Dua orang menyambut di depan, mengulurkan jabat tangan palsu. Sungguh. Seperti bukan jabat tangan, hanya bersentuhan. Tak saling genggam. Senyum mereka segaris, tapi mata mereka memandang yang lain. Bukan ke mataku. Jelas, mereka tak ada niat menyambut. Aku mengalah. Ini tempat ibadah, tak tepat mengajak debat etis. Kuyakinkan hati untuk tak memanas. Udara dingin dari mesin penyejuk ruangan membantuku kembali tenang.
Setelah lagu demi lagu dalam liturgi yang tak pernah kenal kata revisi, si pengkhotbah pun mulai bicara. Dia awali dengan membacakan satu perikop dari kitab suci. Aku terdiam mendengarnya bicara, merasa ada yang salah. Terlepas dari gagasan-gagasannya yang melompat-lompat dan tak runtut, aku menemukan terlalu banyak kata 'saya' dalam kalimat-kalimatnya, dibanding kata 'Tuhan'. Siapa sebenarnya yang sedang dia bicarakan? Jelas bukan Tuhan. Aku yakin. Di khotbahnya, Tuhan terasa seperti elemen pelengkap – pembenar, tepatnya.
Kalau benar pagi itu suara Tuhan yang hendak kami dengar, mengapa aku merasa sedang dicekoki dengan gagasan pribadi yang dijustifikasi dengan kitab suci. Si pengkhotbah tak datang dengan 'kosong'. Dia sudah punya konsep-konsep sendiri yang entah dibaca atau didengarnya dari mana – kuharap bukan dari sinetron Indonesia atau buku-buku pengembangan diri. Lantas teks kitab suci hanya sekadar pendukung dan penjelas gagasan utama, yang dipakai di mana perlu. Aku merutuk.
Dalam doa pun begitu. Dia berakting seperti Tuhan. Aku tak mengada-ada. Dia seperti paling tahu isi hati Sang Khalik, mereduksinya dalam hubungan sebab-akibat. “Berkati kami Tuhan, sebab Engkau selalu menolong orang yang kesusahan”, “Campur-tanganlah, Tuhan, karena kuasa-Mu akan membebaskan kami”, “Berikan rezeki kepada kami, Tuhan, karena Engkau Maha-baik.” Lalu berkata lagi dia, “Kami percaya Engkau akan mengabulkan doa-doa kami, karena semua ini kami lakukan demi kemuliaan nama-Mu.” Oh.., kalau Tuhan sedang mengintip di satu sudut. Betapa remuk hatinya mendengar orang yang mengaku hamba-Nya seolah menggiringnya merunduk di bawah keinginan-keinginan manusia - tentang gereja yang megah, natal yang mewah, paskah yang meriah.
Begitu berani kami mengklaim Tuhan dalam permintaan-permintaan mutlak, hanya karena kami mengetahui sejumput sifat-Nya dari bacaan sana sini. Bagaimana jika Tuhan justru berkeputusan untuk tidak mengabulkan ini dan itu yang kita minta, karena Dia tahu itu yang terbaik? Bagaimana jika kita justru diizinkan-Nya susah, tanpa rezeki, agar kita merindu saat-saat Dia memelihara? Bagaimana jika Dia memang sedang berkeputusan untuk tidak campur tangan, sekadar untuk membantu kita tahu bedanya hidup dengan atau tanpa Dia? Bukankah keputusan untuk tidak campur tangan itu juga bentuk campur tangan? Sederet pertanyaanku. Tapi tanpa sadar aku pun sedang jatuh dan berlaku seperti Tuhan ketika aku merumuskannya dalam sederet tanya itu. Akhirnya aku hanya bisa diam.
Hamba-Nya itu mengucap berkat di akhir jam kedua, dengan dua tangan terangkat, persis seperti kisah kitab suci tentang Tuhan yang naik ke surga. Aku mencoba meraba-raba. Adakah Dia sedang memberkati kami? Ataukah sedang menangisi? Suara hamba-Nya lantang, tapi bagiku hanya sekumpulan kata yang lalu lalang. Lalu kami membuka mata dan saling salam. Tak seorang pun tahu apa yang ada di hati. Pagi itu kami seolah sudah melunasi hutang, setelah enam hari diberi pinjaman. Di depan pintu hamba-Nya menyambut, dengan sentuhan, bukan jabat tangan. Dan aku berjalan pulang menatap ke tanah. Hanya tiga kata di hati, “Maafkanlah kami, Tuhan.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment