06 November 2008

Akhir

Janganlah kau merengut, Karenin. Aku bisa apa ketika pohon apel bengkok di pusaramu meranggas? Tak ubahnya tanduk rusa, kini dia menjelma payungmu. Kita tak bisa melawan musim bukan?

Karenin, aku menjenguk bukan sengaja. Apalagi tak rela kau berhenti terjaga. Aku telah mencari orang lain, tapi yang kudapati hanya perbuatan bersikukuh, bersitegang, dan penyimpulan demi penyimpulan. Tak kutemukan yang sesabar kau, Karenin. Sungguh! Bukan, kukira ini bukan masalah pelik. Malah aku curiga, ini cuma cara memelik-melikkan perkara. Baiklah, kau dengar aku bercerita.

Pernahkan kau alami malam yang sedetik lalu pekat tiba-tiba benderang bak siang? Kukira tidak. Tapi aku, Karenin, di suatu malam bulan Oktober yang menggigil, aku merasakannya. Terselip di kepadatan seribu pasang mata saat itu, aku mengintip langit dalam diam. Lalu terdengar letupan di kejauhan. Dan seribu wajah tengadah. Ledakan itu di bawah, tapi di langit seperti hujan meteor. Bukan pijar-pijar yang menyeramkan, tapi sinar-sinar memesona. Aneka warna, Karenin. Ada yang merah dan membentuk hati di langit. Pasti akan jadi kesukaanmu. Aku suka yang berputar-putar tapi tanpa gelegar. Bocah-bocah di depanku berceloteh tentang kembang api mana yang mereka puja. Aku begitu riang dalam sunyiku, Karenin. Tanpa sadar mulutku menganga. Malam seperti melompat ke siang.

Tapi seperti segala hal, keterpukauanku segera berakhir, Karenin. Setelah setengah jam, gulita kembali meraja. Sejak itu, aku selalu dihantui perasaan berakhir. Apa saja, yang kusuka pun yang kubenci, akan menemui akhirnya. Kebebasan yang kukira kugenggam di negeri jauh ini, segera mati oleh pikiran-pikiran tentang pulang. Perasaan tak diburu-buru dan keleluasaan untuk memikirkan apa saja lebih lama, dihantar ke ajal oleh rekaan-rekaan tentang tenggat. Keindahan-keindahan yang ditangkap mata di tanah ini, berakhir ketika raga pindah nanti. Dugaan-dugaan terbaik tentang kekasih, mungkin sirna ketika nanti kami saling menatap mata. Udara dingin ini akan berhenti ketika mendekat ke khatulistiwa. Hanya satu yang tak kunjung berakhir, Karenin: pikiran-pikiran tentang keberakhiran. Dan semua disulut oleh kembang api yang, setelah setengah jam, henti.

Karenin, beri tahu aku satu saja yang tak akan berakhir. Bisikkanlah supaya segera kukejar. Tapi memang tak ada kan, Karenin? Semuanya akan menemui perhentian. Lalu, apa nasibku jika perasaan ini terus memberondong? Tak bisakah kau ajari aku mumifikasi, agar bisa kuawetkan semua yang kusuka di sini lalu kubawa serta? Karenin, suatu kali aku mendengar seseorang bernyanyi. Tentang kekuatan memori, yang katanya bisa membawa yang lalu hidup kembali. Itulah mengapa Yesus meminta diingat ketika murid-murid makan roti dan minum anggur. Itulah mengapa penjahat di Golgota memohon untuk diingat ketika sang Kristus telah menjejak Firdaus. Itulah juga yang kini kulakukan, Karenin, merekam semuanya dalam ingatan. Sebaik-baiknya, serinci-rincinya, sedalam-dalamnya. Supaya kelak ketika semuanya berakhir, aku bisa menghidupkannya dan sadar bahwa semuanya pernah bermula, meski tak lama. Tapi aku tahu benar, kenangan hanya maya. Aku tak akan pernah lagi melihat dan membauinya seperti kala aku di dalamnya. Dan karenanya aku takkan pernah dipuaskan. Seperti saat ini, Karenin, ketika aku mengaduh padamu. Kau yang senantiasa hidup namun tak lagi ada. Dahulu mungkin kau akan bicara, tapi kini apa yang pusara bisa kata?

Karenin, setelah kembang api akhirnya padam malam itu, aku hanya bisa menetapkan hati, bahwa aku akan benar-benar hadir dalam tindakan apa pun yang kupilih, dalam saat apa pun yang kujejak. Agar ketika semuanya berakhir, aku tak menyimpan sesal.

Tak usahlah kau gusar, Karenin. Semuanya akan berakhir, juga musim gugur ini. Kelak daun-daun hijau kembali, seperti sediakala. Dan aku masih akan ke sini, ketika pikiran tentang keberakhiran ini pun berakhir, dan keluh tentang entah apa lagi berawal. Kuharap kau tak bosan.

No comments: