25 July 2007

Mendengarkannya Berandai

Ada kesedihan yang menitik mendengarkannya berandai-andai dalam lirik. “Jika aku seorang pelukis, dan bisa melukis kenangan...,” senandungnya dalam suara yang hampir setipis desir angin. Aku pun bangun dalam soreku, dalam keremangan yang terlalu setia mendramatisir kesendirian. Aku tak memikirkan cinta. Lelah aku dinaifkan oleh hal-hal macam itu. Aku ingin seperti kata lirik itu, melukis kenanganku. Bukan karena kedua kakiku tak pernah beranjak dari kemarin. Bukan sebab tungkaiku terlalu kebas untuk digerakkan ke dalam esok. Aku hanya tak mampu membaui kekinian. Dalam inginku menghidu bau harum detik ini ketika kupejamkan mata dan kurentangkan tangan, aku tak mendapati apa pun yang menyukakan. Semuanya seperti ditentukan. Segalanya menuruti jalan-jalan setapak yang terbangun.

Terlalu banyak pagi-pagi dalam kekinian di mana aku bangun tanpa pernah lagi terkejut. Sebab aku tahu hari ini untuk apa. Karena aku tahu hari ini bagaimana. Mengabdi aku pada tujuan-tujuan yang tak pernah diuji lagi kehakikiannya. Terlalu banyak malam-malam dalam kekinian di mana aku tidur tanpa pernah merasa gelisah lagi. Tentang nilai. Tentang makna. Terlalu dipacu aku. Terlalu lelah.

Sekarang baru aku tersadar, mengapa bau harum kekinian tak lagi memadati udara di paru-paruku. Sudah lama aku tak punya waktu untuk memaknai apa yang inderaku alami, yang hatiku rasai, yang pikiranku dalami. Di mana jeda untuk mengendapkan kekinian yang melaluinya aku mematrikan semuanya dalam ingatan dan belajar memaknai dan menghargai?

Sekarang baru aku tersadar, mengapa baru harum kenangan tak menyisakan ruang kosong apa pun di rongga paru-paruku. Kesahajaan dulu punya waktu leluasa untuk berinkubasi. Dia tak diburu-buru sehingga sempurna termaknai dalam bingkai ukir yang digantung di dinding-dinding sanubariku. Kesusahan dulu kuberi jeda untuk kumengerti, kuberi ruang untuk kurenungkan dengan tenang. Dengan begitu dia berharga. Jauh lebih berharga daripada jayaku di kekinian.

Karena itulah sore ini seperti ada kesedihan yang menitik. Ya, kesedihan, karena aku tahu seindah apa pun kulukiskan kenangan, tak bisa aku mundur barang sedetik untuk menghidupinya kembali. Kekinian yang harus kujelang. Semegah apa pun kenangan kubingkai dalam ingatan, tak boleh aku sekadar ingin untuk kembali. Kekinian yang harus kutantang.

Maka sore itu ada sebongkah keinginan yang merasuk – keinginan untuk berhenti. Agar aku bisa memaknai yang kini, agar aku bisa menjelang yang nanti, tanpa membanding-bandingkan dalam kemuraman.

No comments: