25 July 2007

Nostalgia

Aku lahir di lingkungan pencerita. Di tempatku, bayi-bayi sudah mendengar orang-orang bicara dalam detik-detik menjelang lompatan dari rahim ke dunia. Saat seorang ibu mulai mengalami kontraksi, sang suami mengumpulkan para tetangga di rumahnya. Orang-orang di tempatku menyebutnya lek-lekan – konon dari kata 'melek'. Sementara bidan panggilan sedang berjuang bersama sang ibu untuk menghadirkan kehidupan baru ke dunia, para bapak itu menunggu di luar, bertukar kabar dan cerita. Tak jarang bual diperdengarkan seperti repertoar musik klasik, sementara pendengarnya terpana – tak jarang dengan mulut menganga. Bual dan bongak bukan barang tabu di tempatku. Kami menerimanya sebagai bunga-bunga interaksi. Justru kalau tak ada bongak, kopi akan tetap penuh dalam gelas hingga dingin, tak ada kulit ari kacang beterbangan di udara, tak ada bahak yang memenuhi ruang. Di lingkungan itu aku lahir. Memang tak diantar prosesi lek-lekan, sebab ibuku seorang perawat yang sudah lebih percaya keamanan persalinan di rumah sakit. Tapi tetap saja, kata ibu, ketika aku dibawa ke rumah, para bapak – para tukang bongak pengantar partus itu – menyambutku dengan aneka cerita yang mereka luapkan dalam suara keras yang parau sehabis bergadang.

Bapakku pun seorang pencerita ulung. Setiap kali kami berkumpul di atas tikar pandan yang digelar di lantai sambil menikmati makan malam, dia membius kami dengan rupa-rupa kisah. Bapak tak piawai berdongeng. Dia spesialis kisah nyata. Semua hal seperti begitu melekat di otak pengamat ulung itu. Seperti malam itu, dia mengisahkan ironi masa kecil yang disebutnya keajaiban. Di suatu purnama, ia berjalan lunglai di tengah pematang sawah. Bapak terlambat pulang sore itu sehingga jatah makanan sudah ludes oleh sembilan saudaranya. Dia pun keluar, merajuk, bermaksud untuk menyendiri membunuh kekesalan. Jalanan gelap pekat. Tapi karena telah mengenal tiap jengkal pematang sawah itu, ia tak terperosok atau jatuh sekalipun gelap. Perutnya lapar tak tertahankan. Hampir pingsan, akunya. Tiba-tiba lamunnya buyar ketika sesosok makhluk besar melompat ke pematang dan menggelepar. Ragu-ragu ia dekati, tapi lapar memaksanya berani. Barangkali ini rezeki dari Yang Pemurah, pikirnya. Dan benar saja, seekor ikan gabus – kami menyebutnya bado – tergolek lemah, terengah mengumpulkan napas. Mungkin ikan sinting yang mencoba bunuh diri, kata Bapak. Kami pun tergelak, tak sadar telah mengeruk periuk hingga ke dasar. Lalu sang pencerita ulung itu melanjutkan ceritanya tentang mengumpulkan ranting kering, menyalakan unggun dekat sebuah gubuk, lalu memanggang 'korban bunuh diri' itu.

Di lain waktu, Bapak akan mempertontonkan kehebatannya menirukan mimik dan suara. Ada saja tingkah konyol orang-orang yang ia tirukan dengan kocak – kadang satir. Tak hanya mimik dan suara, bahasa orang-orang itu pun ia lantunkan dengan fasih – Mandailing, Jawa, Karo gugung, sampai Angkola. Setiap kali mendengarnya, kami tertawa hingga perut hampir kejang. Kadang aku berpikir, jika Bapak masih hidup dan dulu mendapat pendidikan yang baik, mungkin dia sudah jadi linguis hebat, atau setidaknya dosen sastra daerah. Suku-suku yang kusebut tadi, hampir semua bisa dia gunakan bahasanya. Itu pula yang membuat pergaulan sosialnya luas. Jika sekolah libur, diajaknya aku ke kantornya. Dengan skuter butut keluaran tahun 70-an kami menyusuri jalan-jalan sunyi yang dipayungi pohon-pohon kelapa. Deru skuter yang agak mirip kaleng rongsok dipukuli itu membuat segerombol tekukur yang mematuki pasir, terbang berhamburan. Orang-orang yang sedang menyiangi kebun ubi rambat menyapa Bapak ramah dalam bahasa Karo totok yang kadang terdengar seperti lantunan lagu yang mendayu. Si pengambil tuak menyapanya pula dalam bahasa Simalungun yang seperti berayun-ayun. Pemikat burung menyapanya lagi dalam bahasa Melayu yang seperti berpantun. Terselip kekaguman melihat kemampuan sosialnya yang mumpuni. Di kantor, lagi-lagi pencerita ulungku akan menjadi pusat perhatian karena kehebatannya menyampaikan kisah tentang apa saja.

Begitupun, entah kenapa aku tumbuh menjadi anak yang diam. Efektif. Hemat kata. Tak pernah terlibat berlama-lama dalam obrolan tanpa arah. Ibu pernah berujar, sejak sekolah dasar bahasaku sudah rapi. Handai taulan dari Panambean – sebuah dusun di Siantar – kadang menyebutku sok karena bahasaku yang agak kekotaan. Kata mereka aku bakal jadi anak lupa budaya. Sanak famili dari Tanjung Morawa justru meramal aku bakal jadi orang besar kelak, merujuk bahasaku yang elok. Apa pula kompetensi mereka dalam ramal-meramal? Terlepas dari itu, nilaiku untuk tugas mengarang selalu sembilan terbalik alias enam. Apa sebab? Tulisanku selalu terlalu pendek. Kenapa pula? Aku benci pikiranku saat itu. Terlalu kronologis, beralur maju. Setelah membuka dengan ‘pada suatu hari’, yang bisa kupikirkan hanyalah ‘lalu’, ‘kemudian’, dan ‘setelah itu’. Begitu melulu, berulang. Aku tak suka. Hasilnya, sesuatu yang ringkas yang oleh guruku dituding malas. Hingga sekolah menengah atas, aku masih begitu. Aku memendam kebencian mendalam pada ujian bahasa Indonesia yang selalu diselipi dua lembar kertas folio bergaris yang harus kami penuhi dengan bual-bual tentang cita-cita, keluarga berencana, atau pemberantasan kemiskinan. Hasilnya, ya angka sembilan terbalik tadi....

1 comment:

Si Penggerutu said...

Hats off gentlemen....an eloquent is here!