09 June 2008

Si Dan di Suatu Hari

Sembilan belas September dua ribu tujuh. Sudah pukul 07.09. Menyalakan komputer. Membuka Opera. Cek e-mail. Satu dari jobstreet.com – busuk. Satu update dari situs pertemanan. Dua pesan sampah. Semuanya dihapus. Situs pribadi Gay Talese, yang menumpang di portal randomhouse. Mempelajari sang wartawan-cum-penulis. Honor Thy Talese, esainya di The New York Observer suatu kali. Soal writer's paper versus reporter's/recorder's paper. Lumayan, paling tidak ada 'sarapan' berguna pagi ini, setelah tadi pagi Soeharto Inc. di Tempo – belum kelar dibaca. Daripada memandangi wajah bos yang tak menginspirasi, yang pagi ini mengucapkan selamat pagi – setelah sekian lama – dengan canggungnya.

Mbak Endang mengantar teh yang rasanya – karena dibuat massif mungkin – entahlah, tetapi yang pasti kandas di ujung sore. Memandangi jarum jam dinding mengesot. Melirik tumpukan Pocket Mentor yang...entahlah. Why on earth Harvard Business School Press mengeluarkan sampah-sampah macam ini. Soal manajemen waktu, soal memimpin tim, soal apa lagi. Basi. Tak ada terobosan. Stick note bertuliskan 'Sigit P' di cover buku. Si penerjemah kampungan itu. Membayangkan kalimat-kalimatnya yang memusingkan, yang membuat pekerjaanku berbeban. Memikirkan dia yang mempekerjakannya. Dia yang selalu meyakinkanku bahwa semuanya mudah dan cepat. Mudah-mudahan Tuhan mengampuninya.

Teman satu timku – sebut saja Mother-Wannabe – datang. Lenggang langkahnya yang ringan seperti menjanjikan bahwa di suatu titik waktu di hari ini, kami akan menertawai naskah Korespondesi Bisnis yang kacangan, yang norak, yang rasanya ingin kami ludahi, tetapi yang harus Mother-Wannabe kerjakan demi kemaslahatan divisi dan demi janji yang terlanjur terucap kepada penulis entah siapa itu. Senda gurau dengan Mother-Wannabe soal nama anaknya. Kusarankan 'Daniel' agar anaknya sukses kelak. Dengan tegas ditolaknya. Fakta bahwa aku kini bekerja di tempat kami bekerja, katanya, sama sekali tak bisa disebut indikator sukses. “Bagaimana dengan kesempatan tugas luar negeri?” tanyaku lugu. Lalu derai tawa. Si bos kembali dari rapat-entah-apa. Kami kembali ke naskah-naskah kami yang...

Kau-Tahu-Siapa tiba-tiba datang. Kali ini tak terdeteksi. Biasanya bunyi hak sepatunya mudah dikenali – oleh beberapa teman disebut provoking. Tapi kali ini dia melenggang dengan sepatu baru, yang disebut Mother-Wannabe sebagai “sepatu yang nggak banget”. Lalu aku dengan teori-sok-bijak berujar, “Dia itu tipe orang 'yang penting mahal'.” Buruknya lagi, bunyi sepatunya “gemboss...gemboss...gemboss...”. Persis seperti ketika kau menginjak sol sepatu – terbuat dari kulit sintetis murahan – yang basah. “Perhaps this is Kau-Tahu-Siapa's way to show that Kau-Tahu-Siapa is the boss here,” teoriku lagi kepada Mother-Wannabe. Hampir lupa, Kau-Tahu-Siapa ternyata memberikan tugas entah apa kepada bos kami, yang ditanggapi bos kami dengan manut-manut ala babu.

Net send dari Dia-Yang-Terlupakan, soal sms dari Kau-Tahu-Siapa tadi malam – sms norak yang mengeluhkan soal penulis yang disebutnya 'gak tau bales budi'. Lalu aku menghampiri Dia-Yang-Terlupakan, menertawai betapa politisnya jawaban-jawaban kami. Seseorang datang bergabung, membicarakan soal perencanaan tugas ke Frankfurt. Dia-Yang-Terlupakan berpesan agar kami tak lupa singgah ke St. James Park ketika pelesir ke London nanti. Di tempat itu, katanya, bebek-bebek berkeliaran dan hidup liar. Sambil melengos pergi, dengan nada canda, kujawab dia, “Bosen, di sini juga kita sudah terlalu sering membebek.” Lalu derai tawa.

Temanku lainnya, yang menolak disebut namanya, datang untuk konsultasi soal daftar pertanyaan. Siang nanti dia mau wawancara Andrea Hirata. Menarik pasti. Sayang cuma akan dimuat 2 halaman di majalah gratisan buatan perusahaan kami. Aku sempat menyarankan agar dimuat 4 halaman saja dengan mengambil 2 halaman jatah tip bisnis – tip bisnis ini bakal jadi tugasku. Ini murni siasat! Hehehe.

Lalu suara ketak-ketok renovasi toilet. Dan suara orang menerima telepon, menggodaku untuk menebak-nebak isi pembicaraannya – bakat mata-mata? Hampir lupa, seseorang yang memilih menukar huruf 'k' dalam namanya dengan 'qu' - dan merepotkan pelafalan – sudah datang sejak tadi. Dia resmi didaulat membantu bos kami, membereskan ceceran naskah busuk yang dulu 'dianugerahkan' kepada seorang teman yang kini 'selamat' berkat transfer. Dari kemarin mereka asyik berdiskusi soal tugas diplomat dan fungsi Departemen Luar Negeri – salah satu buku bercerita tentang keinginan seorang anak untuk menjadi diplomat kelak. Ahh..., mengingatkanku bahwa aku harus latihan TOEFL. Tadi malam sih udah berlatih kemampuan mendengarkan – soal Jack London, migrasi manusia, penduduk Inggris mula-mula di Amerika. Tapi tak selesai karena tiba-tiba aku teringat harus menelepon seseorang.

Tawar-menawar dengan Mother-Wannabe soal tempat makan siang. Tongseng lagi, sambil mendengarnya bercerita soal dosen-dosennya di FEUI yang eksentrik. Aku sempat teringat Unpad yang payah. Dalam perjalanan pulang, bahasan kami soal pengemudi angkot 03 yang ugal-ugalan.

My God..., musik opera itu...

Aku menunggu Mother-Wannabe beranjak dari kursinya untuk salat. Itu pola khas dia: makan siang – salat (1 jam) – balik ke meja, kerja atau kerja? – salat lagi – eh, gak terasa udah jam 4 – pulaaang. Cerdas banget dia. Tadi pagi, sempat-sempatnya pula dia terinspirasi oleh trik seorang kawan yang religius: datang telat (kan bisa ngisi formulir finger scan dengan alasan lupa bawa kartu absen?) dan pulang cepat. Cerdas kali pun!

Thank God, musik opera itu akhirnya berhenti juga.

Mata ini seperti diberi beban 3 ton. Yang begini mana mungkin lagi dipaksa melototin Mindful Learning. Akhirnya dari tadi aku mantengin Gay Talese lagi. Seru banget membaca tulisan dia soal arogansi antardepartemen di New York Times. Soal leluasanya affair dijalin di sana. Kutipan lirik lagu iseng ciptaan orang-orang Herald-Tribune berbunyi begini: “Drink is the curse of the Tribune, and sex is the bane of the Times”. Sekalipun awalnya mengira dirinya memasuki institusi yang berintegritas tinggi, Talese akhirnya sadar betapa naifnya keyakinan ini. “I realized that I was working in a place of appearances. It was as if the walls of the Times building were made of one-way glass that gave us a view of the outside world and prevented those on the outside from looking in and judging us,” tulisnya.

Kali ini seseorang dari generasi lalu memutar musik generasi yang tlah berlalu pula. Liriknya sih mulia – soal berbakti kepada ibu – tapi tetep gak nahan. Pusing...

Ke ruangan tempat buku-buku tebal diramu. Letaknya di ruang tengah kami. Menemukan notula rapat kuartalan para bos beberapa minggu lalu. Tersentak membaca masukan demi masukan dari para petinggi yang klise gak ketulungan. Ada yang lagi-lagi cuma bilang, “Informasi tentang produk harus disampaikan ke daerah-daerah yang berpotensi kekurangan informasi. Tersebarnya informasi membantu penjualan produk.” Terima kasih, Pak, atas masukan Anda yang sangat riil. Ide Anda benar-benar baru. Ini benar-benar terobosan gemilang. Kenapa kami nggak kepikiran, ya? Ingin rasanya mengatakan itu ke beliau-beliau di atas sana.

Sekretaris menyerahkan selembar jadwal event yang mesti direvisi. Ah..., event. Kapan kami bebas darimu? Untung sudah dapat dua ide yang lumayan. Mudah-mudahan doable. Mendengar kabar terbaru, besok jam 8 mesti ke Kedutaan Besar Jerman untuk mengurus visa Schengen. Cari tebengan.

Diralat. Para pria menemui jalan yang lebih sukar. Visa Schengen belum bisa diurus karena paspor masih tertahan dalam pengurusan visa Inggris yang terkendala. Kedubes Inggris meminta print-out rekening pribadi kami. Mungkin tampang-tampang kere kami tak cukup meyakinkan untuk pelesir ke London. Khawatir (atau malah senang?). Takutnya ada limit. Takutnya tabunganku tak mencapai limit setelah dikonversi ke Poundsterling. Sudahlah, kenapa pula dipusingkan. Come what may...

Si bos menghampiri, membuat gentar kami yang mengira akan mengalami 'briefing' lagi soal sasaran (baca: a-i-m). Kabar yang dibawanya lebih mengejutkan: kami akan pindah ruangan (lagi). Mother-Wannabe mencoba bertanya ini dan itu. Aku cuma manut saja, sadar bahwa keadaan takkan berubah jika ide ini datang dari Kau-Tahu-Siapa. Sempat pula si bos mengeluh, soal segepok tanggung jawab baru yang tiba-tiba dilemparkan kepadanya. Dia sedang digembosi? Dipolitiki? Ah..., kenapa pula aku pusing.

Mencoba kembali ke Pocket Mentor, tapi tak sanggup lagi berkonsentrasi. Ini saatnya untuk mengakhiri. 16.50. Memasukkan barang-barang – iPod, dua bolpen merah, satu bolpen hitam, pensil mekanik, Tempo – ke dalam tas. Sambil menghitung mundur. 100, 99, 98, 97, 96, 95, 94, 93, 92,....

Di Finger Scanner. Nggak antre kayak kemarin. Di luar pintu, teman-teman berkumpul, merencanakan acara buka puasa bareng sekaligus perpisahan dengan satu teman yang 'tercerahkan'. Aku putuskan tak ikut. Maaf. Bertemu dengan orang majalah, menertawakan beberapa gagasan. Di gerbang, orang-orang berseliweran dengan berbagai ekspresi. Seperti tawanan yang baru dibebaskan. Aku pulang. Tidak dengan langkah ringan...

No comments: