Akhirnya hanya tersisa kesadaran akan diri yang daif namun naif. Realitas tak juga tertekuk di bawah kaki nalar. Kukaji ribuan risalah, tak juga tegak benang basah. Rencana kureka dalam beribu malam, lalu menguap ke angkasa. Aku seperti bangun dari hibernasi kepongahan. Pikir bukan tuan atas realitas. Hasrat tak menggiring realitas ke dalam jerat. Ingin tak menjadikanku menggenggam angin. Aku sadar, telapak tanganku tak selalu menerima yang kumau. Tak selalu. Keterjagaan ini memaksaku mengerti, ada ketundukan yang mutlak pada yang hakiki. Ikhtiar seperti mengikuti sebuah rancang misteri.
Aku terjaga. Tapi keterjagaan itu justru membuatku menekuk kelopak mata. Mulutku terkunci rapat. Aku tegak, tapi rasanya seperti rebah ke tanah. Lalu kami seperti dua sahabat bertukar kabar. Aku dulu begini, kini tak lagi begitu. Ya, aku begini, benar, aku begitu. Kuterima aku begini, tak kutampik aku begitu. Banyak lagi keluh yang terburai dalam diam itu. Dia diam, dan diamnya kupahami.
Keterjagaanku di rentang malam menarikku dari kubang pongah. Angin sejuk rasanya justru menerpa ketika tubuh memeluk debu bumi. Lalu, tak seperti dulu, aku tak lagi memaksa. Kuselipkan 'jika bisa' dalam setiap pinta. Lalu tinggal penantian dengan dada lapang. Seperti malam ini, ketika aku rebah dengan perasaan berserah. Lalu tidurku adalah tidur terlelap. Kesadaran akan diri yang daif justru mengulurkan tali arif ketika aku hampir tenggelam.
Ini malam keempat bibirku mengucap permohonan. Bukan perihal rupa-rupa soal. Hanya satu perkara yang bagiku jauh dari niscaya. Pintaku pinta paling bebal di jagad pinta. Aku meminta agar di belahan bumi-entah-di-mana ada yang mengucap pinta sepertiku dan tentangku. Siapa tahu, dua pinta yang berpagut di kehampaan, menyisakan seiris asa. Seperti setiap kali kupejamkan mata, aku tak pernah tahu bagaimana esok akan berlenggok. Akankah semua menjadi keniscayaan? Atau hanya sekali lagi menjaring angin? Entahlah. Aku rebah dalam 'jika bisa'.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment