10 June 2008

Menonton Kitty di Jakarta

Di suapan terakhir nasi lemak yang enak, potongan penghabisan kari ayam yang nyam-nyam, kami terhentak oleh jerit perempuan di lantai dasar. Kami tinggalkan piring kami, bersama orang-orang lain di resto pengusung nama negeri jiran itu menghambur ke luar, mencari tempat di mana mata kami leluasa melihat apa yang terjadi di lantai bawah. Di lantai bawah keadaan kacau. Baju-baju yang dipajang berserakan di lantai. Puluhan orang, kebanyakan perempuan, berlarian tak tentu arah. Butuh tiga menit setidaknya untuk mengetahui benar apa yang membuat orang-orang itu histeris, karena terlalu banyak objek bergerak di bawah sehingga sukar menentukan fokus. Tapi tak lama kemudian seorang pria bergerak ke tengah. Di tangannya sebilah klewang. Teriakan ibu-ibu kian melengking ketika senjata tajam itu diacung-acungkannya entah dengan tujuan apa. Ketika dia berbalik, aku dapat melihat dengan jelas bajunya yang kuyup oleh darah yang mengalir dari luka bacok di kepala. Lalu dia berjalan kian gontai menuju pintu keluar pusat keramaian itu. Sesekali dia berhenti sambil menyeka darah yang kian deras. Lelah mungkin. Sempat pula dia duduk di salah satu kedai kopi. Entah apa yang dipikirkannya. Dua menit kemudian temannya, juga dengan parang di tangan, menghampiri dan memapahnya ke luar.

Dan aku diajak berpikir, bukan terutama oleh adegan berdarah-darah di bawah, tetapi oleh apa kata orang dan aku tentang kejadian itu. Aku sendiri harus mengaku telah termakan stereotip. "FPI kayaknya," ujarku pada seorang teman ketika kami masih sama-sama tak tahu apa yang terjadi. "Tadi aku lihat celananya cingkrang," jawabku ketika dia tanya kenapa aku bisa tahu. Beberapa orang lain di sekitar kami membuat sangkaan senada. Maklum, peristiwa itu hanya berjarak beberapa hari dari tragedi monas. Sebenarnya dugaan awalku adalah bom. Kepada seorang teman sempat pula aku bilang, dulu kalau ada ledakan bom, redpel-ku pasti langsung suruh aku turun, ngubek-ngubek TKP dan rumah sakit untuk cari korban dengan kisah paling tragis, paling heroik, atau paling klenik. "Jangan lupa tanyakan soal firasat, Dan," kata redpel-ku pula dengan cerdasnya. Oh dunia... Di dekat sebuah restoran cepat saji, cerita yang berkembang lain lagi. Dua orang pramusaji justru berkelakar betapa akan lebih seru peristiwa tadi kalau ada adegan adu pedang seperti di film-film laga mandarin. Seorang bapak setengah baya justru membahas rasa jijik. "Hilang selera makan saya ngeliatnya." Ada suami yang menyuruh istrinya menjauh dari tangga, siapa tahu orang-orang yang bertikai di bawah naik ke lantai dua.

Yang kemudian terpikir olehku adalah reaksi orang-orang ketika lelaki yang terluka itu berjalan gontai kehabisan darah. Semua orang justru menyingkir, menjauh. Ada lebih dari lima satpam yang mengikutinya, tapi bukan dengan maksud meringkus atau menolong, melainkan hanya ingin memberinya jalan sambil memastikan dia tidak menyerang pengunjung. Laki-laki itu seperti banteng habis dihunus yang kemudian ditontoni hingga kehabisan darah. Lalu aku teringat kisah Kitty Genovese yang dikutip Malcolm Gladwell dalam Tipping Point. Di suatu hari pada tahun 1964, Kitty dikejar oleh penyerangnya di suatu jalan di New York. Dalam kengerian selama setengah jam itu, dia ditikam tiga kali hingga mati. Ironisnya, kejar-kejaran itu ditonton oleh 38 orang tetangganya dari jendela masing-masing. Dan tak seorang pun melakukan apa pun, tak juga menelepon polisi. "Ketidakpedulian pada tetangga dan masalahnya adalah tindakan refleks yang terkondisikan dalam kehidupan di New York dan kota-kota besar lainnya," tulis Abe Rosenthal, editor The New York Times, soal kasus itu. Inikah yang terjadi kemarin? Barangkali. Klewang di tangan lelaki terluka itu tentu menjadi pembeda. Atau justru menjadi pembenar untuk tak ikut campur, sebab tindakan menolong yang heroik bukan tak mungkin menyebabkan diri terluka. Atau justru besarnya jumlah orang yang menyaksikan ikut menjadi tempat sembunyi yang nyaman. "Kan bukan hanya saya yang lihat. Kenapa harus saya yang tolong?" Entah apa yang kami pikirkan ketika "menonton" saat itu, tapi yang pasti tak kudengar sepatah kata pun nuansa iba di tengah kerumunan kami. Mungkin Rosenthal benar soal ketidakpedulian. Atau mungkin kami bahkan dibuai oleh nyamannya dosa kolektif. Tak apa tak peduli, asal bukan sendiri. Itu pikir kami.

Orang itu akhirnya dibawa entah ke mana oleh temannya, setelah beberapa taksi menolak mengangkutnya di luar. Sementara itu, manajer kafe dan resto yang tempatnya kebagian darah memerintahkan bawahan-bawahannya untuk mengepel. Sebuah kedai kopi bahkan merelakan sebungkus kopinya dihamburkan di lantai, demi mengusir bau amis darah. Hanya lima menit berselang, semuanya kembali bergeliat. Kedai kopi yang dibanjiri darah tadi kembali didatangi orang ramai. "Kejadian tadi menyisakan kengerian yang membuat orang ingin duduk diam sejenak. Kedai kopi pasti orang serbu sekadar untuk duduk minum. Lagipula ada bahan cerita baru yang bisa dibahas panjang lebar sambil ngopi," teoriku. Dan para wanita muda kembali menawar kalung. Dan ibu-ibu kembali mencoba-coba baju batik di bawah sembari mematut-matut diri. "The power of consumerism!" ucapku dan seorang teman hampir serempak.

Dan seperti di film-film, polisi lagi-lagi ketinggalan kereta...

No comments: