengapa tidak pasti, tak wajib kita jawab sekarang. Sebab hidup bukan perkara bertanya-menjawab, tapi mengalami. Ya, mengalami.

05 May 2009

bukan kanan

Jawil tanganku ketika pagi tiba, karena nyanyi balam takkan membuatku terjaga, seperti juga adzan yang mengalun takkan membuatku bangun. Aku dibuai mimpi yang sesekali ditingkahi igau.

Tentang menjadi manusia. Maksudku dengan menjadi manusia adalah merasakan kelemahan, ditekuk kekurangan-kekurangan. Aku tak sedang bicara tentang sikap menyerah. Mimpi ini bukan tentang menang-kalah.

Suatu kali hening menyandung kakiku, membuat pikir terkilir. Lalu tiba-tiba aku merindukan lagu yang bukan aku, gelak yang bukan aku, tangis yang bukan aku. Mendadak aku dan keriuhan pikiran-pikiranku sendiri tak lagi cukup menyenangkan, apalagi menenangkan. Sejenak lalu kukira kebebasanlah yang paling kucari, absennya keharusan untuk menimbang-nimbang yang di luar aku. Tapi seketika aku terdorong menakar ulang definisi tentang bebas. Malah kukira kini aku ingin menimbang-nimbang yang bukan aku, melupakan diri. Aku mau menjadikan ketidakbebasan menjadi kebebasanku yang baru.

Aku ini kaki kanan yang kekar, yang ingin berlari kencang mencapai negeri-negeri jauh. Dalam kenaifan yang berurat berakar, kegairahan memandang negeri-negeri itu, kukira yang kubutuhkan adalah kasut baru. Yang kuat untuk tanah berbatu, yang tegar untuk jalan berliku. Yang takkah rusak ketika mendaki setapak. Kasut kukenakan. Seperti anak panah aku siap laju. Kencang? Pincang. Kukira yang salah jalannya, tanahnya. Kusangka yang lemah kasutnya. Lalu menoleh aku ke kiri. Tertegun. Aku sadar, telah lama berhenti pintar.

Tak hadir yang satu lagi, yang bukan kanan. Hanya bersamanya aku bisa menapak di tanah nun jauh. Ya, dia memang berarti ketakbebasan: ke mana dia, ke situ aku. Yang diinjaknya, kuinjak pula, mungkin. Aku akan berhenti seenaknya memilih kasut cokelat tua, sekiranya dia lebih suka merah muda. Karena warna kami tentulah mesti senada demi tak mengundang tawa. Tak leluasa lagi aku menapak berlama-lama di tanah. Dalam berlari, ketika dia menapak tentulah aku harus mengawang di udara, kalau kami ingin maju. Hanya ketika diam atau melompat kami dalam posisi yang sama. Dalam duduk bersila, siapa mengatasi siapa, akan berganti-ganti.

Mimpi buruk kau bilang? Sama sekali bukan. Bagiku ini mimpi terindah. Sebab dia bukan penghalang. Ketidakbebasan yang dibawanya membebaskan dan membahagiakanku. Tak akan ada lagi pincang. Hanya sesekali mungkin timpang. Saling bantu, kami daki bukit berbatu. Bergantian bertumpu, kami lalui lereng berdebu.

Aku akan belajar seni bergantian, sehingga nanti tanpa berpikir lagi aku akan tahu kapan harus menapak, kapan mengangkasa. Aku akan berhenti mempersoalkan siapa mengatasi siapa, sebab dalam bersila yang kami ingini kenyamanan bersama. Aku akan belajar menerima merah muda, membayangkannya seperti menapak di rimbunan bunga-bunga. Tentulah kami akan saling memerciki ketika berlari melintasi pantai, tapi kami takkan berang. Sebab percikan itu akan mendinginkan otot-otot yang haus. Dan ketika akhirnya menapak di tanah yang pernah tak terjangkau mata, mungkin kami telah tebal berdebu, pun berbau. Tapi itu tak lagi soal, sebab kami telah tiba dan masih bersama. Kanan dan kiri yang ke mana pun sehati.

Dalam terpejam, aku tak tahu apakah balam telah berdendang, adakah adzan kumandang. Tapi berjanjilah tuk bangunkan aku kala pagi mendekat. Sebab aku ingin bergegas melihatnya muka dengan muka, sekalipun harus pincang, untuk katakan bahwa aku si buta yang baru tercelik. Yang kubutuhkan bukan kasut cokelat tua. Melainkan yang bukan kanan, yang akan membawaku serta dan yang dengan tertawa kuikuti entah ke negeri mana.

Jawil tanganku ketika pagi tiba.

20 December 2008

Jangkau

Di sebuah natal, ditemani sepatah kidung yang seperti berkabung, aku menyelipkan sebuah doa yang kelelahan. Kata-katanya kulupa. Yang kuingat, isinya pernyataan menyerah. Tuhan, kataku, aku datang lagi, bukan mau tawar-menawar, melainkan untuk menyerah. Doa itu tanpa pretensi untuk mengindah. Malah seperti repetisi yang kalah.

Malam ini adalah malam aku berhenti mengerti. Tentangmu. Tentang hidup. Segalanya jauh dari nalar, terasa muskil ditakar. Tiada dalam buku. Tak juga di lagu-lagu. Aku, kau, dan pikiranku seperti dalam tiga bilik. Aku dan harap. Pikiranku yang gagap. Kau? Dalam dunia yang tak terjangkau.

Tentang natal, pewarta bicara tentang upaya. Hatiku menganga. Sudah lewat aku. Sekali-sekali sumringah. Terkadang jengah. Sakit sering. Kupikirkan apa sebab. Kudapati nalarku yang tak terjembatani, yang menggantung, yang gagal. Dari situ, di sela kidung yang menggaung, aku menyerah kepada-Nya. Kukatakan aku akan berhenti merasa serba bisa, berhenti selalu tahu, berhenti mengaku paham. Kukatakan dariku akan lebih banyak terucap kata ‘tolong’.

Di halaman baru nanti, aku akan berhenti tegar, mulai sadar dan tahu kapan harus gentar. Malam ini juga, duniamu yang tak terjangkau itu adalah surat kanak-kanak dalam huruf-huruf yang jauh dari indah, namun dikirimkan kepada-Nya dengan harapan sampai yang lugu, yang kadang terasa lucu.

06 November 2008

Akhir

Janganlah kau merengut, Karenin. Aku bisa apa ketika pohon apel bengkok di pusaramu meranggas? Tak ubahnya tanduk rusa, kini dia menjelma payungmu. Kita tak bisa melawan musim bukan?

Karenin, aku menjenguk bukan sengaja. Apalagi tak rela kau berhenti terjaga. Aku telah mencari orang lain, tapi yang kudapati hanya perbuatan bersikukuh, bersitegang, dan penyimpulan demi penyimpulan. Tak kutemukan yang sesabar kau, Karenin. Sungguh! Bukan, kukira ini bukan masalah pelik. Malah aku curiga, ini cuma cara memelik-melikkan perkara. Baiklah, kau dengar aku bercerita.

Pernahkan kau alami malam yang sedetik lalu pekat tiba-tiba benderang bak siang? Kukira tidak. Tapi aku, Karenin, di suatu malam bulan Oktober yang menggigil, aku merasakannya. Terselip di kepadatan seribu pasang mata saat itu, aku mengintip langit dalam diam. Lalu terdengar letupan di kejauhan. Dan seribu wajah tengadah. Ledakan itu di bawah, tapi di langit seperti hujan meteor. Bukan pijar-pijar yang menyeramkan, tapi sinar-sinar memesona. Aneka warna, Karenin. Ada yang merah dan membentuk hati di langit. Pasti akan jadi kesukaanmu. Aku suka yang berputar-putar tapi tanpa gelegar. Bocah-bocah di depanku berceloteh tentang kembang api mana yang mereka puja. Aku begitu riang dalam sunyiku, Karenin. Tanpa sadar mulutku menganga. Malam seperti melompat ke siang.

Tapi seperti segala hal, keterpukauanku segera berakhir, Karenin. Setelah setengah jam, gulita kembali meraja. Sejak itu, aku selalu dihantui perasaan berakhir. Apa saja, yang kusuka pun yang kubenci, akan menemui akhirnya. Kebebasan yang kukira kugenggam di negeri jauh ini, segera mati oleh pikiran-pikiran tentang pulang. Perasaan tak diburu-buru dan keleluasaan untuk memikirkan apa saja lebih lama, dihantar ke ajal oleh rekaan-rekaan tentang tenggat. Keindahan-keindahan yang ditangkap mata di tanah ini, berakhir ketika raga pindah nanti. Dugaan-dugaan terbaik tentang kekasih, mungkin sirna ketika nanti kami saling menatap mata. Udara dingin ini akan berhenti ketika mendekat ke khatulistiwa. Hanya satu yang tak kunjung berakhir, Karenin: pikiran-pikiran tentang keberakhiran. Dan semua disulut oleh kembang api yang, setelah setengah jam, henti.

Karenin, beri tahu aku satu saja yang tak akan berakhir. Bisikkanlah supaya segera kukejar. Tapi memang tak ada kan, Karenin? Semuanya akan menemui perhentian. Lalu, apa nasibku jika perasaan ini terus memberondong? Tak bisakah kau ajari aku mumifikasi, agar bisa kuawetkan semua yang kusuka di sini lalu kubawa serta? Karenin, suatu kali aku mendengar seseorang bernyanyi. Tentang kekuatan memori, yang katanya bisa membawa yang lalu hidup kembali. Itulah mengapa Yesus meminta diingat ketika murid-murid makan roti dan minum anggur. Itulah mengapa penjahat di Golgota memohon untuk diingat ketika sang Kristus telah menjejak Firdaus. Itulah juga yang kini kulakukan, Karenin, merekam semuanya dalam ingatan. Sebaik-baiknya, serinci-rincinya, sedalam-dalamnya. Supaya kelak ketika semuanya berakhir, aku bisa menghidupkannya dan sadar bahwa semuanya pernah bermula, meski tak lama. Tapi aku tahu benar, kenangan hanya maya. Aku tak akan pernah lagi melihat dan membauinya seperti kala aku di dalamnya. Dan karenanya aku takkan pernah dipuaskan. Seperti saat ini, Karenin, ketika aku mengaduh padamu. Kau yang senantiasa hidup namun tak lagi ada. Dahulu mungkin kau akan bicara, tapi kini apa yang pusara bisa kata?

Karenin, setelah kembang api akhirnya padam malam itu, aku hanya bisa menetapkan hati, bahwa aku akan benar-benar hadir dalam tindakan apa pun yang kupilih, dalam saat apa pun yang kujejak. Agar ketika semuanya berakhir, aku tak menyimpan sesal.

Tak usahlah kau gusar, Karenin. Semuanya akan berakhir, juga musim gugur ini. Kelak daun-daun hijau kembali, seperti sediakala. Dan aku masih akan ke sini, ketika pikiran tentang keberakhiran ini pun berakhir, dan keluh tentang entah apa lagi berawal. Kuharap kau tak bosan.

02 November 2008

Dulce et decorum est

Bent double, like old beggars under sacks,
Knock-kneed, coughing like hags, we cursed through sludge,
Till on the haunting flares we turned out backs,
And towards our distant rest began to trudge.
Men marched asleep. Many had lost their boots,
But limped on, blood-shod. All went lame, all blind;
Drunk with fatigue; deaf even to the hoots
Of gas-shells dropping softly behind.



Gas! GAS! Quick, boys!--An ecstasy of fumbling
Fitting the clumsy helmets just in time,
But someone still was yelling out and stumbling
And flound'ring like a man in fire or lime.--
Dim through the misty panes and thick green light,
As under a green sea, I saw him drowning.



In all my dreams before my helpless sight
He plunges at me, guttering, choking, drowning.



If in some smothering dreams, you too could pace
Behind the wagon that we flung him in,

And watch the white eyes writhing in his face,

His hanging face, like a devil's sick of sin,

If you could hear, at every jolt, the blood

Come gargling from the froth-corrupted lungs

Bitter as the cud

Of vile, incurable sores on innocent tongues,--

My friend, you would not tell with such high zest

To children ardent for some desperate glory,

The old Lie: Dulce et decorum est

Pro patria mori.





Wilfred Owen

01 November 2008

Apa pun lagi

Salju turun ini senja,
di stasiun Victoria yang sekelam sketsa.
Seperti serpih kulit gandum yang diterbangkan angin
dari bibir alat penampi.


Bulir-bulirnya putih,
meluncur mencair ketika menyentuh bibirku.
Dengan mulut menganga
kucoba menangkap sekepal,
tapi sekuku pun tidak,
apalagi segumpal.


Ke mana kau?


Cepatlah, sebelum gegas mereka.
Usah takut udara yang beku.
Juga digentarkan angin yang menciutkan belulang.
Ada tanganku untuk kau pegang.
Kuhembuskan uap hangat,
kapan pun jemarimu mengerang.


Ke mari, ajarku menari.
Gerak apa saja,
tak seirama pun tak apa.
Berhitung kita hingga tiga,
lalu langkah menyamping sehasta dua.


Kau ingin aku bersenandung?
Wintersong kudendangkan ke telingamu,
setengah berbisik.


Menari kita, berputar-putar.
Tak ada orang lain,
tanpa silam, tak ingat esok.
Sampai mata kita terpejam,
ke buaian salju membenam.


Dan malam ini,
kita tak ingin apa pun lagi.