Aku tak terpikir tanya namanya. Matahari yang seperti hendak melelehkan apa saja membuat ramah tamah jadi barang mahal. Yang pasti bukan Jared. Terlalu sophisticated nama itu untuk betawi pinggiran macam dia. Mungkin Juned lebih tak mengada-ada. Ya sudah, jadilah dia Juned.
Dia langsung sigap menghampiri ketika kudekati kotak kayu bertuliskan “Sedia Sol” tempat dia meletakkan setumpuk sol sepatu usang. “Jahit sepatu, Bos?” tanyanya dalam keramahan ala pasar. Entah kenapa pula dia gunakan sapaan itu. Sangkaku itu bentuk subordinasi khas orang Indonesia. Langsung menempatkan diri sebagai hamba di hadapan orang yang pakaiannya lebih rapi, lebih wangi, yang kulitnya lebih bersih, dan yang kira-kira berkemampuan ekonomi lebih baik. Aku memang agak salah kostum, ke pasar memakai celana formal dan polo shirt yang dimasukkan. “Iya, lemnya lepas kena air,” jelasku, terlalu lengkap.
Sepatu formal merek Buccherri itu kubeli tiga bulan silam. Sengaja cari yang bersahabat dengan kocek dan sesuai dengan program pengencangan ikat pinggang. Di suatu sore sekitar tiga minggu lalu, kuterobos hujan yang agak deras. Berharap cepat sampai rumah, si Buccherri pun terpaksa diinjakkan di jalanan becek. Lemnya kontan lepas. Buccherri berubah menjadi the butcher a.k.a penjagal kantongku. Paling tidak itu yang terpikirkan ketika menimbang-nimbang berapa upah yang akan diminta si Juned kita.
Juned langsung melihat dengan cermat kondisi kerusakan sepatuku. Dibolak-baliknya, dicongkelnya dengan obeng yang agak karatan, dia regang-regangkan. Aku diam saja memerhatikan, tak ingin protes soal bidang yang bukan keahlianku. Melihatku terpanggang matahari, Juned sibuk mencarikanku kursi dan mempersilakanku duduk di tempat teduh bak maharaja. Kupilih untuk tetap di dekatnya, semacam pengawasan melekat demi memastikan dia mengerjakan penjahitan secara mendetail sehingga upah yang kuasumsikan akan mahal bakal setimpal. Intinya, aku bersyak wasangka.
Kotak kayu itu dibuat serampangan dari papan bekas. Di dalamnya bergelantungan kantong kresek hitam berisi sepatu, tiga kaleng lem Aika Aibon, aneka jarum sepatu, dua gulung benang hitam dan abu-abu. Tergeletak pula di sana segelas besar kopi tubruk. Tutup gelas berwarna hijau kusam tak terletak sempurna sehingga lalat-lalat pasar mengerumuni ampas kopi di tepi gelas. “Bagian depan bisa dijahit, tapi tapak belakangnya mesti dipaku, Bos,” jelasnya seperti memohon petunjuk. “Oke,” kataku. Dan dia mulai bekerja.
Kudengar kertak gigi, kulihat urat-urat wajahnya menegang, saat ia mengejan membuat tusukan pertama di sol sepatuku. Karet yang keras menuntut tenaga ekstra. Bulir-bulir peluh sebesar biji jagung bertengger di sudut matanya, tak sempat diseka. Sembari bekerja, sempat pula ia bercerita. “Sepatu pabrikan emang nggak kuat. Liat nih, pakunya cuma tiga. Yang penting cuma nempel doang,” cerocosnya. Juned tahu itu karena dulu dia tiga tahun kerja di Cibaduyut. Tahun 1998 dia kembali ke Jakarta ketika pabrik sepatu tempatnya bekerja diterjang krismon. “Oh gitu,” jawabku sengaja sekenanya, tak ingin mengesankan antusiasme sehingga pembicaraan meluas.
Dia kurus kering. Tulang lututnya terlalu kecil dibalut celana hitam pudar. Bajunya dua lapis. Di dalam kaus hijau. Di luar kaus PDIP bulukan. Topi hitamnya dihiasi pulau-pulau putih. Jelas itu endapan garam dari keringat berbulan-bulan. Aku masih dirundung syak. Orang begini, pikirku, biasanya cuma bisa tiga perkara: tipu, curi, palak. Meminjam Pram, aku sudah berlaku tak adil di dalam pikiran.
"Wah, jarumnya patah,” suaranya murung saat satu jarum patah oleh karet sol yang alot. Diambilnya jarum cadangan. Aku coba bertanya, berharap dia menangkap simpati sehingga tak men-charge kerusakan itu pada upah penjahitan sepatuku. Lagi-lagi tak adil dalam pikiran. “Jarum ini saya bikin sendiri dari jari-jari payung. Bisa tajam begini ngegosoknya ampe dua hari, Bos. Tapi besi jari-jari payung sekarang payah. Gampang banget meleyot,” tuturnya. Menurut Juned kita, tak ada lagi orang yang jual jarum sepatu. Kalau ada yang dijual jadi, dia akan bela-belain beli biarpun agak mahal. “Oh gitu,” kembali tukasku singkat.
Sepatu sebelah kiri hampir kelar. Yang kanan agak lebih ribet pengerjaannya berhubung kerusakannya lebih parah. Dia lumuri lem dulu di sela-sela sol dan kulit, lalu dia jemur di bawah terik matahari. Singkat kata, tak kurang satu jam Juned bekerja. Bajunya sudah kuyup oleh keringat. Kulitnya yang hitam makin legam dipanggang matahari yang pada jam itu tepat di atas ubun-ubun. Plus, dua jarumnya akhirnya patah oleh sol yang kerasnya minta ampun. Melihat pekerjaannya hampir kelar, aku mulai merogoh-rogoh kantong.
"Selesai, Bos,” katanya sembari menyerahkan sepatuku di dalam kantong kresek. “Berapa?” tanyaku pelan. Aku menduga harus membayar cukup mahal untuk peluhnya, urat-uratnya yang menegang, kertak gigi, kulit legamnya yang terpanggang, juga dua jarum jahit sepatu yang dikorbankan. Aku menunggunya menyebut angka-angka. Biar mahal, aku bertekad takkan menawar, mengingat beratnya pekerjaan itu dalam standarku. “Biasa,” katanya masih tidak menyebut angka. Entah apa maksudnya. Mungkin dia berharap aku tahu upah jahit sepatu di Jakarta tahun 2007. Meneketehe, kupinjam Tora. Ada jeda yang agak lama. Dia seperti menimbang-nimbang, mengumpulkan keberanian, menyatukan kekuatan. Aku bersyak lagi, dia akan menggelembungkan biaya. Dia akan membuatku pulang jalan kaki. Gawat, pikirku. Lalu katanya tanpa berani menatap wajahku, “Sepuluh ribu.”
Dunia seperti berhenti berputar, menyisakanku dan kata “sepuluh ribu” yang terngiang-ngiang, antara nyata dan tidak. Satu jam dia mengejan seperti perempuan mau beranak. Enam puluh menit dia berjemur, bukan di pantai Florida. Tiga ribu enam ratus detik dia memompa keringat. Dan ekspektasi tertingginya adalah sepuluh ribu. Hanya sepuluh ribu itu dia menilai dan menghargai diri dan kerja kerasnya.
Aku benar-benar seperti ditampar dan diguncang-guncang. Sudah lama aku tak susah, tak merasa terdesak, sehingga selama itu pula aku seperti merasa punya hak untuk selalu mengeluh dan berdebat soal cukup tak cukup. Lupa aku barangkali betapa kini ekspektasi Juned tadi hanyalah receh yang sering kali habis sekali jajan. Sering kubicarakan soal bersyukur, tapi membicarakan syukur kini rasanya berbeda dengan ketika membicarakannya sambil menertawai kekurangan dalam kegetiran.
Kuserahkan sepuluh ribu tadi. Dan kulihat lagi apa bedanya aku dan si tukang jahit sepatu. Dia menerimanya dengan sukacita seolah tak ada yang lebih baik daripada sepuluh ribu. Aku? Ahh...
Hari itu kosakataku bertambah. Kata “syukur” tak kudapat dari munsyi manapun, melainkan dari tukang sepatu yang satu jam mengejan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment