26 October 2008

Bukan?

"Aku tak berharap untuk dimengerti. Lakukan apa pun yang membuatmu nyaman."

[apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [apologetika?] [bukan!] [bukan?]


terima kasih tak terhingga kepada surel seorang teman

19 October 2008

"Karenin, aku dekat."

Here lies Karenin. He gave birth to two rolls and a bee.

Setiap kali aku terkenang padamu, duduk diam aku di bawah pohon apel itu, mengingat-ingat apa yang telah kau ajarkan pada kami di dalam kebisuan dan keberserahanmu. Kau yang tak punya kehendak, kau yang tak memendam daya gugat, kau yang riang oleh pengulangan-pengulangan.

Aku bersyukur telah belajar dari mencintaimu, bahwa hanya cinta yang tak meminta pun tak berharaplah yang benar-benar bisa disebut tulus. Jika yang dicinta hanya teman, di mana baiknya? Jika kita mencintai orang hanya agar kita "diizinkan" ada, tak layak itu disebut cinta. Juga bukan cinta jika dasarnya membutuhkan semata. Kita takkan pernah menetapkan dengan pasti, bagian mana dari hubungan kita dengan orang lain yang merupakan hasil dari emosi-emosi kita - cinta, antipati, amal-kasih, atau kebencian - dan bagian mana yang ditentukan oleh permainan kuasa yang terus-menerus antara kita dan orang-orang itu. Kebaikan manusia yang sejati, dan segala kemurnian dan kebebasannya, hanya akan terwujud ketika sang penerima kebaikan tak punya kuasa.

Karenin, siapa lagi yang akan memberiku petuah kini. Sepeninggalmu, aku dirundung penyesalan bahwa dalam hidupku aku telah mencintai dengan menarik. Padahal mencintai juga berarti kadang merelakan diri ditarik, juga sering mengulur. Aku kisut dirundung sesal tentang ini. Hingga akhirnya di lantai dansa, aku dan dia angkat bicara - diiringi denting-denting piano yang serasa mabuk dan terhuyung - siapa menarik siapa, siapa mengurung siapa, siapa menyakiti siapa.

Aku yang menginginkannya menjadi tua, seekor kelinci. Tapi kini aku memikirkannya kembali dalam makna baru. Apa arti menjadi kelinci? Artinya hilang segala kekuatan. Tak seorang pun lagi lebih kuat dari yang lain. Itulah sebabnya kami bisa saling dekap dalam perasaan aman.

Dalam langkah-langkah yang lemah tapi padu, kami sadar sesungguhnya kami saling tarik, ke dalam apa yang kami sebut sebagai kesedihan. Tapi anehnya malam itu kami menari sambil menyunggingkan senyum yang paling indah dalam kehidupan kami, karena kami sadar, apa pun yang telah kami lakukan dan lewati, kami kini masih berdua, hanya berdua, dan bahagia. Ya, kesedihan yang ganjil dan kebahagiaan yang janggal. Kesedihan itu berarti: kami telah tiba di stasiun terakhir. Kebahagiaan itu: kami masih bersama. Kesedihan itu bentuk, kebahagiaan isi. Kebahagiaan mengisi ruang kosong dalam kesedihan. Dan kami akan berdansa hingga piano tak lagi bersuara, bahkan makhluk-makhluk nocturnal pun telah henti bicara.

Karenin, kapan pun kau merindu, aku di sini. Dekat.





Setelah akhirnya menuntaskan The Unbearable Lightness of Being pagi ini

13 October 2008

Leaving Home

Pernahkah kau bangun dari tidur yang lelap di suatu pagi kala matahari terlanjur meninggi, dan mendapati hatimu tersenyum? Itu aku pagi ini. Ada terima kasih yang tak terkatakan kepada sang pemilik hari yang begitu murah hati. Bukan hanya hari baru yang Dia karuniakan pagi ini, tapi juga obrolan ibu-anak Julie dan Paige yang pagi ini ditingkahi kemanjaan.

Hanya ada Julie dan Paige minus ayah di sebuah rumah mungil berlantai dua berkamar tiga yang keberantakannya masih bisa diterima mata. Juga tiga kucing persia - Bobby, Batton, dan entah siapa - yang, kata Julie, seperti membentuk dua blok yang berseberangan, meski tak saling cakar. Aku tak pernah ingin menanyakan kepada Julie perihal ketidakhadiran ayah ini. Terlalu pribadi, pikirku.

Julie gemar nonton The X Factor, ikut terharu oleh kisah-kisah finalisnya yang lebih sering klise. Kecintaannya pada tanah air barangkali tergambar dari kegembiraannya yang meluap ketika Inggris melibas Kazakstan 5-1 pada laga kualifikasi Piala Dunia kemarin. Dia staf computer maintenance di sebuah universitas kecil dekat sini. Julie tipe ibu yang mengandalkan microwave, oven, dan mesin cuci piring. Selalu meluangkan waktu untuk bertanya, bagaimana hariku, bagaimana pelajaranku, apakah aku sudah bisa online atau tidak. Peduli.

Paige seorang remaja yang sedang peduli pada gaya dan warna rambut. Dia tahan berjam-jam di telepon. Kadang-kadang juga terlihat sedang mencoret-coret buku gambar yang besar.

Hubungan mereka? Baru mulai terang pada hari ketiga aku di rumah mungil itu. Ada suara-suara kudengar di ruang tv di bawah, tapi bukan membahas film atau opera sabun yang diputar malam itu. Nada suara Julie meninggi, sementara Paige selalu menyahut cepat di setiap akhir kalimat ibunya itu, dengan suara yang disengaja untuk menambah sebal. Tagihan telepon jadi pasal. Paige kecanduan menelepon. Julie pusing, tagihan mau dibayar dengan apa. Lalu si anak lari ke kamarnya di lantai atas dengan langkah yang sengaja dibuat berat agar bising. Si ibu terus memanggil. Dia belum selesai bicara, katanya. Entah jam berapa mereka berhenti. Aku terlelap sebelum gencatan senjata dicapai.

Hari lain soalnya adalah Paige yang bolos sekolah. Dia tidak suka sekolahnya, katanya. Julie mencecar retoris, Paige mau jadi apa kelak kalau malas sekolah. Yang ditanya malah mengancam minggat. Kepedulian seringkali memang dipersepsi berbeda.

Tadi malam topiknya adalah Paige yang pulang larut tapi tak bilang. Tapi perang tak berlarut karena The X Factor yang tayang langsung malam itu mengalihkan perhatian Julie. Paige selamat di kamarnya.

Tapi pagi ini ketika aku bangun, kudengar Paige yang mengingatkan ibunya untuk mandi karena air di bathtub sudah penuh. Suaranya damai sekali. Tak berapa lama, Paige remaja memanggil ibunya kembali dengan suara yang sama, menanyakan soal padu padan baju – sepertinya dia mau ke pesta. Julie menyarankan ini dan itu, yang ditanggapi putrinya dengan tawa. Saat Paige tengah mematut-matut diri di depan cermin, sempat pula dia berteriak kepada Julie yang sedang menonton The X Factor di kamar, finalis mana membawakan lagu apa. Julie menjawab dengan setengah berteriak pula.

Ah…, begitulah ibu, anak, dan cinta. Kalau yang ketiga hadir mengikat, ancaman minggat hanya akan jadi bunga-bunga pencerah hari. Di penghujung malam, si pengancam toh akan mengendap-endap naik ke kamarnya dan, dengan perasaan menyesal, mengintip ibunya yang pura-pura tidur, padahal menahan senyum mendengar buah hatinya kembali. Ibu yang menyumpah dirinya sudah tak tahan lagi, akan jumpalitan ketika mendapati anaknya kehilangan selera makan karena diserang sakit.

Tapi sayangnya ada yang tak begitu. Banyak anak yang lari dari orang tua yang telah membesarkannya tanpa sedikit pun memikirkan diri sendiri. Atas nama kemandirian, atas nama kemajuan zaman, atas nama kesenangan, atas nama kebebasan.

Seperti gadis belia yang menyelinap kala pagi meninggalkan ayah dan ibunya dalam lagu Beatles, She’s Leaving Home, yang kami bahas dalam kuliah kami di suatu pagi. Sepucuk suratnya meninggalkan sekelumit tanda tanya yang pedih di hati mereka – apa salah kami, apa yang kurang, mengapa?

Sore ini aku duduk di atas rumput di sebuah kolam di dekat Blackheath Village yang ramai di akhir pekan, menyelesaikan paruh akhir sebuah buku yang tak kunjung kelar kubaca. Anak-anak kecil melemparkan remah-remah roti ke arah angsa-angsa yang menanti dengan gembira di tengah kolam. Sang ibu tak henti tersenyum menyaksikan tingkah anak-anaknya yang lucu.

Perhatianku tiba-tiba teralih ke dua pasangan paruh baya yang mendorong seorang perempuan renta di kursi roda. Dia pasti ibu dari salah satunya. Mereka mendorongnya ke tepi kolam. Sang istri menjelaskan pemandangan di kolam itu, sedikit berbisik di dekat telinga sang ibu yang telah rabun agaknya. Lalu perempuan itu menaruh sejumput kacang di telapak tangan sang ibu untuk dia kunyah sesekali. Perempuan renta itu tak sepatah kata pun bicara. Dia hanya menatap lurus ke arah angsa-angsa yang berebut makanan. Lalu ketika tempat duduk mereka diterpa sinar matahari yang terik, mereka mendorong si renta ke tempat yang teduh dan mulai lagi mengajaknya bicara, sekalipun dia hanya diam.

Aku berhenti membaca, didera bayangan-bayangan yang membuatku merindu, seketika teringat lagu Beatles itu, She’s Leaving Home.

Wednesday morning at five o'clock as the day begins
Silently closing her bedroom door
Leaving the note that she hoped would say more
She goes downstairs to the kitchen clutching her handkerchief
Quietly turning the backdoor key
Stepping outside she is free.

She (We gave her most of our lives)
is leaving (Sacrificed most of our lives)
home (We gave her everything money could buy)
She's leaving home after living alone
For so many years. Bye, bye

Father snores as his wife gets into her dressing gown
Picks up the letter that's lying there
Standing alone at the top of the stairs
She breaks down and cries to her husband Daddy our baby's gone
Why would she treat us so thoughtlessly
How could she do this to me.

She (We never thought of ourselves)
is leaving (Never a thought for ourselves)
home (We struggled hard all our lives to get by)
She's leaving home after living alone
For so many years. Bye, bye

Friday morning at nine o'clock she is far away
Waiting to keep the appointment she made
Meeting a man from the motor trade.

She (What did we do that was wrong)
is having (We didn't know it was wrong)
fun (Fun is the one thing that money can't buy)
Something inside that was always denied
For so many years. Bye, bye

She's leaving home. Bye, bye

11 October 2008

Menonton Sayap

Delapan gerbong, mungkin seribu orang, sejuta pergumulan. Aku satu di antaranya. Seperti sekeranjang ikan kering yang disusun berjejal. Namun yang terdengar hanya gesekan roda kereta dengan rel baja. Atau suara desis yang samar-samar dari iPod entah siapa di sebelah sana yang disetel - entah sengaja entah tidak - terlalu keras. Setengah jam bisa berlalu tanpa sepatah kata. Suara roda kereta tiba-tiba berubah jadi melodi sendu dengan ritme yang begitu teratur. Tapi tanpa lirik. Seribuan orang tadi diam karena telah menemukan tempat sembunyi. Tak ada semak, tanpa belukar. Mereka bersembunyi di click-wheel iPod yang bundar, di balik lembar demi lembar London Lite gratisan yang isinya payudara, gosip, dan bola, di buku-buku yang tebal dan sangar. Mereka seperti hidup di tabung kaca masing-masing yang tak saling beririsan. Lalu di setiap perhentian, begitu pintu di buka, mereka akan bergegas dalam langkah yang cepatnya menggila, tanpa maaf menabrak siapa pun yang lambat. Mengapa tak saling bicara?

Mungkin karena tak ada yang kami anggap penting, berguna, bermanfaat untuk kemaslahatan pribadi kami. Segera aku teringat salah satu cerita pendek Gabriel Garcia Marquez yang kami bahas belum lama, A Very Old Man with Enormous Wings. Tentang seorang tua yang ditemukan oleh Pelayo di halaman rumahnya, dia yang compang-camping, payah, dan berkubang lumpur. Tapi dia punya sepasang sayap. Lalu si tua dituduh sebagai malaikat yang datang untuk mencabut nyawa anak Pelayo yang malam itu demam parah, namun urung menyelesaikan misinya setelah dihantam cuaca yang - meminjam kata-kata Marquez - sedih. Si tua pun dikurung. Namun tak lama anak itu pun sembuh. Pelayo berencana melepas si tua bersayap itu ke laut dengan rakit yang diberi persediaan air dan makanan. Dia urung dilepas subuh itu. Orang banyak telah berkerumun menontonnya, seperti menonton binatang sirkus. Mereka terbahak.

Seorang pendeta mencoba menengahi, membuka-buka katekismus yang dia kira akan menjawab pertanyaan tentang malaikat. Dengan naif dia menyapa si tua dalam bahasa Latin yang dia sebut bahasa Tuhan. Dan menyerapah dia menyebut si tua yang tak membalas sebagai iblis. Istri Pelayo seperti Warren Buffett zaman itu, yang sadar peluang dan uang. Dia taruh si tua dalam pagar. Lalu orang-orang harus melempar 5 sen untuk menontonnya. Dan ke situlah datang orang-orang yang lemah jantung, yang sukar tidur hanya karena suara bintang, yang lumpuh, yang pincang. Mereka cabuti bulu pada sayap si tua dan menyentuhkannya pada bagian tubuh mereka yang cacat seraya berharap kesembuhan. Tak sedikit pun dan tak sedetik pun mereka memikirkan si tua, hanya kepentingan pribadi. Tak juga keluarga Pelayo yang kemudian membangun 'istana' dari uang para penonton itu.

Aku membayangkan betapa pragmatisnya manusia, yang selalu memikirkan guna bagi dirinya sendiri, bahkan terhadap malaikat. Kubayangkan si tua bersayap itu jatuh dari langit ke dalam kereta Bakerloo Line yang padat kala pagi. Mungkin kami, ribuan manusia yang bersembunyi tadi, baru akan saling bicara. Tentang apa yang bisa kami manfaatkan darinya, tentang keuntungan yang mungkin kami keruk darinya. Begitu takut aku membayangkan diriku menyentuh kening si tua yang penuh kerut sembari mengucap harap semoga terjadi perbaikan radikal dalam karierku. Barangkali seseorang yang lain akan mencabut sehelai bulu dari sayapnya sambil membayangkan sebuah apartemen mewah di Marble Arch. Yang lain mungkin sekadar menginjak kakinya sambil mengangankan hubungan yang kembali mesra dengan pasangan.

Merinding aku membayangkan betapa manusia bisa jadi begitu pragmatis terhadap apa pun yang dihadapinya. Entah pada hari ke berapa di London, aku memutuskan untuk tidak lagi bersembunyi di balik iPod, buku, apalagi London Lite. Setiap pagi kini aku selalu mencoba menatap muka orang-orang di sekelilingku di kereta, membagi sedikit senyum jika beradu mata dengan mereka yang - sebenarnya dalam hatinya - ingin menyapa. Atau sekadar memiringkan badan di lorong yang sesak agar orang lain bisa lewat, menjawab "no problem at all" ketika mereka mengatakan "thank you". Duduk di sebelah perempuan berkulit legam yang entah kenapa tidak ada seorang pun yang mau menduduki kursi kosong di sebelahnya padahal kereta itu sedang penuh sesak. Aku ingin menatap dengan penuh harap bulu-bulu yang kembali tumbuh di kedua sayap si tua, dan tersenyum melepas dia yang mencoba kembali terbang keluar dari pagar yang mengurungnya, melayang di atas atap-atap rumah tempat para penonton itu bersembunyi.

10 October 2008

Nevermore

Terpana aku ketika berganti-ganti kami membacakan puisi Edgar Allan Poe, The Raven, siang itu. Akukah si narator tanpa nama yang menghabiskan umur membaca kearifan-kearifan yang terlupakan, hanya demi melupakan hilangnya orang-orang tercinta? Kalau saja kami tak berlima, barangkali aku sudah berkabung di ruang itu.

Seekor gagak mencangkung di patung Pallas, seperti hendak mengolok-olok rasa kehilangan, mengejek drama yang dibawa kesendirian. Hendak marah aku. Tapi marah hanya akan membuatnya terbang, pikirku. Urung. Dan pikiran ini, kenapa pula semakin jauh menjejak ke belakang, ke yang dulu? Sudahlah. Apa lagi yang dicarinya? Ya, di sana, dalam pigura-pigura, ada potret-potret mereka. Yang pergi. Dan aku yakin, burung itu pun akan pamit, seperti mereka yang lebih dulu berlalu bersama kenangan-kenangannya.

"Nevermore," jawabnya. Ah..., dia gagak yang bicara. Benarkah kau takkan pergi? "Nevermore," ulangnya. Aku mulai ceria. Tapi itu sebelum aku bertanya. Akankah aku bersatu kembali dengan Lenore-ku di surga kelak? Dan dia hanya punya satu jawab: "Nevermore".

Kelas Thea benar-benar meninggalkan kesenduan yang mendalam, bahkan berjam-jam setelah buku kami tutup. Ke mana aku berjalan, seperti ada larik-larik The Raven yang sengaja dibacakan dengan pengeras suara di seluruh sudut London yang menua.

Di Charing X yang riuh:

Ah, distinctly I remember it was in the bleak December,
And each separate dying ember wrought its ghost upon the floor.
Eagerly I wished the morrow;- vainly I had sought to borrow
From my books surcease of sorrow- sorrow for the lost Lenore-
For the rare and radiant maiden whom the angels name Lenore-
Nameless here for evermore.

Di peron stasiun London Bridge yang padat:

Deep into that darkness peering, long I stood there wondering, fearing,
Doubting, dreaming dreams no mortals ever dared to dream before;
But the silence was unbroken, and the stillness gave no token,
And the only word there spoken was the whispered word, "Lenore!"
This I whispered, and an echo murmured back the word, "Lenore!"-
Merely this, and nothing more.

Di pelataran Lewisham yang muram:

Then methought the air grew denser, perfumed from an unseen censer
Swung by Seraphim whose footfalls tinkled on the tufted floor.
"Wretch," I cried, "thy God hath lent thee- by these angels he hath sent thee
Respite- respite and nepenthe, from thy memories of Lenore!
Quaff, oh quaff this kind nepenthe and forget this lost Lenore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

Di Blackheath yang memanggil-manggil tangis:

"Prophet!" said I, "thing of evil- prophet still, if bird or devil!
By that Heaven that bends above us- by that God we both adore-
Tell this soul with sorrow laden if, within the distant Aidenn,
It shall clasp a sainted maiden whom the angels name Lenore -
Clasp a rare and radiant maiden whom the angels name Lenore."
Quoth the Raven, "Nevermore."

Begitu terus, diulang dan diulang. Hingga larut mata tak kunjung terpejam. Aku tak henti bertanya, tak usai menggugat. Tapi yang kudengar lagi-lagi "Nevermore" yang tak terbantahkan. Dalam diamku memandangi rintik hujan yang memukul-mukul kaca jendela malam itu, aku sempat berharap sang gagak hinggap di situ. Mungkin aku bisa memintanya berubah jadi nabi. Atau jadi serafim. Mungkin akan kutulis sepucuk surat dan kuminta dia menghantarkannya ke surga. Mungkin aku akan bertanya, mungkinkah aku berubah menjadi burung juga. Tapi mungkin demi mungkin yang tak berkesudahan akhirnya membuatku lelah juga. Dan aku tertidur dalam rindu. Jauh dari pulas. Yang terakhir kuingat hanya "Nevermore".

09 October 2008

Minggu Ersen

Menguaplah segala curiga khas first-timer ketika Ersen tua mulai bicara. Dia seorang Tunisia beranak empat yang lahir di Inggris. Tapi aksen Tunisia yang kadang terdengar menggelitik, tak lekang dari bicaranya. Setelah belasan jam kebisuan yang ricuh di sebuah maskapai Arab yang aroma kabinnya seperti aroma di toko rempah, celoteh Ersen si sopir taksi terasa begitu melegakan.

Ersen bukan orang kuliahan, tapi diskusi kami nyambung tentang banyak hal - perlambatan ekonomi dunia, pemanasan global, budaya, dan entah apa lagi. Ersen akan bicara dari sudut pandang pembaca surat kabar dan pemerhati yang awam tapi bersemangat. Tentang musim yang semakin aneh di London. Tentang nyamuk yang puluhan tahun tak ada tapi kini singgah lagi karena London semakin panas. Tentang kebiasaan orang-orang Inggris yang semakin gemar menggesek kartu kredit tanpa berpikir akan membayar dengan apa. Sambil sesekali menekan tombol di alat penjejak lokasi di mobilnya, "Profesor" Ersen akan memberikan kuliah singkatnya tentang sejarah, budaya, dan dinamika sosial di Inggris. Hal-hal trivial seperti beda 'heath' dan 'pasture' atau 'park' dengan 'communal playground', entah kenapa, terdengar begitu menarik ketika keluar dari mulutnya. Dan dia berhasil membuatku tersenyum tak henti di sepanjang jalan.

Jalan-jalan London sepi sore itu. "Beginilah jalanan pada hari Minggu," kata Ersen. Aku bertanya, apa yang dilakukan orang-orang Inggris pada hari minggu. Pergi rekreasi atau tinggal di rumah dan menonton TV, kata Ersen. Tapi, katanya lagi, tak semua orang bisa menikmati semua 'kemewahan' itu. Ada orang-orang yang harus tetap bekerja pada hari Minggu agar tetap hidup. Ya, dia salah satunya. "Hidup semakin berat di negeri ini. Bahan makanan, gas, listrik, makin mahal kian hari," katanya sambil mengenang roti yang dulu bisa didapat dengan uang 20 pence. Ah..., Ersen, dia baru saja merusak gambaran kemakmuran negeri ini yang ada di kepalaku yang naif. Dan segera aku menemukan kesamaan yang dimiliki semua belahan dunia - yang punya dan yang tak punya, yang sejahtera dan yang papa. Di pojok mana pun, dua kelas itu akan ada.

Di tengah perjalanan, sempat pula Ersen menepi untuk membuka jaket tebalnya yang bikin gerah, sambil tak henti meminta maaf sekiranya itu tak sopan. Tak apa, kataku, memandang sekilas kaus buntungnya yang jelas bukan pilihan golongan sejahtera. Aku diam, mereka-reka bagaimana Ersen menjalani hidupnya di kota serba gemerlap ini. Dan tersadar aku, ada sesuatu yang sedari tadi tak sekali pun kudengar dalam celotehnya. Keluh. Ya, tak secuil pun nada keluh terlontar dari mulutnya yang terus bicara. Tak juga tertoreh di wajahnya. Ceritanya tentang hidup yang keras adalah kesimpulan yang ditariknya sambil menceburkan diri dalam hidup yang disebutnya keras itu. Ersen jelas bukan kanak-kanak yang merengek di tepi kolam, menolak terjun. Dia petarung kehidupan yang tak menyerah.

Lamunku buyar saat mobil berhenti. Kami telah tiba di tujuan. Setelah sebuah selamat tinggal dan terima kasih yang cepat, Ersen tua berlalu, mungkin masih akan kembali ke Heathrow untuk menjemput entah siapa. Aku melangkah ke dalam rumah. Terselip seiris kagum yang tak pergi.

08 October 2008

Kurz, Henri, dan Cinta

Joe Simpson begitu memukau sore ini dengan The Beckoning Silence-nya yang pedih. Dengan suara yang terkadang patah-patah dan seperti mencari keyakinan, Joe meretas kisah Tony Kurz yang malang, yang mencoba menaklukkan pucuk Eiger di tahun 1936, dan gagal. Bagian akhir film itu begitu menyayat. Kurz bergantung di seutas tali setelah sebuah badai salju yang menggila. Seorang temannya di ujung tali di atas, terikat, mati. Seorang lagi di ujung tali lainnya, tergantung, mati. Kurz di tengah. Aku teringat pada mata kail yang sering orang ikatkan lebih dari satu di seutas senar. Tim penyelamat akhirnya datang. Tapi badai yang belum berhenti mengamuk membuat penyelamatan mustahil. Mereka menyuruh Kurz menunggu di atas sana, menanti pagi tiba.

Pagi yang membekukan. Tangan kiri Kurz sudah membiru karena frostbite. Dia di antara sadar dan tidak. Tapi adegan-adegan akhir itu benar-benar menunjukkan betapa manusia diberkahi dengan naluri untuk bertahan hidup hingga titik penghabisan. Semua upaya yang mungkin telah dilakukan, tapi akhirnya hidup Kurz berakhir di sebuah simpul yang menghambat. "Selesai sudah," katanya dalam bahasa Jerman yang terdengar rapuh. Dan mati.

Ya, Kurz mungkin mati, tapi aku sangat yakin dia telah mati dengan puas. Dia mati setelah berhasil mencapai suatu titik yang belum pernah dicapai siapa pun dalam pendakian menuju puncak Eiger. Pencapaian seringkali punya harga. Mahal. Dan tak banyak yang mau membayar. Aku?

Tapi dalam perjalanan menuju Blackheath yang sunyi, entah kenapa yang menari-nari di kepalaku justru puisi Adrian Henri yang dibacakan Mark Beasley siang tadi dalam kuliahnya tentang revolusi oleh puisi di Liverpool. Mark yang suka bersiul. Mark yang belum juga mengganti bajunya yang kemarin. Mark yang seperti tahu segalanya tentang apa pun. Mark yang benci siswa terlambat, tapi selalu terlambat masuk kelas. Mark yang kuhormati dalam diskusi.

Aku seperti satu-satunya orang yang terpukau oleh topik yang dibicarakan Mark dengan bersemangat. Gadis-gadis Belgia dan Rusia di sekelilingku sibuk mencoret-coret hand-out kuliah. Muka-muka mereka yang seperti baru kembali dari bar, jelas tak menunjukkan minat terhadap kuliah, apalagi kuliah tentang puisi yang punya daya gubah. Dalam hati mungkin mereka sedang berkata, "Yeah, whatever.."

Dan Mark bicara banyak soal lirik-lirik Beatles yang lebih mirip puisi dibanding lagu-lagu picisan di zamannya. Tentang perubahan yang dibawa lirik-lirik itu dalam kehidupan sosial. Ah..., aku bersemangat. Lupa aku pada sereal yang hampir membuatku muntah pagi tadi. Dan setelah kuliah yang bagiku mencerahkan itu, aku dan Mark terlibat dalam diskusi yang pintar. Sempat pula kami membandingkan puisi Adrian Henri dengan definisi cinta Franz dalam The Unbearable Lightness of Being-nya Milan Kundera yang sedang kubaca. Ah..., rasanya tak perlu lagi aku makan siang.

Dan malam ini, di kereta yang dingin menuju Blackheath, yang kuingat cuma larik-larik puisi Adrian Henri, Love Is. Masih dengan sebuah lubang yang menganga di rongga dada. Juga sepi yang seperti tak ingin turun di stasiun Lewisham yang buram. Love is...



Love is...
Love is feeling cold in the back of vans
Love is a fanclub with only two fans
Love is walking holding paintstained hands
Love is.
Love is fish and chips on winter nights
Love is blankets full of strange delights
Love is when you don't put out the light
Love is
Love is the presents in Christmas shops
Love is when you're feeling Top of the Pops
Love is what happens when the music stops
Love is
Love is white panties lying all forlorn
Love is pink nightdresses still slightly warm
Love is when you have to leave at dawn
Love is
Love is you and love is me
Love is prison and love is free
Love's what's there when you are away from me
Love is...



Ah..., tahu apa aku?