09 June 2008

Setengah Hangat yang Bapak Mampu

Bapak bersyukur, Ophelia, kau tak di sini menyaksikan Bapak berkemas, setelah tadi siang mereka bilang Bapak selesai. Ya, siang tadi mereka bertindak bak Tuhan terhadap Bapakmu ini. “Kami harus merumahkan beberapa orang. Maaf, Anda tidak bisa kami pertahankan,” kata mereka dalam suara yang sedingin kontrakan satu kamar kita kala subuh. Dan dengan itu Bapak kini menjadi Bapak setahun kemarin. Penganggur. Iya, Nak, kau pasti berang, kenapa Bapak tak menggugat. Sudah, Ophelia-ku, Bapak sudah menggugat segigih-gigihnya, sehormat-hormatnya. Mereka akui Bapak bekerja jauh lebih baik dan tekun daripada mereka-mereka yang selamat. Tapi apalah daya seorang tenaga kontrak, Nak. Bapak bertekuk lutut saat mereka membicarakan pasal-pasal hukum ketenagakerjaan yang tak Bapak mengerti. Mereka bacakan pula kalimat demi kalimat dalam surat perjanjian kerja yang dulu mereka paksa Bapak teken tanpa baca. Bapak tidak akan membawa apa-apa, Nak, begitu kata mereka. Dan yang Bapak ingat saat itu cuma kau, Ophelia.

Ya, tak perlulah kau lihat air mata Bapak menetes saat memilah-milah mana barang kepunyaan Bapak dan mana yang punya mereka. Hanya foto kau, aku, dan ibumu ternyata harta Bapak. Lain tidak. Tak juga bolpen yang kata mereka harta mereka. Kelu lidah Bapak saat memandangi foto kita. Bapak tahu Bapak akan kehilangan kata-kata untuk menjelaskan tragedi ini kepada kau dan ibumu. Terlalu sakit, Nak, membayangkan tawa kalian rusak oleh ketidakberuntungan yang mendera Bapakmu.

Tak sampai hati Bapak mengatakan kepadamu bahwa kita tak bisa membeli meja belajar yang kau tunjuk di toko saban hari Bapak memboncengmu menuju sekolah. Merintih jiwa Bapak membayangkan sepeda kecilmu yang baru mesti kita kembalikan karena Bapak tak mampu lunasi kredit. Bagaimana kau akan bersembunyi dari olok-olok teman-temanmu, Nak? Bisakah kau tetap tegap ketika mereka menyorakimu si anak melarat? Ngilu tulang-tulang Bapak mereka-reka kecewamu karena Bapak terpaksa mengingkari janji untuk mengganti tasmu yang telah rusak ritsletingnya. Sepatumu, Ophelia, masih harus yang itu sampai tahun depan, Nak. Dan ensiklopedia tentang bunga-bunga sepertinya juga harus kita lupakan, Nak.

Tapi hidup kan tak sekelam itu ya, Nak. Mana anak Bapak yang selalu bisa menemukan alasan untuk tertawa? Ya, Sayang, mengingatmu membuat Bapak sadar tentang siapa penentu kebahagiaan. Kita sendiri, Nak, kitalah penentu kebahagiaan kita sendiri. Ketika mengayuh sepeda ini menuju rumah, Bapak memutuskan untuk tidak membiarkan bahagia kita dirusak oleh apa pun dan siapa pun, Sayang. Coba lihat sisi baiknya, Ophelia. Mulai besok Bapak akan ada di rumah untukmu. Saat kau bertanya tentang simbolisme bunga – apa arti sekuntum lili, apa makna sekumpulan rosemary, apa jiwa setangkai rue. Saat kau mengeluh tentang gurumu yang bahkan tak mengenal William Wordsworth, Bapak akan membacakan The Prelude di telinga kecilmu. Dan sambil bertopang dagu kau akan memberondong Bapak dengan pertanyaan tentang bunga ragwort kuning dalam puisi itu.

Atau kau akan sambut nasib buruk Bapak dengan gembira? Bapak ingat tentang mimpimu membuka usaha kolam renang di rumah dan menyewakannya bagi anak-anak kampung kita. Selain bisa berenang gratis, katamu, kau akan mendapat uang dari sana untuk bantu Bapak. Oh, Ophelia-ku, manalah bisa halaman kontrakan kita yang hanya cukup untuk menaruh tiga pot bunga kerokot itu kita gali, lalu kita isi air timbaan sumur, dan menjadikannya tempat berenangmu. Tapi Bapak senang, Ophelia, kau telah berpikir besar, seperti harapan yang Bapak senantiasa bisikkan ke perut ibumu dulu. Kau memang harus jadi orang besar, Nak, agar suatu saat kelak kau bisa mencegah orang bernasib seburuk Bapak.

Jiwa Bapak terisak, Sayang, mengingat-ingat senyummu siang kemarin, saat menunjukkan nilai-nilai yang cemerlang di rapormu. Dan makin bergumul Bapak mengingat permintaanmu sebagai hadiah: seloyang brownies yang hitamnya, katamu, akan membuatmu lebih bersemangat untuk belajar. Tak ada uang pada Bapakmu ini, Ophelia. Tak ada. Jadi dengan berat hati Bapak akan berhenti di persimpangan rumah kita, membelikanmu sekotak martabak yang setengah hangat. Tanpa keju. Hanya itu yang Bapak mampu. Jangan dulu tidur, Nak. Bapak akan kayuh sepeda ini lebih cepat. Dan kita, ya, kau, Bapak, dan ibumu, kita akan menyantapnya sebelum benar-benar dingin dan mengeras. Pinggirannya yang agak gosong semuanya untukmu, Nak. Bapak tahu kau suka.

Jangan dulu tidur, Ophelia. Bapak akan kayuh sepeda ini lebih cepat. Menantilah di pintu, Sayang.

(Untuk mereka yang dirumahkan)

No comments: