Telah lama dialog diri itu tak singgah. Lama aku berdiam dalam gaduh yang saru dengan hening. Ia justru menjelma lewat sepotong film, yang tajuknya pun tak kutahu apa. Empat perempuan – kakak beradik – memenggal pengondisian sosial, bahwa anak harus hormat pada bapak, tanpa “kecuali” dan koma. Alur maju-mundur yang bikin bingung, adegan-adegan sekelam comberan. Sejak kecil mereka dianggap sang bapak sebagai onggokan daging berjalan tanpa hati. Dipukul, disiksa, diperkosa, dan diajak bungkam. Gejolak justru lahir ketika badan menua.
Ada yang jadi gila, yang lain ikut jadi pemukul anak, ada yang tak pernah bisa benar-benar menjadi istri. Namun, yang paling membuatku terenyuh adalah si sulung yang duduk di kursi saksi, merekonstruksi hidup yang bak jelaga. Detail pengalamannya terlalu anyir. Ya, diperkosa memang biadab. Benar, dipukul memang keji. Tapi katanya bukan itu yang paling menyiksa, melainkan hatinya yang tak lagi merasa. Ketika bayi-bayi menemui ajal saat ia membantu persalinan ibu mereka, perempuan suster itu tak lagi merasakan duka. Tapi saat itu masih ia anggap biasa.
Lantas orang bercerita tentang bahagia melahirkan anak. Ia berharap merasakan yang sama. Tapi ketika seorang anak lahir dari rahimnya, ia tak juga mengecap rasa yang lama dicari-cari. Tak ada bahagia. Hanya beban dan kebencian, bahkan hingga anak kedua, ketiga, keempat. Tak pernah ia memukul mereka, sama seperti ia juga tak pernah mencintai mereka. Tapi ia sadar, tak mencinta sama kejamnya dengan menyiksa. Lantas, setelah semua dikuak, ia pun mulai terisak, seperti seorang terpidana yang memohon-mohon pengampunan. Kepada anak-anaknya yang duduk di kursi depan, yang menatapnya dengan bingung – harus menaruh simpati atau semakin memupuk benci. Perempuan itu terus memohon ampun hingga di luar pengadilan. Tapi anaknya satu persatu berlalu.
Kursi itu baginya sebuah mula. Sekalipun sesalnya belum tercerna, air mata yang menitik adalah tanda hati yang mulai membaik. Ia seperti mendapat semacam bahagia karena hati yang mati mulai kembali mengecap rasa. Sekalipun kali ini baru rasa pahit dan sesal. Di situ aku berkaca, bahwa anugerah terbesar dalam hidup adalah ketika hati masih bicara. Ketika ia tak tumpul rasa.
Tahun yang gila. Semuanya disorot dengan pikiran yang perkasa, sementara hati dibebat ke tiang dan dibiarkan kehilangan suara. Apresiasi mati atas nama yang akali. Emosi meluruh dalam untung-rugi. Yang di luar semata-mata dijengkali dengan pagu diri. Hasilnya: kritik yang katamu membangun, padahal unjuk kepintaran; saran yang dibagi dengan murah hati, padahal unjuk kebijaksanaan; pertolongan demi pertolongan, padahal sebuah proses pencitraan. Lantas tawa getir. Diam. Umbar kata. Hening. Berfilsafat. Sunyi. Bersenandung. Sepi. Dan kehampaan.
Ketika mengurai sebab, tahulah aku bahwa hidup sudah lama tanpa jeda. Dijejali dengan kombinasi soal-solusi. Tak ada ruang untuk diam, hanya pikiran yang terus dipecut demi yang kata mereka terbaik. Lantas, potongan-potongan A Beautiful Mind menjadi dingin dalam kritik yang bertubi-tubi. Ada saja yang buruk. Kalau pun bagus, hanya berhenti di “bagus”. Sudah hampir berujung, dan aku tak berharap banyak. Lalu di podium, John Nash yang tua memandang istrinya, berterima kasih karena telah menjadi teman paling setia, bahkan ketika hidup berkubang di titik nol. Aku terdiam, hilang. Ada yang kencang berdegup di dalam. Lalu terbayang perasaan-perasaan syukur, cinta, dan haru. Dan mataku kini gumpalan awan hitam yang mulai menitikkan hujan. Tahulah aku, hidup masih hidup, tapi telah lama tuli pada hati. Suara itu masih di sana, tapi kugilas dengan hidup yang bergegas. Terima kasih atas satu mula lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment