Aku mengetuk pintu, lalu menunggu. Dalam koor degup jantung dan tarikan napas yang tak teratur, aku mengira-ngira wajahmu. Bulatkah? Lonjongkah? Tak sempat berjawab, pintu telah dibuka, menyisakan bunyi derit samar yang makin mendramatisir suasana. Lalu kita saling tatap. Aku yang lama jauh dan kau yang malu dalam dekap ibumu. Matamu besar. Menantang. Berbinar. Tak sedikit pun menyiratkan gentar. Lubang hidung yang terlalu menganga – kita sama. Mulut mungil yang mengumbar tawa pada apa pun yang kau anggap baru. Kau dan rambut ombakmu. Kupegang tangan mungilmu. Kuhampiri telinga kecilmu dan kuperdengarkan namaku. Ada segaris senyum ketika kau menarik diri dan membenamkan wajahmu di dada ibumu. Akan ingatkah kau namaku?
Tangan yang rentan menggapai-gapai apa saja untuk dilemparkan. Kaki yang pasi menendang-nendang geram. Lekat kupandangi kau yang berjuang membalik badan ketika ibumu menidurkanmu telentang. Kau keras, terpahat di tingkahmu. Kau jelas penuntut. Tak sampai tiga menit kau ditinggal, tangismu seperti meraung-raung, baru reda jika ibumu tiba. Lalu ibumu menyuapkan makanan ke mulutmu yang lapar. Dua tiga suap memenuhi rongga mulutmu hingga luber, sembari kau pandangi aku dengan tawa. Sesekali kudengar pula kau mengoceh. Tak jelas. Seperti bersenandung. Atau menyapa? Aku menyahut dengan apa saja yang kubayangkan sedang kau katakan. Kuharap inilah salam perkenalan. Tapi kenapa kau tak asing? Seperti seseorang yang pernah singgah.
Lama aku mencari jawab dalam waktu-waktu ketika menelitimu dalam lelapmu di ayunan. Seperti ada sejumput jawaban di dasar kepala yang menunggu untuk aku temukan. Siapa kau? Lalu ibumu – kakakku – menghentakku. Matamu, katanya, mata ibu kami. Keramahanmu, katanya, keramahan ibu kami. Keberanianmu, katanya, keberanian ibu kami. Demi mendengarnya, aku tertegun, mengiyakan. Lalu kaki-kaki kecil kenangan berlari-lari di ingatanku, tentang dia yang kini ada di matamu, yang menginspirasikan keramahan di wajahmu, yang mengalirkan keberanian di darahmu. Dia yang kami cintai dan mencintai kami, tapi tak sempat kau kenal dan lihat.
Dan seperti yang sudah-sudah – setiap kali mengenangnya – malam itu aku tersedu dalam diam hingga tertidur. Kubayangkan betapa girang dia akan memandangimu dalam gendongan, mengusap-usap pipimu yang putih. Ahh, pengandaian-pengandaian ini...
Kristania, kau yang kini kulihat telah tanpa sadar menyadarkanku, bahwa kami tidak ditinggalkan. Tak seperti yang dulu pernah kusebut, bahwa kami seperti anak-anak rajawali yang lelah menunggu. Kami dan peran-peran kami dalam kehidupan ini terus bergulir dalam pemeliharaan yang – ketika kurenung-renungkan dalam sendiriku – ajaib. Ibumu yang mengasihi ayahmu, kau yang lahir dari kasih itu, aku yang kini pulang, adalah bukti keajaiban pemeliharaan itu. Kita dicukupkan, tak pernah kurang. Kita semua diikat kuat dalam kedekatan kita yang kadang diam dan sesekali diperciki marah. Tapi beginilah kita sekarang dan kuharap begini pula kita nanti.
Aku terbangun oleh tangismu malam itu, bahagia karena kini kau ada di antara kami. Kudengar ibumu menenangkanmu, membujukmu dengan cerita tentang kupu-kupu. Lalu kau lelap lagi sembari mendekap erat selimut kesayangan. Sementara mataku, mereka bahkan tak kunjung terpejam, mengharapkan malam tak usah ada, agar pagi segera tiba, dan kita bercengkerama.
Aku pulang. Sebulan berselang. Dan yang kutanyakan tiap kali adalah sehatkah engkau. Seperti pagi itu, saat kudengar keluh ibumu bahwa kau sakit, aku ikut lesu. Aku yang jauh kini hanya bisa menyarankan ini dan itu, lain tidak. Lalu berharap kau tak mengalami suatu apa. Adakah kau masih mengingatku?
Kristania, kuucap syukur untukmu, yang seperti satu keping puzzle yang kami temukan. Kau, kini satu alasan lagi untuk rindu pulang...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment