Kutemukan sebuah tempat baru, tempat aku duduk dan menyilangkan kaki sambil menatap langit senja. Itulah ujung balkon kamarku - tumpukan dinding bata dibalut kapur putih pudar. Tak pernah aku ke sana, sebab ke sanalah sampah-sampah sisa menyapu lantai selalu diterbangkan angin.
Sore itu aku penat. Aku butuh sesuatu yang tanpa batas untuk dipandangi hingga puas. Dan itu adalah langit senja. Dari depan kamar, langit tertutup pucuk-pucuk pauh yang mulai meranggas. Aku bergeser ke ujung balkon dan menganga. Langit tampak seperti campuran cat merah, kuning, dan putih yang ditumpahkan bertimpah-timpah di hamparan palet semesta. Pendarnya begitu memesona. Kutatap lekat elok langit yang sudah lama tak kutatap semenjak hidup tergadai demi kerja. Langit yang kupandangi dari pagi hingga malam terbuat dari asbes. Polanya bintik-bintik seragam. Di sana tak berlaku prakiraan. Tak ada nimbus cumulus, hujan es, apalagi kumpulan bangau menuju barat. Langit itu dari asbes, hanya berpola lain ketika air hujan merembes.
Balkon itu kini tempat ritual. Di sana aku lebur dalam sastra yang mengasah rasa. Di sana aku bersenandung, mengawal mega yang berarak mendung. Di sana aku diisi tanpa harus merasa dijejali. Di sana aku berpikir tanpa ada yang menganulir. Di sana aku berselonjor tanpa harus dituding kotor. Di sana aku termenung tanpa merasa dipasung.
Balkon itu memanusiakan!
25 July 2007
Di Mana Kini
Di mana kau kini?
Kau tega, membuatku mencari-cari. Aku sudah mengingat-ingat di mana kau terakhir pamit. Tak ketemu. Yang kukais cuma serpihan ingatan dibalut terlalu banyak ‘kenapa’ yang tak ingin lagi kucari jawabnya. Aku ramai, tapi sepi. Aku sepi, tapi ramai. Aku mencarimu. Mendekatlah! Atau, paling tidak beri tanda kau di mana.
Malam tadi, dalam khayal kucari petunjuk di sepeda onthel-mu. Sepeda itu, katamu, kau beli dari seorang tukang besi yang hampir meleburnya jadi panci. Kau belikan dia garpu becak yang kokoh. Roda-rodanya kau beri ban baru yang bau karetnya kuciumi. Sepeda itu yang kau kayuh, membawaku ke rambung sialang, mencari ranting-ranting pohon karet untuk tungku ibu. Hari itu kita mendapat segunung ranting yang kau susun di sela palang onthel hingga besi tua itu tak bisa lagi kau tunggangi. Kau dudukkan aku di atas ranting bersusun dan mendorongku serta onthel itu keluar dari rimbun rambung. Berat, namun kau tetap tertawa ketika berceloteh tentang sarang jalak yang kita temukan kemarin. “Jalak itu bisa mengenalmu kalau sudah lama dipelihara,” katamu. Aku percaya. Kita sempat berhenti di kedai karo. Kau pesan segelas kopi. Kau tuang di piring setengah agar dingin dan bisa kuminum, sementara bibirmu menyeruput langsung dari gelas panas. “Ayo pulang,” katamu sambil memesan satu botol limun dingin lagi untuk kuminum di jalan.
Di mana kau kini?
Pagi berikutnya, kau ajakku mencari bambu. Kau memanduku menghindari semak berduri hingga kita sampai di pinggir rawa, tempat kau memotong batang-batang buluh yang kuat melengkung. Kau merangkainya dengan senar yang telah kau bentuk simpul laso. Kau juga mengajakku menebas rumput rawa, membuat lorong-lorong tempat burung ayam-ayaman mengendap-endap. Kita meninggalkan jerat itu ketika gerimis mulai menyentuh ujung-ujung daun. “Burung ayam-ayaman keluar mencari makan saat gerimis. Dia pasti kena jerat,” janjimu kusambut anggukan. Ketika gerimis pergi, kita tertawa riang saat meringkus burung-burung yang kakinya terlilit senar. Ibu menggulainya untuk makan kita siang itu.
Di mana kau kini?
Malam tadi aku teringat di mana kau pamit. Jas birumu, dasi merah hatimu, kemeja putihmu, begitu serasi. Aku panggil, tapi kau tak mendengar. Mungkin karena ratusan orang di sekitar kita terlalu bising. Aku sudah menyuruh mereka diam, tapi mulut mereka terus saja melantunkan Rembak Ras Kam, Tuhan. Aku menggoyang-goyang tanganmu yang berurat, tapi kau tak hirau. Kenapa? Bicaralah! Bicaralah! Sebelum orang-orang ini tambah riuh. Kenapa kau malah pergi? Kau turun ke bawah, diam dan rapi. Tali-tali kapal menurunkan rumahmu ke bumi. Di sanalah kau pamit tanpa kata. Kulemparkan segenggam tanah kering sebelum akhirnya kita terpisah, kutaburkan pucuk-pucuk bunga kantil sebelum melangkah ke kesendirian. Di atas pusaramu. Kini aku ingat, di sana kau pamit.
Di mana kau kini, Ayah?
Kau tega, membuatku mencari-cari. Aku sudah mengingat-ingat di mana kau terakhir pamit. Tak ketemu. Yang kukais cuma serpihan ingatan dibalut terlalu banyak ‘kenapa’ yang tak ingin lagi kucari jawabnya. Aku ramai, tapi sepi. Aku sepi, tapi ramai. Aku mencarimu. Mendekatlah! Atau, paling tidak beri tanda kau di mana.
Malam tadi, dalam khayal kucari petunjuk di sepeda onthel-mu. Sepeda itu, katamu, kau beli dari seorang tukang besi yang hampir meleburnya jadi panci. Kau belikan dia garpu becak yang kokoh. Roda-rodanya kau beri ban baru yang bau karetnya kuciumi. Sepeda itu yang kau kayuh, membawaku ke rambung sialang, mencari ranting-ranting pohon karet untuk tungku ibu. Hari itu kita mendapat segunung ranting yang kau susun di sela palang onthel hingga besi tua itu tak bisa lagi kau tunggangi. Kau dudukkan aku di atas ranting bersusun dan mendorongku serta onthel itu keluar dari rimbun rambung. Berat, namun kau tetap tertawa ketika berceloteh tentang sarang jalak yang kita temukan kemarin. “Jalak itu bisa mengenalmu kalau sudah lama dipelihara,” katamu. Aku percaya. Kita sempat berhenti di kedai karo. Kau pesan segelas kopi. Kau tuang di piring setengah agar dingin dan bisa kuminum, sementara bibirmu menyeruput langsung dari gelas panas. “Ayo pulang,” katamu sambil memesan satu botol limun dingin lagi untuk kuminum di jalan.
Di mana kau kini?
Pagi berikutnya, kau ajakku mencari bambu. Kau memanduku menghindari semak berduri hingga kita sampai di pinggir rawa, tempat kau memotong batang-batang buluh yang kuat melengkung. Kau merangkainya dengan senar yang telah kau bentuk simpul laso. Kau juga mengajakku menebas rumput rawa, membuat lorong-lorong tempat burung ayam-ayaman mengendap-endap. Kita meninggalkan jerat itu ketika gerimis mulai menyentuh ujung-ujung daun. “Burung ayam-ayaman keluar mencari makan saat gerimis. Dia pasti kena jerat,” janjimu kusambut anggukan. Ketika gerimis pergi, kita tertawa riang saat meringkus burung-burung yang kakinya terlilit senar. Ibu menggulainya untuk makan kita siang itu.
Di mana kau kini?
Malam tadi aku teringat di mana kau pamit. Jas birumu, dasi merah hatimu, kemeja putihmu, begitu serasi. Aku panggil, tapi kau tak mendengar. Mungkin karena ratusan orang di sekitar kita terlalu bising. Aku sudah menyuruh mereka diam, tapi mulut mereka terus saja melantunkan Rembak Ras Kam, Tuhan. Aku menggoyang-goyang tanganmu yang berurat, tapi kau tak hirau. Kenapa? Bicaralah! Bicaralah! Sebelum orang-orang ini tambah riuh. Kenapa kau malah pergi? Kau turun ke bawah, diam dan rapi. Tali-tali kapal menurunkan rumahmu ke bumi. Di sanalah kau pamit tanpa kata. Kulemparkan segenggam tanah kering sebelum akhirnya kita terpisah, kutaburkan pucuk-pucuk bunga kantil sebelum melangkah ke kesendirian. Di atas pusaramu. Kini aku ingat, di sana kau pamit.
Di mana kau kini, Ayah?
FM 2
“Yang itu bagus. Sederhana cara pakainya, tapi tetap tajam.” Kau asing, namun berani mengomentari Nikon FM 2 buluk di tanganku. “Saya Mar.” Tangan kanan kau julurkan. “Dan,” balasku tak ingin kalah pendek. Tiga detik setelah itu, kita seperti sudah kenal lama, membicarakan karat dan daki di body titanium kamera tua itu. “Bandel. Kata orang kamera wartawan perang,” celotehmu. Kamera perangmu pun kutenteng pulang setelah dua pertiga uang pesangonku berpindah tangan.
Perangku bukan Waterloo. Kau tak tahu. Medan yang kurancang seminggu setelah surat PHK turun adalah Monas. Senjatanya kamera. Sengaja kupilih body yang agak besar. Kamera besar mudah meyakinkan orang udik. Targetku, tiga empat pasang muda-mudi yang ingin diabadikan ketika bergandeng tangan di bawah monumen kebanggaan Jakarta itu. Layananku delivery 5 ribu perak selembar.
Film kadaluarsa yang kubeli 5 ribu tiga kubanting putus asa. Aku tak bisa memasangnya ke kamera. Tombol mana yang harus dipencet agar kilatan cahaya keluar pun aku tak tahu. Kamera yang katamu kesayangan fotografer perang, James Nachtwey, itu kutenteng keluar, berharap menemukan seseorang tempat bertanya. Kalaupun tak ada, aku sudah memutuskan untuk menyemplungkannya ke Kali Haji Ung yang airnya lebih mirip oli bekas, sekadar kompensasi kekesalan. Namun, waktu kembali mempertemukan kita di Metromini Senen-Djago. Terima kasih telah menginjak sandalku sehingga aku menoleh. Kita turun, dan kau menguliahiku tentang shutter dan cara pasang film. “Apa tadi? Syater?” tanyaku membuatmu tersedak.
Dua bulan aku menjalani kehidupan itu: berangkat pukul 3 sore dan pulang jam 7 petang dengan 5 frame siap cetak. Usai singgah di kios Sumardjito yang plangnya ditulisi tulisan ‘AFDRUX’ gede-gede, aku pulang ke kontrakan, memberi tabik kepada nyamuk-nyamuk yang setia merecokiku ketika meninggalkan alam sadar. Paginya, kuambil foto-foto yang sudah dicetak dan kuantarkan ke rumah empunya dengan bersepeda. Pose-pose standar mereka - kedua pipi didekatkan dan senyum yang dibuat-buat – membuatku jengah. Kalau berfoto sendiri, biasanya posenya seragam: berkacak pinggang dan badan dimiringkan 35 derajat. Ya, aku butuh tempat muntah.
Sudah tiga bulan. Aku tak tahan. Dan’s Photo Section kubekukan. Kamera perangmu teronggok di lemari, kubenamkan di bawah kain jemuran yang tak kunjung sempat kusetrika.
****
Setahun sudah, dan aku kini wartawan dekil di koran gurem. Setiap kali mereka menyuruhku mencari kisah pemerkosaan. Seharian kerjaku nongkrong: di kantor polisi, rumah-rumah kardus di pinggir Ciliwung, lorong-lorong gelap Kampung Bali. “Di sana banyak kasus cabul,” mereka meyakinkanku. Kadang aku beruntung menemukannya, namun lebih sering cerita itu kukarang dari kedai kopi yang satu ke warung bubur yang lain. Jika penat, aku selalu ke Gedung Garnisun untuk menghabiskan malam. Mereka selalu memamerkan foto-foto hitam putih di sana, seperti malam ini. Aku cuma penikmat, Mar. Sudah setahun. Ratusan Metromini sudah kunaiki, dan aku tak pernah lagi menjumpaimu. Rindu…
“Masih dengan FM 2?” sebuah tangan menjawil pundakku. Itu kau, Mar. Tak berubah. “Kutumpuk di bawah kain,” aku terbata. Kita tak sempat bercakap. Mereka berebut meminta tanda tanganmu di pameran fotomu yang kesekian.
“Dari Mbak Mar,” seorang perempuan menyodorkan sobekan kertas. Aku tak paham, tapi tetap kubuka. Besok aku ke Kwitang, berburu FM 2. Mau temani? – Mar
(Medio Agustus, semua karena Get a Grip)
Perangku bukan Waterloo. Kau tak tahu. Medan yang kurancang seminggu setelah surat PHK turun adalah Monas. Senjatanya kamera. Sengaja kupilih body yang agak besar. Kamera besar mudah meyakinkan orang udik. Targetku, tiga empat pasang muda-mudi yang ingin diabadikan ketika bergandeng tangan di bawah monumen kebanggaan Jakarta itu. Layananku delivery 5 ribu perak selembar.
Film kadaluarsa yang kubeli 5 ribu tiga kubanting putus asa. Aku tak bisa memasangnya ke kamera. Tombol mana yang harus dipencet agar kilatan cahaya keluar pun aku tak tahu. Kamera yang katamu kesayangan fotografer perang, James Nachtwey, itu kutenteng keluar, berharap menemukan seseorang tempat bertanya. Kalaupun tak ada, aku sudah memutuskan untuk menyemplungkannya ke Kali Haji Ung yang airnya lebih mirip oli bekas, sekadar kompensasi kekesalan. Namun, waktu kembali mempertemukan kita di Metromini Senen-Djago. Terima kasih telah menginjak sandalku sehingga aku menoleh. Kita turun, dan kau menguliahiku tentang shutter dan cara pasang film. “Apa tadi? Syater?” tanyaku membuatmu tersedak.
Dua bulan aku menjalani kehidupan itu: berangkat pukul 3 sore dan pulang jam 7 petang dengan 5 frame siap cetak. Usai singgah di kios Sumardjito yang plangnya ditulisi tulisan ‘AFDRUX’ gede-gede, aku pulang ke kontrakan, memberi tabik kepada nyamuk-nyamuk yang setia merecokiku ketika meninggalkan alam sadar. Paginya, kuambil foto-foto yang sudah dicetak dan kuantarkan ke rumah empunya dengan bersepeda. Pose-pose standar mereka - kedua pipi didekatkan dan senyum yang dibuat-buat – membuatku jengah. Kalau berfoto sendiri, biasanya posenya seragam: berkacak pinggang dan badan dimiringkan 35 derajat. Ya, aku butuh tempat muntah.
Sudah tiga bulan. Aku tak tahan. Dan’s Photo Section kubekukan. Kamera perangmu teronggok di lemari, kubenamkan di bawah kain jemuran yang tak kunjung sempat kusetrika.
****
Setahun sudah, dan aku kini wartawan dekil di koran gurem. Setiap kali mereka menyuruhku mencari kisah pemerkosaan. Seharian kerjaku nongkrong: di kantor polisi, rumah-rumah kardus di pinggir Ciliwung, lorong-lorong gelap Kampung Bali. “Di sana banyak kasus cabul,” mereka meyakinkanku. Kadang aku beruntung menemukannya, namun lebih sering cerita itu kukarang dari kedai kopi yang satu ke warung bubur yang lain. Jika penat, aku selalu ke Gedung Garnisun untuk menghabiskan malam. Mereka selalu memamerkan foto-foto hitam putih di sana, seperti malam ini. Aku cuma penikmat, Mar. Sudah setahun. Ratusan Metromini sudah kunaiki, dan aku tak pernah lagi menjumpaimu. Rindu…
“Masih dengan FM 2?” sebuah tangan menjawil pundakku. Itu kau, Mar. Tak berubah. “Kutumpuk di bawah kain,” aku terbata. Kita tak sempat bercakap. Mereka berebut meminta tanda tanganmu di pameran fotomu yang kesekian.
“Dari Mbak Mar,” seorang perempuan menyodorkan sobekan kertas. Aku tak paham, tapi tetap kubuka. Besok aku ke Kwitang, berburu FM 2. Mau temani? – Mar
(Medio Agustus, semua karena Get a Grip)
Indonesiaku
Kami masuk ke kantor salah satu walikota di Jakarta yang mentereng, membicarakan keinginan kami untuk membantu pemerintah kota mengadakan seminar tentang narkoba bagi kepala-kepala sekolah di wilayahnya. Ruangan di lantai 3 itu hening. Tiga empat perempuan bercengkerama sambil mengunyah cemilan. Di sudut, seorang pria tua membaca koran sambil sesekali menghembuskan asap rokoknya. Tak seorang pun mengingatkannya bahwa ruangan itu ruangan ber-AC. Lama kami menunggu. Akhirnya pria berkulit gelap berpangkat Kasubag yang akan kami temui datang juga, setelah kami hampir berkarat.
"Bagus ini, pihak sekolah memang perlu sekali diberi seminar tentang narkoba," kalimatnya meyakinkanku bahwa dia pegawai negeri bermoral. "Pada dasarnya kami sebagai pemerintah kota siap membantu...."
Aku tahu aku harus menanti kata 'tapi'.
"Tapi, ya, semuanya kan pasti ada biaya," yang kutunggu akhirnya datang juga.
"Pembicara kami yang bayar, snack dan makan siang kami yang beli, spanduk kami yang cetak, seminar kit kami yang perbanyak. Bapak cuma perlu sediakan tempat dan mengundang pihak sekolah di wilayah Bapak," temanku mencoba membuka mata pegawai negeri itu bahwa kalau mau jujur, mereka cuma modal dengkul.
"Ya...ya...ya, saya mengerti. Tapi, Anda tahu sendirilah. Program tahunan kami kan sudah disusun rapi. Kalau ada program tambahan di luar yang sudah disusun, kami juga kan yang repot."
"Lho, ini kan positif, Pak. Sekolah perlu sosialisasi tentang narkoba. Kami membantu Bapak kan?"
"Hahahaha...,"
"Lantas?" temanku agak kesal.
"Biaya kebersihan gedung 600 ribu, administrasi undangan 300 ribu, peserta seminar juga biasanya minta uang transport paling tidak 20 ribu perorang."
"Sudah?"
"Sebelum hari H, kita juga harus rapat koordinasi dengan beberapa bagian terkait."
Kami benar-benar bingung. Seberapa pentingnya rapat koordinasi untuk seminar 2 jam sesederhana ini?
"Oo.., penting itu. Pokoknya yang hadir paling tidak 10 oranglah."
"Konsumsi?"
"Hahahaha...," tawanya jawaban yang terlalu jelas.
"Sudah, Pak?"
"Sementara sudah. Tapi sementara lho. Bisa saja ada perubahan."
"Baik. Kami akan rapatkan permintaan-permintaan dana tadi di kantor," kilah temanku.
"Oke, uangnya nanti melalui saya saja. Saya yang akan atur. Uang snack dan makan siang juga bisa diserahkan ke kami. Nanti kami yang belikan," katanya lagi.
"Kami bicarakan dulu, Pak."
"Lantas, sambutan untuk walikota dan format undangan tolong Anda yang buat. Nanti saya tinggal ketik."
"Baik, Pak."
Kami pun pulang setelah menjabat tangannya. Ketika kami keluar menuju lift, ia terus mengikuti kami. Wajahnya agak masam ketika pintu lift tertutup dan kami hilang dari pandangan. Mengharap salam tempel? Entahlah. Keluar dari kantor itu, aku tersadar, ini Indonesia.
"Bagus ini, pihak sekolah memang perlu sekali diberi seminar tentang narkoba," kalimatnya meyakinkanku bahwa dia pegawai negeri bermoral. "Pada dasarnya kami sebagai pemerintah kota siap membantu...."
Aku tahu aku harus menanti kata 'tapi'.
"Tapi, ya, semuanya kan pasti ada biaya," yang kutunggu akhirnya datang juga.
"Pembicara kami yang bayar, snack dan makan siang kami yang beli, spanduk kami yang cetak, seminar kit kami yang perbanyak. Bapak cuma perlu sediakan tempat dan mengundang pihak sekolah di wilayah Bapak," temanku mencoba membuka mata pegawai negeri itu bahwa kalau mau jujur, mereka cuma modal dengkul.
"Ya...ya...ya, saya mengerti. Tapi, Anda tahu sendirilah. Program tahunan kami kan sudah disusun rapi. Kalau ada program tambahan di luar yang sudah disusun, kami juga kan yang repot."
"Lho, ini kan positif, Pak. Sekolah perlu sosialisasi tentang narkoba. Kami membantu Bapak kan?"
"Hahahaha...,"
"Lantas?" temanku agak kesal.
"Biaya kebersihan gedung 600 ribu, administrasi undangan 300 ribu, peserta seminar juga biasanya minta uang transport paling tidak 20 ribu perorang."
"Sudah?"
"Sebelum hari H, kita juga harus rapat koordinasi dengan beberapa bagian terkait."
Kami benar-benar bingung. Seberapa pentingnya rapat koordinasi untuk seminar 2 jam sesederhana ini?
"Oo.., penting itu. Pokoknya yang hadir paling tidak 10 oranglah."
"Konsumsi?"
"Hahahaha...," tawanya jawaban yang terlalu jelas.
"Sudah, Pak?"
"Sementara sudah. Tapi sementara lho. Bisa saja ada perubahan."
"Baik. Kami akan rapatkan permintaan-permintaan dana tadi di kantor," kilah temanku.
"Oke, uangnya nanti melalui saya saja. Saya yang akan atur. Uang snack dan makan siang juga bisa diserahkan ke kami. Nanti kami yang belikan," katanya lagi.
"Kami bicarakan dulu, Pak."
"Lantas, sambutan untuk walikota dan format undangan tolong Anda yang buat. Nanti saya tinggal ketik."
"Baik, Pak."
Kami pun pulang setelah menjabat tangannya. Ketika kami keluar menuju lift, ia terus mengikuti kami. Wajahnya agak masam ketika pintu lift tertutup dan kami hilang dari pandangan. Mengharap salam tempel? Entahlah. Keluar dari kantor itu, aku tersadar, ini Indonesia.
Sebaris Kini
Ini kali ke-1016 dia membuka wadah kita, menghamburkan kita di meja kayu penuh ampas kopi yang tertumpah. Seperti salju pertama November, serpihan kulit ari kacang dia tepis hingga berhamburan di udara. Kotak itu dia balikkan. Dua warna cuma, hitam putih, selang-seling. Lama kupendam harap, dua dari 64 kotak yang saban hari jadi tempat kita menaruh kaki, mau menjadi satu dan melukis kelabu, tempat berselonjor yang baru. Harap yang sia-sia.
Aku mengenalmu sejak kotak kayu hitam putih itu dia beli. Saban hari kita digelarnya di meja, disusun di atas kotak kita, berhadap-hadapan, masing-masing di baris kedua. Kau bidak lemah di antara raja, menteri, dan kuda-kuda. Di pinggir, dengan langkah satu-satu. Sekali dua, hanya pada jejak pertama. Arahmu abadi ke depan, tapi tak kenal mundur, sekalipun mereka tepekur, terbahak, mengunyah kacang, menyeruput kopi hingga ke dasar gelas. Sesekali kau menyamping, tapi tetap ke depan, ketika dipaksanya menyikut yang lain, sebelum akhirnya dimangsa pada langkah kelima. Aku memendam rasa, menaruh hormat, menyimpan kekaguman. Pada keberserahanmu, ketetapan hatimu, juga langkah-langkahmu yang tegap. Aku mencinta.
Seribu lima belas kali sudah dia menggelar kita. Tak sekalipun kita tepat berhadapan di satu jalan, tak juga berselisih barang satu baris untuk saling menatap dekat. Kau jauh. Hanya bisa kupandangi, terlalu jauh bahkan untuk sekadar dibaui. Kau hanya kukenal lewat reka yang rahasia. Namun, rasa, hormat, dan kagum tadi tak beranjak dari tempatnya.
Selalu ada kesempatan sebenarnya, ketika dia serampangan melempar kita ke dalam kotak, ketika kalah tiga kali. Raja, menteri, bidak, kuda-kuda, hitam putih asal dilemparkannya di dua blok. Seribu lima belas kali aku mengucap harap, kau dilempar berdekatan denganku sehingga bisa kubaui, kupandangi, kukenal, kuhayati. Seribu lima belas kali harap itu patah. Kita pun dikurungnya di kotak nan pengap, tanpa celah untuk bergeser, tanpa dian untuk memandu mata.
Hari ini seperti seribu hari kemarin, kulempar dadu bagi kebaikan jemarinya. Dia memilih kita di antara hamparan raja, menteri, dan kuda-kuda. Aku ditaruhnya di pinggir, sendiri meratap. Kini giliranmu diangkat jemarinya ke udara. Lama di sana, seperti dihimpit jeda. “Di sini, di baris ini!” teriakku. Dia tak dengar. Dan, plekk… Dia menaruhmu di pinggir sebelah sana, di depan kuda rajamu. Ahh…, kita tak ditakdirkan bertemu.
Sempat aku putus asa, sebelum sebuah keajaiban mengemuka. Bruno, anjingnya, tiba-tiba melompati kotak kita, membuat kita jatuh dan berhamburan di lantai. Dia memunguti kita satu-satu. Aku bidak kesayangannya. Ditaruhnya aku di tempat yang itu-itu juga. Sementara kau masih di udara, dalam genggaman kasarnya. “Di sini, di baris ini!” pekikku lagi, tak lelah. Dia tak pernah dengar. Dan, plekk… Kau, aku, kita sebaris. Kali keseribu enam belas, dan kita sebaris kini.
Aku disorongkannya dua langkah ke depan. Kau disorongkan temannya dua langkah ke depan. Kita kehabisan langkah. Berhenti. Berpandangan. Satu saat setelah beribu kesempatan, dan aku justru teriris. Kini kulihat ke’kau’-anmu. Putih. Aku menatap diri. Hitam. Aku ingin lari, tapi langkah mundur bukan milik bidak sepertiku. Ingin aku menyamping, itu juga tak bisa. Dimakan, hanya itulah harapan agar kita tak berpandangan. Kau putih, aku hitam. Dan itu membuatku berduka di kali keseribu enam belas kita dibuka. Tapi aku masih mencinta.
Aku mengenalmu sejak kotak kayu hitam putih itu dia beli. Saban hari kita digelarnya di meja, disusun di atas kotak kita, berhadap-hadapan, masing-masing di baris kedua. Kau bidak lemah di antara raja, menteri, dan kuda-kuda. Di pinggir, dengan langkah satu-satu. Sekali dua, hanya pada jejak pertama. Arahmu abadi ke depan, tapi tak kenal mundur, sekalipun mereka tepekur, terbahak, mengunyah kacang, menyeruput kopi hingga ke dasar gelas. Sesekali kau menyamping, tapi tetap ke depan, ketika dipaksanya menyikut yang lain, sebelum akhirnya dimangsa pada langkah kelima. Aku memendam rasa, menaruh hormat, menyimpan kekaguman. Pada keberserahanmu, ketetapan hatimu, juga langkah-langkahmu yang tegap. Aku mencinta.
Seribu lima belas kali sudah dia menggelar kita. Tak sekalipun kita tepat berhadapan di satu jalan, tak juga berselisih barang satu baris untuk saling menatap dekat. Kau jauh. Hanya bisa kupandangi, terlalu jauh bahkan untuk sekadar dibaui. Kau hanya kukenal lewat reka yang rahasia. Namun, rasa, hormat, dan kagum tadi tak beranjak dari tempatnya.
Selalu ada kesempatan sebenarnya, ketika dia serampangan melempar kita ke dalam kotak, ketika kalah tiga kali. Raja, menteri, bidak, kuda-kuda, hitam putih asal dilemparkannya di dua blok. Seribu lima belas kali aku mengucap harap, kau dilempar berdekatan denganku sehingga bisa kubaui, kupandangi, kukenal, kuhayati. Seribu lima belas kali harap itu patah. Kita pun dikurungnya di kotak nan pengap, tanpa celah untuk bergeser, tanpa dian untuk memandu mata.
Hari ini seperti seribu hari kemarin, kulempar dadu bagi kebaikan jemarinya. Dia memilih kita di antara hamparan raja, menteri, dan kuda-kuda. Aku ditaruhnya di pinggir, sendiri meratap. Kini giliranmu diangkat jemarinya ke udara. Lama di sana, seperti dihimpit jeda. “Di sini, di baris ini!” teriakku. Dia tak dengar. Dan, plekk… Dia menaruhmu di pinggir sebelah sana, di depan kuda rajamu. Ahh…, kita tak ditakdirkan bertemu.
Sempat aku putus asa, sebelum sebuah keajaiban mengemuka. Bruno, anjingnya, tiba-tiba melompati kotak kita, membuat kita jatuh dan berhamburan di lantai. Dia memunguti kita satu-satu. Aku bidak kesayangannya. Ditaruhnya aku di tempat yang itu-itu juga. Sementara kau masih di udara, dalam genggaman kasarnya. “Di sini, di baris ini!” pekikku lagi, tak lelah. Dia tak pernah dengar. Dan, plekk… Kau, aku, kita sebaris. Kali keseribu enam belas, dan kita sebaris kini.
Aku disorongkannya dua langkah ke depan. Kau disorongkan temannya dua langkah ke depan. Kita kehabisan langkah. Berhenti. Berpandangan. Satu saat setelah beribu kesempatan, dan aku justru teriris. Kini kulihat ke’kau’-anmu. Putih. Aku menatap diri. Hitam. Aku ingin lari, tapi langkah mundur bukan milik bidak sepertiku. Ingin aku menyamping, itu juga tak bisa. Dimakan, hanya itulah harapan agar kita tak berpandangan. Kau putih, aku hitam. Dan itu membuatku berduka di kali keseribu enam belas kita dibuka. Tapi aku masih mencinta.
Satu yang Terpetik
“…sekalipun hanya do di senar E yang berhasil kau petik.”
Semua orang bungkam. Rongga paru-paru mereka menggenggam erat napas yang habis ditarik dalam-dalam, seakan tak ingin dibuang dan mengganggu debu yang terbang pelan di altar. Di depan mereka semua, aku. Dengan bulir-bulir keringat yang meluncur bebas dari kepala, beradu cepat di dahi, sebelum akhirnya menggantung di dagu dan menghujam sepatu. Di pelukku, si enam senar, sahabatku kala senandung. Di sampingku perempuan itu berdiri. Gaun renda bunga-bunga, sebuah tiara di kepala, dan satu tangannya di pundakku. Di jarinya, sebentuk cincin belah rotan yang baru saja kusematkan. Ia menatapku dengan mata seteduh danau, mengganti kata dengan anggukan kepala, seperti menyuruhku mulai. Aku seperti tenang, tapi ujung sepatuku yang mengetuk-ngetuk lantai menidakkan itu.
Dia memberiku jeda yang lebih menakutkan dari malam berbadai. Aku menunggunya tanpa berani lagi mengangkat muka. Tapi ketika ‘ya’ itu akhirnya meluncur dari mulut kecilnya, aku berteriak-teriak girang dan menari-nari di bawah pekat langit Jakarta. Lalu janji bodoh kembali terucap: sebuah komposisi gitar klasik ciptaanku sendiri di hari ucap ikrar, janji yang telah 2 kali membuatku urung beristri karena tak bisa kupenuhi. Kukutuki lidah lantangku. Setelah itu, hari-hari kami diisi dengan pilih-memilih katering, menelepon teman lama yang kini jadi tukang potret pre-wedding, menghubungi pendeta anu untuk pemberkatan di kapel anu, debat estetis soal puisi penyair mana yang akan ditulis di bagian belakang undangan. Dan hari ini kami di altar gereja.
Kutarik napas dalam sambil menengadahkan kepala ke atas. Lusinan malaikat yang terlukis di langit-langit, makin menjauhkanku dari tenang. Mata kupejam, mencoba mengingat-ingat komposisi itu. Hilang. Semuanya menguap. Aku ingat harus memakai akor-akor diminish yang janggal dan gatal, tapi entah akor apa. Aku tahu harus mengeksplorasi akor-akor minor yang galau, tapi entah akor apa. Hanya satu yang membekas: do di senar E sebagai sebuah mula. Dari atas, tatapan kulempar ke penonton yang sumuk menunggu. Jemari tangan kiriku sudah lama membentuk pola E pada fret, menanti gerak jemari di tangan kanan. Mataku kembali terpejam. Aku mengumpulkan tenaga. Dan dia kupetik, do di senar E. Hanya satu itu.
Suaranya bukan “Ting…” yang berdenting, melainkan “Dung…” yang mendengung. Lalu jeda dan jeda lagi. Lantas gaduh. Orang-orang saling tatap, lalu balik badan meninggalkan aku dan dia yang memerah di muka. Mereka tak menoleh ke belakang barang sedikitpun sampai ruang itu lengang. Lalu sempat jeda dan jeda lagi. Lantas, kepadaku yang tertunduk, dia berujar pelan, “Aku tetap mencinta, sekalipun hanya do di senar E yang berhasil kau petik.”
Semua orang bungkam. Rongga paru-paru mereka menggenggam erat napas yang habis ditarik dalam-dalam, seakan tak ingin dibuang dan mengganggu debu yang terbang pelan di altar. Di depan mereka semua, aku. Dengan bulir-bulir keringat yang meluncur bebas dari kepala, beradu cepat di dahi, sebelum akhirnya menggantung di dagu dan menghujam sepatu. Di pelukku, si enam senar, sahabatku kala senandung. Di sampingku perempuan itu berdiri. Gaun renda bunga-bunga, sebuah tiara di kepala, dan satu tangannya di pundakku. Di jarinya, sebentuk cincin belah rotan yang baru saja kusematkan. Ia menatapku dengan mata seteduh danau, mengganti kata dengan anggukan kepala, seperti menyuruhku mulai. Aku seperti tenang, tapi ujung sepatuku yang mengetuk-ngetuk lantai menidakkan itu.
Dia memberiku jeda yang lebih menakutkan dari malam berbadai. Aku menunggunya tanpa berani lagi mengangkat muka. Tapi ketika ‘ya’ itu akhirnya meluncur dari mulut kecilnya, aku berteriak-teriak girang dan menari-nari di bawah pekat langit Jakarta. Lalu janji bodoh kembali terucap: sebuah komposisi gitar klasik ciptaanku sendiri di hari ucap ikrar, janji yang telah 2 kali membuatku urung beristri karena tak bisa kupenuhi. Kukutuki lidah lantangku. Setelah itu, hari-hari kami diisi dengan pilih-memilih katering, menelepon teman lama yang kini jadi tukang potret pre-wedding, menghubungi pendeta anu untuk pemberkatan di kapel anu, debat estetis soal puisi penyair mana yang akan ditulis di bagian belakang undangan. Dan hari ini kami di altar gereja.
Kutarik napas dalam sambil menengadahkan kepala ke atas. Lusinan malaikat yang terlukis di langit-langit, makin menjauhkanku dari tenang. Mata kupejam, mencoba mengingat-ingat komposisi itu. Hilang. Semuanya menguap. Aku ingat harus memakai akor-akor diminish yang janggal dan gatal, tapi entah akor apa. Aku tahu harus mengeksplorasi akor-akor minor yang galau, tapi entah akor apa. Hanya satu yang membekas: do di senar E sebagai sebuah mula. Dari atas, tatapan kulempar ke penonton yang sumuk menunggu. Jemari tangan kiriku sudah lama membentuk pola E pada fret, menanti gerak jemari di tangan kanan. Mataku kembali terpejam. Aku mengumpulkan tenaga. Dan dia kupetik, do di senar E. Hanya satu itu.
Suaranya bukan “Ting…” yang berdenting, melainkan “Dung…” yang mendengung. Lalu jeda dan jeda lagi. Lantas gaduh. Orang-orang saling tatap, lalu balik badan meninggalkan aku dan dia yang memerah di muka. Mereka tak menoleh ke belakang barang sedikitpun sampai ruang itu lengang. Lalu sempat jeda dan jeda lagi. Lantas, kepadaku yang tertunduk, dia berujar pelan, “Aku tetap mencinta, sekalipun hanya do di senar E yang berhasil kau petik.”
Tuli
Telah lama dialog diri itu tak singgah. Lama aku berdiam dalam gaduh yang saru dengan hening. Ia justru menjelma lewat sepotong film, yang tajuknya pun tak kutahu apa. Empat perempuan – kakak beradik – memenggal pengondisian sosial, bahwa anak harus hormat pada bapak, tanpa “kecuali” dan koma. Alur maju-mundur yang bikin bingung, adegan-adegan sekelam comberan. Sejak kecil mereka dianggap sang bapak sebagai onggokan daging berjalan tanpa hati. Dipukul, disiksa, diperkosa, dan diajak bungkam. Gejolak justru lahir ketika badan menua.
Ada yang jadi gila, yang lain ikut jadi pemukul anak, ada yang tak pernah bisa benar-benar menjadi istri. Namun, yang paling membuatku terenyuh adalah si sulung yang duduk di kursi saksi, merekonstruksi hidup yang bak jelaga. Detail pengalamannya terlalu anyir. Ya, diperkosa memang biadab. Benar, dipukul memang keji. Tapi katanya bukan itu yang paling menyiksa, melainkan hatinya yang tak lagi merasa. Ketika bayi-bayi menemui ajal saat ia membantu persalinan ibu mereka, perempuan suster itu tak lagi merasakan duka. Tapi saat itu masih ia anggap biasa.
Lantas orang bercerita tentang bahagia melahirkan anak. Ia berharap merasakan yang sama. Tapi ketika seorang anak lahir dari rahimnya, ia tak juga mengecap rasa yang lama dicari-cari. Tak ada bahagia. Hanya beban dan kebencian, bahkan hingga anak kedua, ketiga, keempat. Tak pernah ia memukul mereka, sama seperti ia juga tak pernah mencintai mereka. Tapi ia sadar, tak mencinta sama kejamnya dengan menyiksa. Lantas, setelah semua dikuak, ia pun mulai terisak, seperti seorang terpidana yang memohon-mohon pengampunan. Kepada anak-anaknya yang duduk di kursi depan, yang menatapnya dengan bingung – harus menaruh simpati atau semakin memupuk benci. Perempuan itu terus memohon ampun hingga di luar pengadilan. Tapi anaknya satu persatu berlalu.
Kursi itu baginya sebuah mula. Sekalipun sesalnya belum tercerna, air mata yang menitik adalah tanda hati yang mulai membaik. Ia seperti mendapat semacam bahagia karena hati yang mati mulai kembali mengecap rasa. Sekalipun kali ini baru rasa pahit dan sesal. Di situ aku berkaca, bahwa anugerah terbesar dalam hidup adalah ketika hati masih bicara. Ketika ia tak tumpul rasa.
Tahun yang gila. Semuanya disorot dengan pikiran yang perkasa, sementara hati dibebat ke tiang dan dibiarkan kehilangan suara. Apresiasi mati atas nama yang akali. Emosi meluruh dalam untung-rugi. Yang di luar semata-mata dijengkali dengan pagu diri. Hasilnya: kritik yang katamu membangun, padahal unjuk kepintaran; saran yang dibagi dengan murah hati, padahal unjuk kebijaksanaan; pertolongan demi pertolongan, padahal sebuah proses pencitraan. Lantas tawa getir. Diam. Umbar kata. Hening. Berfilsafat. Sunyi. Bersenandung. Sepi. Dan kehampaan.
Ketika mengurai sebab, tahulah aku bahwa hidup sudah lama tanpa jeda. Dijejali dengan kombinasi soal-solusi. Tak ada ruang untuk diam, hanya pikiran yang terus dipecut demi yang kata mereka terbaik. Lantas, potongan-potongan A Beautiful Mind menjadi dingin dalam kritik yang bertubi-tubi. Ada saja yang buruk. Kalau pun bagus, hanya berhenti di “bagus”. Sudah hampir berujung, dan aku tak berharap banyak. Lalu di podium, John Nash yang tua memandang istrinya, berterima kasih karena telah menjadi teman paling setia, bahkan ketika hidup berkubang di titik nol. Aku terdiam, hilang. Ada yang kencang berdegup di dalam. Lalu terbayang perasaan-perasaan syukur, cinta, dan haru. Dan mataku kini gumpalan awan hitam yang mulai menitikkan hujan. Tahulah aku, hidup masih hidup, tapi telah lama tuli pada hati. Suara itu masih di sana, tapi kugilas dengan hidup yang bergegas. Terima kasih atas satu mula lagi.
Ada yang jadi gila, yang lain ikut jadi pemukul anak, ada yang tak pernah bisa benar-benar menjadi istri. Namun, yang paling membuatku terenyuh adalah si sulung yang duduk di kursi saksi, merekonstruksi hidup yang bak jelaga. Detail pengalamannya terlalu anyir. Ya, diperkosa memang biadab. Benar, dipukul memang keji. Tapi katanya bukan itu yang paling menyiksa, melainkan hatinya yang tak lagi merasa. Ketika bayi-bayi menemui ajal saat ia membantu persalinan ibu mereka, perempuan suster itu tak lagi merasakan duka. Tapi saat itu masih ia anggap biasa.
Lantas orang bercerita tentang bahagia melahirkan anak. Ia berharap merasakan yang sama. Tapi ketika seorang anak lahir dari rahimnya, ia tak juga mengecap rasa yang lama dicari-cari. Tak ada bahagia. Hanya beban dan kebencian, bahkan hingga anak kedua, ketiga, keempat. Tak pernah ia memukul mereka, sama seperti ia juga tak pernah mencintai mereka. Tapi ia sadar, tak mencinta sama kejamnya dengan menyiksa. Lantas, setelah semua dikuak, ia pun mulai terisak, seperti seorang terpidana yang memohon-mohon pengampunan. Kepada anak-anaknya yang duduk di kursi depan, yang menatapnya dengan bingung – harus menaruh simpati atau semakin memupuk benci. Perempuan itu terus memohon ampun hingga di luar pengadilan. Tapi anaknya satu persatu berlalu.
Kursi itu baginya sebuah mula. Sekalipun sesalnya belum tercerna, air mata yang menitik adalah tanda hati yang mulai membaik. Ia seperti mendapat semacam bahagia karena hati yang mati mulai kembali mengecap rasa. Sekalipun kali ini baru rasa pahit dan sesal. Di situ aku berkaca, bahwa anugerah terbesar dalam hidup adalah ketika hati masih bicara. Ketika ia tak tumpul rasa.
Tahun yang gila. Semuanya disorot dengan pikiran yang perkasa, sementara hati dibebat ke tiang dan dibiarkan kehilangan suara. Apresiasi mati atas nama yang akali. Emosi meluruh dalam untung-rugi. Yang di luar semata-mata dijengkali dengan pagu diri. Hasilnya: kritik yang katamu membangun, padahal unjuk kepintaran; saran yang dibagi dengan murah hati, padahal unjuk kebijaksanaan; pertolongan demi pertolongan, padahal sebuah proses pencitraan. Lantas tawa getir. Diam. Umbar kata. Hening. Berfilsafat. Sunyi. Bersenandung. Sepi. Dan kehampaan.
Ketika mengurai sebab, tahulah aku bahwa hidup sudah lama tanpa jeda. Dijejali dengan kombinasi soal-solusi. Tak ada ruang untuk diam, hanya pikiran yang terus dipecut demi yang kata mereka terbaik. Lantas, potongan-potongan A Beautiful Mind menjadi dingin dalam kritik yang bertubi-tubi. Ada saja yang buruk. Kalau pun bagus, hanya berhenti di “bagus”. Sudah hampir berujung, dan aku tak berharap banyak. Lalu di podium, John Nash yang tua memandang istrinya, berterima kasih karena telah menjadi teman paling setia, bahkan ketika hidup berkubang di titik nol. Aku terdiam, hilang. Ada yang kencang berdegup di dalam. Lalu terbayang perasaan-perasaan syukur, cinta, dan haru. Dan mataku kini gumpalan awan hitam yang mulai menitikkan hujan. Tahulah aku, hidup masih hidup, tapi telah lama tuli pada hati. Suara itu masih di sana, tapi kugilas dengan hidup yang bergegas. Terima kasih atas satu mula lagi.
Jika Bisa
Akhirnya hanya tersisa kesadaran akan diri yang daif namun naif. Realitas tak juga tertekuk di bawah kaki nalar. Kukaji ribuan risalah, tak juga tegak benang basah. Rencana kureka dalam beribu malam, lalu menguap ke angkasa. Aku seperti bangun dari hibernasi kepongahan. Pikir bukan tuan atas realitas. Hasrat tak menggiring realitas ke dalam jerat. Ingin tak menjadikanku menggenggam angin. Aku sadar, telapak tanganku tak selalu menerima yang kumau. Tak selalu. Keterjagaan ini memaksaku mengerti, ada ketundukan yang mutlak pada yang hakiki. Ikhtiar seperti mengikuti sebuah rancang misteri.
Aku terjaga. Tapi keterjagaan itu justru membuatku menekuk kelopak mata. Mulutku terkunci rapat. Aku tegak, tapi rasanya seperti rebah ke tanah. Lalu kami seperti dua sahabat bertukar kabar. Aku dulu begini, kini tak lagi begitu. Ya, aku begini, benar, aku begitu. Kuterima aku begini, tak kutampik aku begitu. Banyak lagi keluh yang terburai dalam diam itu. Dia diam, dan diamnya kupahami.
Keterjagaanku di rentang malam menarikku dari kubang pongah. Angin sejuk rasanya justru menerpa ketika tubuh memeluk debu bumi. Lalu, tak seperti dulu, aku tak lagi memaksa. Kuselipkan 'jika bisa' dalam setiap pinta. Lalu tinggal penantian dengan dada lapang. Seperti malam ini, ketika aku rebah dengan perasaan berserah. Lalu tidurku adalah tidur terlelap. Kesadaran akan diri yang daif justru mengulurkan tali arif ketika aku hampir tenggelam.
Ini malam keempat bibirku mengucap permohonan. Bukan perihal rupa-rupa soal. Hanya satu perkara yang bagiku jauh dari niscaya. Pintaku pinta paling bebal di jagad pinta. Aku meminta agar di belahan bumi-entah-di-mana ada yang mengucap pinta sepertiku dan tentangku. Siapa tahu, dua pinta yang berpagut di kehampaan, menyisakan seiris asa. Seperti setiap kali kupejamkan mata, aku tak pernah tahu bagaimana esok akan berlenggok. Akankah semua menjadi keniscayaan? Atau hanya sekali lagi menjaring angin? Entahlah. Aku rebah dalam 'jika bisa'.
Aku terjaga. Tapi keterjagaan itu justru membuatku menekuk kelopak mata. Mulutku terkunci rapat. Aku tegak, tapi rasanya seperti rebah ke tanah. Lalu kami seperti dua sahabat bertukar kabar. Aku dulu begini, kini tak lagi begitu. Ya, aku begini, benar, aku begitu. Kuterima aku begini, tak kutampik aku begitu. Banyak lagi keluh yang terburai dalam diam itu. Dia diam, dan diamnya kupahami.
Keterjagaanku di rentang malam menarikku dari kubang pongah. Angin sejuk rasanya justru menerpa ketika tubuh memeluk debu bumi. Lalu, tak seperti dulu, aku tak lagi memaksa. Kuselipkan 'jika bisa' dalam setiap pinta. Lalu tinggal penantian dengan dada lapang. Seperti malam ini, ketika aku rebah dengan perasaan berserah. Lalu tidurku adalah tidur terlelap. Kesadaran akan diri yang daif justru mengulurkan tali arif ketika aku hampir tenggelam.
Ini malam keempat bibirku mengucap permohonan. Bukan perihal rupa-rupa soal. Hanya satu perkara yang bagiku jauh dari niscaya. Pintaku pinta paling bebal di jagad pinta. Aku meminta agar di belahan bumi-entah-di-mana ada yang mengucap pinta sepertiku dan tentangku. Siapa tahu, dua pinta yang berpagut di kehampaan, menyisakan seiris asa. Seperti setiap kali kupejamkan mata, aku tak pernah tahu bagaimana esok akan berlenggok. Akankah semua menjadi keniscayaan? Atau hanya sekali lagi menjaring angin? Entahlah. Aku rebah dalam 'jika bisa'.
Gita yang Kulenguhkan ke Udara
Di mana kau, wahai gita yang kulenguhkan ke udara? Meradang aku menantimu pulang, berharap kau dipantulkan angin yang membisikimu nestapaku. Aku seperti berjalan dengan setengah jiwa kian kemari, mengendus jejak kembaramu. Ada senja di mana aku tertatih. Kakiku terlalu kebas untuk kupijakkan ke tanah. Lunglai aku duduk berteduh di naungan batang sunyi, menatap ujung-ujung kaki langit mematung. Tak juga kulihat angin memantulkanmu, wahai gita yang kulenguhkan ke udara.
Lama aku senandung dalam diamku, selama itu pula tak lagi kudengar nadaku sendiri. Suatu kali kau di sana, mencelat dari sumbat jiwa. Gita yang ejawantah dalam lentik jemari, nyanyi yang berdenting di keteduhan dua mata. Sayang, terlalu sebentar. Kau tergesa. Angin menerbangkanmu, angin yang kulenguhkan. Aku begitu berduka. Ingin kusimpan kau di rongga dada, tapi di sana tak kulihat indahmu tuk kupuja. Kulepas kau ke udara, kecantikanmu mewujud tapi tak tergenggam.
Pamit kau dalam terbangmu, menjanjikan kembali di ujung kelana. Tak sempat kucecar kapan, kau tak lagi ada. Kukejar kau juga dalam sisa asa. Kutanyai semua. Angin subuh yang basah. Udara siang yang hangus. Bahkan lenguh napas jiwa-jiwa. Tak berjawab. Kurangkai pesan dan kutitipkan agar mereka memantulkanmu ke arahku jika bersua, membisikimu tentang aku yang berduka. Hingga kini tak ada.
Lantas kuhentikan kaki yang letih berkejaran, membesarkan hati menunggu dalam penantian tak kenal henti. Dalam pasrahku justru kau mengulang langkah. Dan kita pun bersua pula. Kukabarkan betapa aku hampir mati tanpamu, wahai gita yang kulenguhkan ke udara. Kau menjawab lewat lentik jemari dan teduh dua mata. Seperti menggenggammu aku. Tapi kau nada-nada yang titiannya hanya menemui kepenuhan makna di pekat udara. Dan lagi kau tergesa, menyurukkanku kembali ke nestapa. Tapi aku rela sejuta hari lagi tertatih lelah, menunggu pasrah, demi satu sua ketiga. Kan kunanti kau, wahai gita yang kulenguhkan ke udara.
Lama aku senandung dalam diamku, selama itu pula tak lagi kudengar nadaku sendiri. Suatu kali kau di sana, mencelat dari sumbat jiwa. Gita yang ejawantah dalam lentik jemari, nyanyi yang berdenting di keteduhan dua mata. Sayang, terlalu sebentar. Kau tergesa. Angin menerbangkanmu, angin yang kulenguhkan. Aku begitu berduka. Ingin kusimpan kau di rongga dada, tapi di sana tak kulihat indahmu tuk kupuja. Kulepas kau ke udara, kecantikanmu mewujud tapi tak tergenggam.
Pamit kau dalam terbangmu, menjanjikan kembali di ujung kelana. Tak sempat kucecar kapan, kau tak lagi ada. Kukejar kau juga dalam sisa asa. Kutanyai semua. Angin subuh yang basah. Udara siang yang hangus. Bahkan lenguh napas jiwa-jiwa. Tak berjawab. Kurangkai pesan dan kutitipkan agar mereka memantulkanmu ke arahku jika bersua, membisikimu tentang aku yang berduka. Hingga kini tak ada.
Lantas kuhentikan kaki yang letih berkejaran, membesarkan hati menunggu dalam penantian tak kenal henti. Dalam pasrahku justru kau mengulang langkah. Dan kita pun bersua pula. Kukabarkan betapa aku hampir mati tanpamu, wahai gita yang kulenguhkan ke udara. Kau menjawab lewat lentik jemari dan teduh dua mata. Seperti menggenggammu aku. Tapi kau nada-nada yang titiannya hanya menemui kepenuhan makna di pekat udara. Dan lagi kau tergesa, menyurukkanku kembali ke nestapa. Tapi aku rela sejuta hari lagi tertatih lelah, menunggu pasrah, demi satu sua ketiga. Kan kunanti kau, wahai gita yang kulenguhkan ke udara.
Nostalgia
Aku lahir di lingkungan pencerita. Di tempatku, bayi-bayi sudah mendengar orang-orang bicara dalam detik-detik menjelang lompatan dari rahim ke dunia. Saat seorang ibu mulai mengalami kontraksi, sang suami mengumpulkan para tetangga di rumahnya. Orang-orang di tempatku menyebutnya lek-lekan – konon dari kata 'melek'. Sementara bidan panggilan sedang berjuang bersama sang ibu untuk menghadirkan kehidupan baru ke dunia, para bapak itu menunggu di luar, bertukar kabar dan cerita. Tak jarang bual diperdengarkan seperti repertoar musik klasik, sementara pendengarnya terpana – tak jarang dengan mulut menganga. Bual dan bongak bukan barang tabu di tempatku. Kami menerimanya sebagai bunga-bunga interaksi. Justru kalau tak ada bongak, kopi akan tetap penuh dalam gelas hingga dingin, tak ada kulit ari kacang beterbangan di udara, tak ada bahak yang memenuhi ruang. Di lingkungan itu aku lahir. Memang tak diantar prosesi lek-lekan, sebab ibuku seorang perawat yang sudah lebih percaya keamanan persalinan di rumah sakit. Tapi tetap saja, kata ibu, ketika aku dibawa ke rumah, para bapak – para tukang bongak pengantar partus itu – menyambutku dengan aneka cerita yang mereka luapkan dalam suara keras yang parau sehabis bergadang.
Bapakku pun seorang pencerita ulung. Setiap kali kami berkumpul di atas tikar pandan yang digelar di lantai sambil menikmati makan malam, dia membius kami dengan rupa-rupa kisah. Bapak tak piawai berdongeng. Dia spesialis kisah nyata. Semua hal seperti begitu melekat di otak pengamat ulung itu. Seperti malam itu, dia mengisahkan ironi masa kecil yang disebutnya keajaiban. Di suatu purnama, ia berjalan lunglai di tengah pematang sawah. Bapak terlambat pulang sore itu sehingga jatah makanan sudah ludes oleh sembilan saudaranya. Dia pun keluar, merajuk, bermaksud untuk menyendiri membunuh kekesalan. Jalanan gelap pekat. Tapi karena telah mengenal tiap jengkal pematang sawah itu, ia tak terperosok atau jatuh sekalipun gelap. Perutnya lapar tak tertahankan. Hampir pingsan, akunya. Tiba-tiba lamunnya buyar ketika sesosok makhluk besar melompat ke pematang dan menggelepar. Ragu-ragu ia dekati, tapi lapar memaksanya berani. Barangkali ini rezeki dari Yang Pemurah, pikirnya. Dan benar saja, seekor ikan gabus – kami menyebutnya bado – tergolek lemah, terengah mengumpulkan napas. Mungkin ikan sinting yang mencoba bunuh diri, kata Bapak. Kami pun tergelak, tak sadar telah mengeruk periuk hingga ke dasar. Lalu sang pencerita ulung itu melanjutkan ceritanya tentang mengumpulkan ranting kering, menyalakan unggun dekat sebuah gubuk, lalu memanggang 'korban bunuh diri' itu.
Di lain waktu, Bapak akan mempertontonkan kehebatannya menirukan mimik dan suara. Ada saja tingkah konyol orang-orang yang ia tirukan dengan kocak – kadang satir. Tak hanya mimik dan suara, bahasa orang-orang itu pun ia lantunkan dengan fasih – Mandailing, Jawa, Karo gugung, sampai Angkola. Setiap kali mendengarnya, kami tertawa hingga perut hampir kejang. Kadang aku berpikir, jika Bapak masih hidup dan dulu mendapat pendidikan yang baik, mungkin dia sudah jadi linguis hebat, atau setidaknya dosen sastra daerah. Suku-suku yang kusebut tadi, hampir semua bisa dia gunakan bahasanya. Itu pula yang membuat pergaulan sosialnya luas. Jika sekolah libur, diajaknya aku ke kantornya. Dengan skuter butut keluaran tahun 70-an kami menyusuri jalan-jalan sunyi yang dipayungi pohon-pohon kelapa. Deru skuter yang agak mirip kaleng rongsok dipukuli itu membuat segerombol tekukur yang mematuki pasir, terbang berhamburan. Orang-orang yang sedang menyiangi kebun ubi rambat menyapa Bapak ramah dalam bahasa Karo totok yang kadang terdengar seperti lantunan lagu yang mendayu. Si pengambil tuak menyapanya pula dalam bahasa Simalungun yang seperti berayun-ayun. Pemikat burung menyapanya lagi dalam bahasa Melayu yang seperti berpantun. Terselip kekaguman melihat kemampuan sosialnya yang mumpuni. Di kantor, lagi-lagi pencerita ulungku akan menjadi pusat perhatian karena kehebatannya menyampaikan kisah tentang apa saja.
Begitupun, entah kenapa aku tumbuh menjadi anak yang diam. Efektif. Hemat kata. Tak pernah terlibat berlama-lama dalam obrolan tanpa arah. Ibu pernah berujar, sejak sekolah dasar bahasaku sudah rapi. Handai taulan dari Panambean – sebuah dusun di Siantar – kadang menyebutku sok karena bahasaku yang agak kekotaan. Kata mereka aku bakal jadi anak lupa budaya. Sanak famili dari Tanjung Morawa justru meramal aku bakal jadi orang besar kelak, merujuk bahasaku yang elok. Apa pula kompetensi mereka dalam ramal-meramal? Terlepas dari itu, nilaiku untuk tugas mengarang selalu sembilan terbalik alias enam. Apa sebab? Tulisanku selalu terlalu pendek. Kenapa pula? Aku benci pikiranku saat itu. Terlalu kronologis, beralur maju. Setelah membuka dengan ‘pada suatu hari’, yang bisa kupikirkan hanyalah ‘lalu’, ‘kemudian’, dan ‘setelah itu’. Begitu melulu, berulang. Aku tak suka. Hasilnya, sesuatu yang ringkas yang oleh guruku dituding malas. Hingga sekolah menengah atas, aku masih begitu. Aku memendam kebencian mendalam pada ujian bahasa Indonesia yang selalu diselipi dua lembar kertas folio bergaris yang harus kami penuhi dengan bual-bual tentang cita-cita, keluarga berencana, atau pemberantasan kemiskinan. Hasilnya, ya angka sembilan terbalik tadi....
Bapakku pun seorang pencerita ulung. Setiap kali kami berkumpul di atas tikar pandan yang digelar di lantai sambil menikmati makan malam, dia membius kami dengan rupa-rupa kisah. Bapak tak piawai berdongeng. Dia spesialis kisah nyata. Semua hal seperti begitu melekat di otak pengamat ulung itu. Seperti malam itu, dia mengisahkan ironi masa kecil yang disebutnya keajaiban. Di suatu purnama, ia berjalan lunglai di tengah pematang sawah. Bapak terlambat pulang sore itu sehingga jatah makanan sudah ludes oleh sembilan saudaranya. Dia pun keluar, merajuk, bermaksud untuk menyendiri membunuh kekesalan. Jalanan gelap pekat. Tapi karena telah mengenal tiap jengkal pematang sawah itu, ia tak terperosok atau jatuh sekalipun gelap. Perutnya lapar tak tertahankan. Hampir pingsan, akunya. Tiba-tiba lamunnya buyar ketika sesosok makhluk besar melompat ke pematang dan menggelepar. Ragu-ragu ia dekati, tapi lapar memaksanya berani. Barangkali ini rezeki dari Yang Pemurah, pikirnya. Dan benar saja, seekor ikan gabus – kami menyebutnya bado – tergolek lemah, terengah mengumpulkan napas. Mungkin ikan sinting yang mencoba bunuh diri, kata Bapak. Kami pun tergelak, tak sadar telah mengeruk periuk hingga ke dasar. Lalu sang pencerita ulung itu melanjutkan ceritanya tentang mengumpulkan ranting kering, menyalakan unggun dekat sebuah gubuk, lalu memanggang 'korban bunuh diri' itu.
Di lain waktu, Bapak akan mempertontonkan kehebatannya menirukan mimik dan suara. Ada saja tingkah konyol orang-orang yang ia tirukan dengan kocak – kadang satir. Tak hanya mimik dan suara, bahasa orang-orang itu pun ia lantunkan dengan fasih – Mandailing, Jawa, Karo gugung, sampai Angkola. Setiap kali mendengarnya, kami tertawa hingga perut hampir kejang. Kadang aku berpikir, jika Bapak masih hidup dan dulu mendapat pendidikan yang baik, mungkin dia sudah jadi linguis hebat, atau setidaknya dosen sastra daerah. Suku-suku yang kusebut tadi, hampir semua bisa dia gunakan bahasanya. Itu pula yang membuat pergaulan sosialnya luas. Jika sekolah libur, diajaknya aku ke kantornya. Dengan skuter butut keluaran tahun 70-an kami menyusuri jalan-jalan sunyi yang dipayungi pohon-pohon kelapa. Deru skuter yang agak mirip kaleng rongsok dipukuli itu membuat segerombol tekukur yang mematuki pasir, terbang berhamburan. Orang-orang yang sedang menyiangi kebun ubi rambat menyapa Bapak ramah dalam bahasa Karo totok yang kadang terdengar seperti lantunan lagu yang mendayu. Si pengambil tuak menyapanya pula dalam bahasa Simalungun yang seperti berayun-ayun. Pemikat burung menyapanya lagi dalam bahasa Melayu yang seperti berpantun. Terselip kekaguman melihat kemampuan sosialnya yang mumpuni. Di kantor, lagi-lagi pencerita ulungku akan menjadi pusat perhatian karena kehebatannya menyampaikan kisah tentang apa saja.
Begitupun, entah kenapa aku tumbuh menjadi anak yang diam. Efektif. Hemat kata. Tak pernah terlibat berlama-lama dalam obrolan tanpa arah. Ibu pernah berujar, sejak sekolah dasar bahasaku sudah rapi. Handai taulan dari Panambean – sebuah dusun di Siantar – kadang menyebutku sok karena bahasaku yang agak kekotaan. Kata mereka aku bakal jadi anak lupa budaya. Sanak famili dari Tanjung Morawa justru meramal aku bakal jadi orang besar kelak, merujuk bahasaku yang elok. Apa pula kompetensi mereka dalam ramal-meramal? Terlepas dari itu, nilaiku untuk tugas mengarang selalu sembilan terbalik alias enam. Apa sebab? Tulisanku selalu terlalu pendek. Kenapa pula? Aku benci pikiranku saat itu. Terlalu kronologis, beralur maju. Setelah membuka dengan ‘pada suatu hari’, yang bisa kupikirkan hanyalah ‘lalu’, ‘kemudian’, dan ‘setelah itu’. Begitu melulu, berulang. Aku tak suka. Hasilnya, sesuatu yang ringkas yang oleh guruku dituding malas. Hingga sekolah menengah atas, aku masih begitu. Aku memendam kebencian mendalam pada ujian bahasa Indonesia yang selalu diselipi dua lembar kertas folio bergaris yang harus kami penuhi dengan bual-bual tentang cita-cita, keluarga berencana, atau pemberantasan kemiskinan. Hasilnya, ya angka sembilan terbalik tadi....
Menyoal Tanyamu
Inilah yang paling kuingat, kau yang selalu dirundung tanya. Tiap kali pula tanya-tanya itu kau teruskan padaku. Kadang seperti tanpa kau pikir. Dan inilah aku dalam sorot keingintahuanmu: kanak-kanak yang tak bisa henti bercericau. Kau berhasil memaksaku jujur tanpa satu iota pun nada desak. Lalu dari mulutku kata-kata seperti air tanah, berlimpah. Dahagamu akan penelanjangan rahasia terpuaskan sudah. Harapmu akan pengenalan terpenuhi. Jauh di dalam nadi, aku ini bukan manusia berjawab. Aku dan lidahku pada dasarnya kelu dalam kepungan tanya. Aku akan gadaikan kebebasan demi sebuah kesempatan tak bersuara. Tapi di hadapanmu, aku kanak-kanak yang tak bisa henti bercericau.
Entah apa sebabnya. Dalam muram malam, di sela-sela tidur yang penuh racau, kudapati barang setitik pencerahan. Tanyamu itu sebongkah keinginan, mentah, bodoh, namun dengan demikian dia terjujur. Dalam tanyamu itu kau muntahkan harapmu. Tentang menyayang. Soal setia. Perihal mencinta. Tapi tentu kau tak sadar bukan? Sama tak sadarnya dengan kanak-kanak ini, yang merelakan diri memberi jawab karena ingin menjadi pemenuhan bagi harapmu. Begitulah kita, di muram malam, bertaut dalam balas-berbalas kata. Kau lempar harap. Kuharap memberi jawab yang menjawab harap. Ahh, tahu apa aku.
Terlalu akali. Sekadar upaya menghibur diri. Aku takkan pernah tahu maksudmu. Sekadar penasaran? Menelisik kelemahan? Mencari bahan tertawaan? Mana pernah aku tahu. Hanya duga-menduga yang kita bisa dalam keterpisahan ini. Takkan pernah mampu kuukur kedalamanmu, sama seperti kau tak bisa memeriksa rongga hatiku. Tapi bukankah di situ indahnya? Andai kau tahu seperti aku tahu, kau takkan pernah bertanya, seperti aku juga tak punya suatu soal untuk dijawab. Lalu kita gagu. Diam. Tidakkah lebih mendukakan daripada kematian? Aku tak mau. Biarlah kita tetap dalam keterpisahan kita, dalam penasaran kita, dalam pertanyaan kita. Hujani aku tanya untuk kujawab, harap untuk kutangkap. Supaya dengan demikian aku tetap merindumu, bahkan dalam muram malam.
Entah apa sebabnya. Dalam muram malam, di sela-sela tidur yang penuh racau, kudapati barang setitik pencerahan. Tanyamu itu sebongkah keinginan, mentah, bodoh, namun dengan demikian dia terjujur. Dalam tanyamu itu kau muntahkan harapmu. Tentang menyayang. Soal setia. Perihal mencinta. Tapi tentu kau tak sadar bukan? Sama tak sadarnya dengan kanak-kanak ini, yang merelakan diri memberi jawab karena ingin menjadi pemenuhan bagi harapmu. Begitulah kita, di muram malam, bertaut dalam balas-berbalas kata. Kau lempar harap. Kuharap memberi jawab yang menjawab harap. Ahh, tahu apa aku.
Terlalu akali. Sekadar upaya menghibur diri. Aku takkan pernah tahu maksudmu. Sekadar penasaran? Menelisik kelemahan? Mencari bahan tertawaan? Mana pernah aku tahu. Hanya duga-menduga yang kita bisa dalam keterpisahan ini. Takkan pernah mampu kuukur kedalamanmu, sama seperti kau tak bisa memeriksa rongga hatiku. Tapi bukankah di situ indahnya? Andai kau tahu seperti aku tahu, kau takkan pernah bertanya, seperti aku juga tak punya suatu soal untuk dijawab. Lalu kita gagu. Diam. Tidakkah lebih mendukakan daripada kematian? Aku tak mau. Biarlah kita tetap dalam keterpisahan kita, dalam penasaran kita, dalam pertanyaan kita. Hujani aku tanya untuk kujawab, harap untuk kutangkap. Supaya dengan demikian aku tetap merindumu, bahkan dalam muram malam.
Kristania
Kristania, kau kuartikan buah cinta. Akan kutambahkan pula kerelaan jika ruang masih tersisa. Izinkanku bertutur tentang kata cinta dan rela yang melatarimu. Sekalipun aku harus menapaktilasi berhasta-hasta jalan yang tak ingin lagi kami pijak. Kristania, aku merasa paling kenal ibundamu, dulu. Dan tentangnyalah kita akan berkisah.
Bolehlah kusebut kematian sebagai awal dari semua. Kematian dua orang yang dulu kami jadikan penjuru hidup. Kadang kupikir, andai ajal pernah bertanya, tentu akan kujawab tidak. Tapi sampai kapan pun, dia tetap akan jadi perangkat ilahi untuk mengakhiri kehidupan bukan? Tanpa kompromi. Tak pernah bisa ditawar. Begitulah, sehingga kami – aku, ibundamu, dan seseorang lagi – menjadi anak-anak rajawali yang lelah tunggu induk di senja temaram. Mereka tak kunjung pulang, Kristania. Lekat dalam ingatan, betapa ibumu terkulai hancur ketika kami kepal dua genggam tanah basah untuk menghantarkan dua yang tiada yang sebentar lagi berkalang tanah. Kubisikkan kepada ibundamu bahwa Tuhan itu baik. Hanya isak yang menyayat yang ia perdengarkan. Selebihnya, air mata yang penghabisan.
Tak lama kami berduka, Kristania. Waktu berleha adalah barang mewah bagi orang kecil macam kami. “Hidup harus terus bergulir,” kataku suatu kali. Dan kami pun berpencar. Aku mengejar mimpi menjadi cendekia di Parij van Java. Ibundamu melempar dadu di ibukota. Hari berganti, tapi aku tahu dia tak sekuat yang dikatakan mulutnya. Berkali-kali dia bicara di tengah malam, dengan tangis yang tetap membuat miris. “Mengapa kita ditinggalkan begini?” kalimatnya patah-patah di ujung sana, menggambarkan hatinya. “Tuhan itu baik,” kataku. Dijawabnya dengan isak.
Sekarang akan kuceritakan padamu dosaku, Kristania. Aku takkan lagi berdebat. Suatu kali, aku temui dia di Jakarta. Wajahnya tak lagi layu. Ada keriangan meningkahi bicaranya. Aku pun senang bukan kepalang. Paling tidak sampai dia bercerita tentang seorang lelaki dalam hidupnya. Yang datang dengan penghiburan, yang membantunya melupakan kegetiran, yang menolongnya menatap harapan. Aku mencintainya sekalipun dia berbeda iman, katanya, dan aku memohon restumu. Kau tahu, Kristania, bahagiaku seketika menjadi berang. Tak boleh, ujarku. Lalu dari mulutku mengalir berbagai kutipan ayat kitab suci yang menghakiminya seperti pesakitan. Dia begitu hancur, tapi aku tak sedikitpun menaruh peduli.
Aku saudaranya, Kristania. Tapi aku bertindak sebagai hakimnya, atas nama kepatutan dan keutuhan keluarga. Kau bayangkan, sampai pada suatu titik aku mengancam, dia boleh pilih cintanya tapi kehilangan dua saudara. Aku yang kataku menghormati pilihan bebas. Aku yang mengaku mendukungnya. Aku kini mengancamnya. Belum cukup, Kristania. Aku berhenti bicara padanya. Dia hancur. Olehku.
Lalu dia tinggalkan Jakarta. Dalam ancaman keluarga, dia ucapkan janji untuk melupakan cintanya. Hari berganti, dan dia pun menemukan kembali cinta. Kali ini tak lagi berbeda. Di hatiku ada sebentuk kelegaan perihal ketidakberbedaan ini. Namun, dengan itu pula aku dihantui satu pertanyaan: adakah dia bahagia, atau sekadar terpaksa? Bahkan sampai dia mengatakan akan berkeluarga, aku tak memiliki kekuatan untuk menanyakannya. Dia pun menikah.
Aku ingat malam-malamku yang penuh kepenatan selepas itu, Kristania. Aku takut sekali membayangkan keputusannya dilatari keterpaksaan belaka. Aku takut dia menggadaikan kebahagiaan demi yang kami sebut kepatutan. Aku takut jika dia dikasari atau tersia-siakan, sementara tanganku kini sudah terlalu jauh jika pun ingin membela. Hanya berdoa siang-malam yang aku bisa.
Aku ingat, suatu malam aku menangis mendengar keluhnya. Suaminya – ayahmu kini, Kristania – kurang memerhatikannya di bulan-bulan pertama. Aku tak tahan. Suaraku bergetar saat kuberikan beberapa saran yang sama sekali tak cukup bijaksana. Andai bisa kugapai, tentu akan kurengkuh dan kulindungi dia. Tapi aku sadar tak bisa begitu. Dia kini milik orang lain. Setelah itu, tak ada lagi kabar darinya. Begitulah hingga lama sekali.
Tak henti aku menguntai kata syukur ketika mendengar berita tentangmu, Kristania. Kala itu kau masih dikandungnya. Lalu, bersama kami hitung hari. Dari jauh aku hanya bisa menanyakan kesehatannya. Kuselingi dengan sumbang saran tanda peduli.
Februari hampir berakhir ketika tangismu terpekik ke dunia. Lagi-lagi cuma kabar yang kudengar dari jauh, bahwa kau sehat, bahwa kau cantik, bahwa kau mungil. Kristania, bahagiaku tak terkira, membayangkan sejarah ibumu yang tak mudah. Kudengar ibumu bahagia menyambutmu Kristania. Kuharap dengan begitu deritanya terbayar. Kuharap dengan begitu dia mengampuniku.
Benar-benar berhati besar perempuan yang menjadi ibumu itu, Kristania. Tak sedikitpun disimpannya benci, apalagi dendam. Dengan lembut ia menyebut arti namamu. “Kristania belum punya nama tengah. Maukah kau mencarikan?” begitu tulus dia terdengar. Mataku berkaca-kaca.
Kristania, aku tak tahu apakah keterpaksaan yang melatarimu. Tapi aku tahu kau buah cinta yang di dalamnya dipenuhi kerelaan. Mei nanti aku ingin melihatmu.
Untuk Kristania yang belum kulihat
Bolehlah kusebut kematian sebagai awal dari semua. Kematian dua orang yang dulu kami jadikan penjuru hidup. Kadang kupikir, andai ajal pernah bertanya, tentu akan kujawab tidak. Tapi sampai kapan pun, dia tetap akan jadi perangkat ilahi untuk mengakhiri kehidupan bukan? Tanpa kompromi. Tak pernah bisa ditawar. Begitulah, sehingga kami – aku, ibundamu, dan seseorang lagi – menjadi anak-anak rajawali yang lelah tunggu induk di senja temaram. Mereka tak kunjung pulang, Kristania. Lekat dalam ingatan, betapa ibumu terkulai hancur ketika kami kepal dua genggam tanah basah untuk menghantarkan dua yang tiada yang sebentar lagi berkalang tanah. Kubisikkan kepada ibundamu bahwa Tuhan itu baik. Hanya isak yang menyayat yang ia perdengarkan. Selebihnya, air mata yang penghabisan.
Tak lama kami berduka, Kristania. Waktu berleha adalah barang mewah bagi orang kecil macam kami. “Hidup harus terus bergulir,” kataku suatu kali. Dan kami pun berpencar. Aku mengejar mimpi menjadi cendekia di Parij van Java. Ibundamu melempar dadu di ibukota. Hari berganti, tapi aku tahu dia tak sekuat yang dikatakan mulutnya. Berkali-kali dia bicara di tengah malam, dengan tangis yang tetap membuat miris. “Mengapa kita ditinggalkan begini?” kalimatnya patah-patah di ujung sana, menggambarkan hatinya. “Tuhan itu baik,” kataku. Dijawabnya dengan isak.
Sekarang akan kuceritakan padamu dosaku, Kristania. Aku takkan lagi berdebat. Suatu kali, aku temui dia di Jakarta. Wajahnya tak lagi layu. Ada keriangan meningkahi bicaranya. Aku pun senang bukan kepalang. Paling tidak sampai dia bercerita tentang seorang lelaki dalam hidupnya. Yang datang dengan penghiburan, yang membantunya melupakan kegetiran, yang menolongnya menatap harapan. Aku mencintainya sekalipun dia berbeda iman, katanya, dan aku memohon restumu. Kau tahu, Kristania, bahagiaku seketika menjadi berang. Tak boleh, ujarku. Lalu dari mulutku mengalir berbagai kutipan ayat kitab suci yang menghakiminya seperti pesakitan. Dia begitu hancur, tapi aku tak sedikitpun menaruh peduli.
Aku saudaranya, Kristania. Tapi aku bertindak sebagai hakimnya, atas nama kepatutan dan keutuhan keluarga. Kau bayangkan, sampai pada suatu titik aku mengancam, dia boleh pilih cintanya tapi kehilangan dua saudara. Aku yang kataku menghormati pilihan bebas. Aku yang mengaku mendukungnya. Aku kini mengancamnya. Belum cukup, Kristania. Aku berhenti bicara padanya. Dia hancur. Olehku.
Lalu dia tinggalkan Jakarta. Dalam ancaman keluarga, dia ucapkan janji untuk melupakan cintanya. Hari berganti, dan dia pun menemukan kembali cinta. Kali ini tak lagi berbeda. Di hatiku ada sebentuk kelegaan perihal ketidakberbedaan ini. Namun, dengan itu pula aku dihantui satu pertanyaan: adakah dia bahagia, atau sekadar terpaksa? Bahkan sampai dia mengatakan akan berkeluarga, aku tak memiliki kekuatan untuk menanyakannya. Dia pun menikah.
Aku ingat malam-malamku yang penuh kepenatan selepas itu, Kristania. Aku takut sekali membayangkan keputusannya dilatari keterpaksaan belaka. Aku takut dia menggadaikan kebahagiaan demi yang kami sebut kepatutan. Aku takut jika dia dikasari atau tersia-siakan, sementara tanganku kini sudah terlalu jauh jika pun ingin membela. Hanya berdoa siang-malam yang aku bisa.
Aku ingat, suatu malam aku menangis mendengar keluhnya. Suaminya – ayahmu kini, Kristania – kurang memerhatikannya di bulan-bulan pertama. Aku tak tahan. Suaraku bergetar saat kuberikan beberapa saran yang sama sekali tak cukup bijaksana. Andai bisa kugapai, tentu akan kurengkuh dan kulindungi dia. Tapi aku sadar tak bisa begitu. Dia kini milik orang lain. Setelah itu, tak ada lagi kabar darinya. Begitulah hingga lama sekali.
Tak henti aku menguntai kata syukur ketika mendengar berita tentangmu, Kristania. Kala itu kau masih dikandungnya. Lalu, bersama kami hitung hari. Dari jauh aku hanya bisa menanyakan kesehatannya. Kuselingi dengan sumbang saran tanda peduli.
Februari hampir berakhir ketika tangismu terpekik ke dunia. Lagi-lagi cuma kabar yang kudengar dari jauh, bahwa kau sehat, bahwa kau cantik, bahwa kau mungil. Kristania, bahagiaku tak terkira, membayangkan sejarah ibumu yang tak mudah. Kudengar ibumu bahagia menyambutmu Kristania. Kuharap dengan begitu deritanya terbayar. Kuharap dengan begitu dia mengampuniku.
Benar-benar berhati besar perempuan yang menjadi ibumu itu, Kristania. Tak sedikitpun disimpannya benci, apalagi dendam. Dengan lembut ia menyebut arti namamu. “Kristania belum punya nama tengah. Maukah kau mencarikan?” begitu tulus dia terdengar. Mataku berkaca-kaca.
Kristania, aku tak tahu apakah keterpaksaan yang melatarimu. Tapi aku tahu kau buah cinta yang di dalamnya dipenuhi kerelaan. Mei nanti aku ingin melihatmu.
Untuk Kristania yang belum kulihat
Sang Doktor
Gelarnya doktor. “Dari universitas Amerika,” akunya, tanpa merinci nama universitas yang dimaksud. Lupa dia barangkali bahwa di Amerika bertaburan juga universitas danga-danga (bahasa pergaulan di Medan yang berarti 'rongsokan'). Seorang mantan birokrat yang pernah mengurusi buku-buku pemerintah. Pantas saja dia mengerti banyak, bahkan hingga budaya beli dan baca buku guru-guru Indonesia. Mantap, pikirku. Meyakinkan.
Naskah bukunya sudah seminggu di tangan, rampung di-layout. Tapi malas kupegang. Kupikir hanya mumbo-jumbo psikologi sampah lainnya. Seperti membaca pikiranku, pagi itu dalam pertemuan kami, dia meyakinkanku bahwa naskahnya emas. “Belum ada buku pengembangan diri bernuansa lokal. Yang saya tulis ini meng-Indonesia banget,” mulutnya berbusa. Tak lupa dia kutip berbagai buku tentang konsep kecerdasan yang ditudingnya 'tidak aplikatif' a.k.a terlalu tinggi untuk otak jongkok orang Indonesia kebanyakan. Mantap, pikirku. Masih meyakinkan.
Okelah, tak kupermasalahkan substansinya pagi itu. Aku sedang pusing, tak berselera untuk berdebat sekalipun asumsi-asumsinya terdengar sangat lemah, jika tak ingin kusebut tanpa dasar. Dia seorang doktor, aku meyakinkan diri, naif. Debat bergeser soal lay-out. Doktor lulusan Amerika itu membuka topik dengan kalimat, “Sebagai orang yang mengerti seni, saya....” Intinya, dia minta lay-out diubah. Kurang artistik, katanya. Kucecar lebih spesifik, dia cuma bisa, “eee....anu......itu.....aaaa.....itu lho.” Prettt! Akhirnya aku iyakan. Yang penting dia cepat pulang, pikirku.
Pencerahan baru kutuai ketika doktor lulusan Amerika itu menghilang. Dalam hening, kuberanikan diri meneliti substansi naskahnya. Tak butuh waktu lama untuk menarik kesimpulan. Gardner, Stoltz, Gardner, Stoltz, Kiyosaki, Gardner lagi, lalu Stoltz lagi. Begitu terus. Aku bingung, ini buku atau kliping koran. Isinya kutipan semua, dari penulis asing pula. Jelas sudah penyakit utamanya: orisinalitas. Kuteruskan membaca, berharap menemukan emas ketika menggali lebih dalam. Lalu yang kutemukan adalah prinsip “Sing waras ngalah” yang dia sebut cerdas dan baru, prinsip efisiensi penggunaan kompor untuk menerangkan tata kelola waktu, dan berbagai asumsi-asumsi tak berdasar yang tak terhitung banyaknya. Doktor lulusan Amerika ini melulu stating the obvious alias ngomongin yang semua orang udah tahu. Lantas, di mana aspek cerdas yang tak henti dia sebut dengan mulutnya dan di naskahnya? Prettt lagi!
Soal asumsi-asumsi ini, kucoba kutip beberapa. Katanya – dalam buku 'emas' itu – orang yang baik bahasanya adalah orang yang baik dan halus kepribadiannya. Jelas saja aku teringat pada para pejabat negeri ini yang tentu baik bahasanya tapi tak terjamin budinya. Cukup satu itu saja, terlalu sakit jika diingat-ingat.
Yang paling parah, doktor yang mengaku sering menjadi pelatih pengembangan diri ini, malah mengajarkan sikap oportunis pada suatu bagian tentang komitmen. Begini dia mencontohkan. Ketika Anda bekerja di sebuah perusahaan, rajin-rajinlah membina hubungan dengan perusahaan lain yang sejenis dengan perusahaan Anda. Keuntungannya, ketika perusahaan Anda gulung tikar, Anda masih bisa pindah ke perusahaan yang sudah Anda 'dekati' itu. Doktor Amerika sinting. Dia tak paham sedang mengajarkan pengkhianatan.
Belum cukup. Di dalam buku, dia pampangkan semua foto keluarga, mulai dari foto katering kawinan anaknya, putrinya lagi main komputer, putranya lagi wisuda, ibu-ibu di RT-nya lagi senam pagi, kelas S2 yang diajarnya, pohon mangga di rumahnya, kolam ikan kerabatnya, dan tak ketinggalan tentu, foto dirinya lagi pelatihan. WTF! Maaf, terpaksa pakai frase ini. Album keluarga atau buku sih?
Dia datang di suatu siang. Senyumnya mengembang seperti biasa. Kali ini dia bawa ide yang lebih keblinger. “Saya usul agar foto saya dipampangkan di cover buku,” katanya dengan senyum mengembang tadi, sembari menunjukkan contoh buku-buku pengembangan diri dengan konsep cover serupa – karya Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll. Aku tak tahan. Kali ini dia kubantah lebih lugas. Aku utarakan keberatanku. Aku ingatkan dia bahwa orang-orang tadi mencantumkan foto di cover karena wajahnya memang sudah dikenal luas sebagai motivator profesional. Sedangkan bapak doktor kita? Yang benar sajalah mulutmu itu kalo bicara, begitu kata preman Pasar Sambu di Medan.
Dia diam, kalah. Saking panasnya, sempat terlintas di benakku untuk mendebat bukunya yang 'kosong' dan tak orisinal itu. Tapi kuurungkan niat. Aku ingat hari ini harus ke bertugas kantor representatif. Jangan sampai suasana hatiku rusak karena emosi. Tapi dia tetap saja nyerocos. Soal dirinya yang diundang jadi pembicara ahli di world book day, soal dirinya lagi yang didaulat jadi pemakalah di seminar tentang copyright, dan soal keprihatinannya pada air mata guru di Medan. Aku tak punya waktu lagi untuk mendengar pembanggaan diri berbalut keprihatinan semu. Aku pasang tampang dingin. Tak kutanggapi tawanya. Mukaku benar-benar datar. Dan ternyata berhasil. Tak lama dia pamit.
Lalu aku teringat perkataan Wilfrid Sheed suatu kali, “One reason the human race has such a low opinion of itself is that it gets so much of its wisdom from writers.”
Ahh....
Naskah bukunya sudah seminggu di tangan, rampung di-layout. Tapi malas kupegang. Kupikir hanya mumbo-jumbo psikologi sampah lainnya. Seperti membaca pikiranku, pagi itu dalam pertemuan kami, dia meyakinkanku bahwa naskahnya emas. “Belum ada buku pengembangan diri bernuansa lokal. Yang saya tulis ini meng-Indonesia banget,” mulutnya berbusa. Tak lupa dia kutip berbagai buku tentang konsep kecerdasan yang ditudingnya 'tidak aplikatif' a.k.a terlalu tinggi untuk otak jongkok orang Indonesia kebanyakan. Mantap, pikirku. Masih meyakinkan.
Okelah, tak kupermasalahkan substansinya pagi itu. Aku sedang pusing, tak berselera untuk berdebat sekalipun asumsi-asumsinya terdengar sangat lemah, jika tak ingin kusebut tanpa dasar. Dia seorang doktor, aku meyakinkan diri, naif. Debat bergeser soal lay-out. Doktor lulusan Amerika itu membuka topik dengan kalimat, “Sebagai orang yang mengerti seni, saya....” Intinya, dia minta lay-out diubah. Kurang artistik, katanya. Kucecar lebih spesifik, dia cuma bisa, “eee....anu......itu.....aaaa.....itu lho.” Prettt! Akhirnya aku iyakan. Yang penting dia cepat pulang, pikirku.
Pencerahan baru kutuai ketika doktor lulusan Amerika itu menghilang. Dalam hening, kuberanikan diri meneliti substansi naskahnya. Tak butuh waktu lama untuk menarik kesimpulan. Gardner, Stoltz, Gardner, Stoltz, Kiyosaki, Gardner lagi, lalu Stoltz lagi. Begitu terus. Aku bingung, ini buku atau kliping koran. Isinya kutipan semua, dari penulis asing pula. Jelas sudah penyakit utamanya: orisinalitas. Kuteruskan membaca, berharap menemukan emas ketika menggali lebih dalam. Lalu yang kutemukan adalah prinsip “Sing waras ngalah” yang dia sebut cerdas dan baru, prinsip efisiensi penggunaan kompor untuk menerangkan tata kelola waktu, dan berbagai asumsi-asumsi tak berdasar yang tak terhitung banyaknya. Doktor lulusan Amerika ini melulu stating the obvious alias ngomongin yang semua orang udah tahu. Lantas, di mana aspek cerdas yang tak henti dia sebut dengan mulutnya dan di naskahnya? Prettt lagi!
Soal asumsi-asumsi ini, kucoba kutip beberapa. Katanya – dalam buku 'emas' itu – orang yang baik bahasanya adalah orang yang baik dan halus kepribadiannya. Jelas saja aku teringat pada para pejabat negeri ini yang tentu baik bahasanya tapi tak terjamin budinya. Cukup satu itu saja, terlalu sakit jika diingat-ingat.
Yang paling parah, doktor yang mengaku sering menjadi pelatih pengembangan diri ini, malah mengajarkan sikap oportunis pada suatu bagian tentang komitmen. Begini dia mencontohkan. Ketika Anda bekerja di sebuah perusahaan, rajin-rajinlah membina hubungan dengan perusahaan lain yang sejenis dengan perusahaan Anda. Keuntungannya, ketika perusahaan Anda gulung tikar, Anda masih bisa pindah ke perusahaan yang sudah Anda 'dekati' itu. Doktor Amerika sinting. Dia tak paham sedang mengajarkan pengkhianatan.
Belum cukup. Di dalam buku, dia pampangkan semua foto keluarga, mulai dari foto katering kawinan anaknya, putrinya lagi main komputer, putranya lagi wisuda, ibu-ibu di RT-nya lagi senam pagi, kelas S2 yang diajarnya, pohon mangga di rumahnya, kolam ikan kerabatnya, dan tak ketinggalan tentu, foto dirinya lagi pelatihan. WTF! Maaf, terpaksa pakai frase ini. Album keluarga atau buku sih?
Dia datang di suatu siang. Senyumnya mengembang seperti biasa. Kali ini dia bawa ide yang lebih keblinger. “Saya usul agar foto saya dipampangkan di cover buku,” katanya dengan senyum mengembang tadi, sembari menunjukkan contoh buku-buku pengembangan diri dengan konsep cover serupa – karya Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll. Aku tak tahan. Kali ini dia kubantah lebih lugas. Aku utarakan keberatanku. Aku ingatkan dia bahwa orang-orang tadi mencantumkan foto di cover karena wajahnya memang sudah dikenal luas sebagai motivator profesional. Sedangkan bapak doktor kita? Yang benar sajalah mulutmu itu kalo bicara, begitu kata preman Pasar Sambu di Medan.
Dia diam, kalah. Saking panasnya, sempat terlintas di benakku untuk mendebat bukunya yang 'kosong' dan tak orisinal itu. Tapi kuurungkan niat. Aku ingat hari ini harus ke bertugas kantor representatif. Jangan sampai suasana hatiku rusak karena emosi. Tapi dia tetap saja nyerocos. Soal dirinya yang diundang jadi pembicara ahli di world book day, soal dirinya lagi yang didaulat jadi pemakalah di seminar tentang copyright, dan soal keprihatinannya pada air mata guru di Medan. Aku tak punya waktu lagi untuk mendengar pembanggaan diri berbalut keprihatinan semu. Aku pasang tampang dingin. Tak kutanggapi tawanya. Mukaku benar-benar datar. Dan ternyata berhasil. Tak lama dia pamit.
Lalu aku teringat perkataan Wilfrid Sheed suatu kali, “One reason the human race has such a low opinion of itself is that it gets so much of its wisdom from writers.”
Ahh....
Syukur Sedia Sol
Aku tak terpikir tanya namanya. Matahari yang seperti hendak melelehkan apa saja membuat ramah tamah jadi barang mahal. Yang pasti bukan Jared. Terlalu sophisticated nama itu untuk betawi pinggiran macam dia. Mungkin Juned lebih tak mengada-ada. Ya sudah, jadilah dia Juned.
Dia langsung sigap menghampiri ketika kudekati kotak kayu bertuliskan “Sedia Sol” tempat dia meletakkan setumpuk sol sepatu usang. “Jahit sepatu, Bos?” tanyanya dalam keramahan ala pasar. Entah kenapa pula dia gunakan sapaan itu. Sangkaku itu bentuk subordinasi khas orang Indonesia. Langsung menempatkan diri sebagai hamba di hadapan orang yang pakaiannya lebih rapi, lebih wangi, yang kulitnya lebih bersih, dan yang kira-kira berkemampuan ekonomi lebih baik. Aku memang agak salah kostum, ke pasar memakai celana formal dan polo shirt yang dimasukkan. “Iya, lemnya lepas kena air,” jelasku, terlalu lengkap.
Sepatu formal merek Buccherri itu kubeli tiga bulan silam. Sengaja cari yang bersahabat dengan kocek dan sesuai dengan program pengencangan ikat pinggang. Di suatu sore sekitar tiga minggu lalu, kuterobos hujan yang agak deras. Berharap cepat sampai rumah, si Buccherri pun terpaksa diinjakkan di jalanan becek. Lemnya kontan lepas. Buccherri berubah menjadi the butcher a.k.a penjagal kantongku. Paling tidak itu yang terpikirkan ketika menimbang-nimbang berapa upah yang akan diminta si Juned kita.
Juned langsung melihat dengan cermat kondisi kerusakan sepatuku. Dibolak-baliknya, dicongkelnya dengan obeng yang agak karatan, dia regang-regangkan. Aku diam saja memerhatikan, tak ingin protes soal bidang yang bukan keahlianku. Melihatku terpanggang matahari, Juned sibuk mencarikanku kursi dan mempersilakanku duduk di tempat teduh bak maharaja. Kupilih untuk tetap di dekatnya, semacam pengawasan melekat demi memastikan dia mengerjakan penjahitan secara mendetail sehingga upah yang kuasumsikan akan mahal bakal setimpal. Intinya, aku bersyak wasangka.
Kotak kayu itu dibuat serampangan dari papan bekas. Di dalamnya bergelantungan kantong kresek hitam berisi sepatu, tiga kaleng lem Aika Aibon, aneka jarum sepatu, dua gulung benang hitam dan abu-abu. Tergeletak pula di sana segelas besar kopi tubruk. Tutup gelas berwarna hijau kusam tak terletak sempurna sehingga lalat-lalat pasar mengerumuni ampas kopi di tepi gelas. “Bagian depan bisa dijahit, tapi tapak belakangnya mesti dipaku, Bos,” jelasnya seperti memohon petunjuk. “Oke,” kataku. Dan dia mulai bekerja.
Kudengar kertak gigi, kulihat urat-urat wajahnya menegang, saat ia mengejan membuat tusukan pertama di sol sepatuku. Karet yang keras menuntut tenaga ekstra. Bulir-bulir peluh sebesar biji jagung bertengger di sudut matanya, tak sempat diseka. Sembari bekerja, sempat pula ia bercerita. “Sepatu pabrikan emang nggak kuat. Liat nih, pakunya cuma tiga. Yang penting cuma nempel doang,” cerocosnya. Juned tahu itu karena dulu dia tiga tahun kerja di Cibaduyut. Tahun 1998 dia kembali ke Jakarta ketika pabrik sepatu tempatnya bekerja diterjang krismon. “Oh gitu,” jawabku sengaja sekenanya, tak ingin mengesankan antusiasme sehingga pembicaraan meluas.
Dia kurus kering. Tulang lututnya terlalu kecil dibalut celana hitam pudar. Bajunya dua lapis. Di dalam kaus hijau. Di luar kaus PDIP bulukan. Topi hitamnya dihiasi pulau-pulau putih. Jelas itu endapan garam dari keringat berbulan-bulan. Aku masih dirundung syak. Orang begini, pikirku, biasanya cuma bisa tiga perkara: tipu, curi, palak. Meminjam Pram, aku sudah berlaku tak adil di dalam pikiran.
"Wah, jarumnya patah,” suaranya murung saat satu jarum patah oleh karet sol yang alot. Diambilnya jarum cadangan. Aku coba bertanya, berharap dia menangkap simpati sehingga tak men-charge kerusakan itu pada upah penjahitan sepatuku. Lagi-lagi tak adil dalam pikiran. “Jarum ini saya bikin sendiri dari jari-jari payung. Bisa tajam begini ngegosoknya ampe dua hari, Bos. Tapi besi jari-jari payung sekarang payah. Gampang banget meleyot,” tuturnya. Menurut Juned kita, tak ada lagi orang yang jual jarum sepatu. Kalau ada yang dijual jadi, dia akan bela-belain beli biarpun agak mahal. “Oh gitu,” kembali tukasku singkat.
Sepatu sebelah kiri hampir kelar. Yang kanan agak lebih ribet pengerjaannya berhubung kerusakannya lebih parah. Dia lumuri lem dulu di sela-sela sol dan kulit, lalu dia jemur di bawah terik matahari. Singkat kata, tak kurang satu jam Juned bekerja. Bajunya sudah kuyup oleh keringat. Kulitnya yang hitam makin legam dipanggang matahari yang pada jam itu tepat di atas ubun-ubun. Plus, dua jarumnya akhirnya patah oleh sol yang kerasnya minta ampun. Melihat pekerjaannya hampir kelar, aku mulai merogoh-rogoh kantong.
"Selesai, Bos,” katanya sembari menyerahkan sepatuku di dalam kantong kresek. “Berapa?” tanyaku pelan. Aku menduga harus membayar cukup mahal untuk peluhnya, urat-uratnya yang menegang, kertak gigi, kulit legamnya yang terpanggang, juga dua jarum jahit sepatu yang dikorbankan. Aku menunggunya menyebut angka-angka. Biar mahal, aku bertekad takkan menawar, mengingat beratnya pekerjaan itu dalam standarku. “Biasa,” katanya masih tidak menyebut angka. Entah apa maksudnya. Mungkin dia berharap aku tahu upah jahit sepatu di Jakarta tahun 2007. Meneketehe, kupinjam Tora. Ada jeda yang agak lama. Dia seperti menimbang-nimbang, mengumpulkan keberanian, menyatukan kekuatan. Aku bersyak lagi, dia akan menggelembungkan biaya. Dia akan membuatku pulang jalan kaki. Gawat, pikirku. Lalu katanya tanpa berani menatap wajahku, “Sepuluh ribu.”
Dunia seperti berhenti berputar, menyisakanku dan kata “sepuluh ribu” yang terngiang-ngiang, antara nyata dan tidak. Satu jam dia mengejan seperti perempuan mau beranak. Enam puluh menit dia berjemur, bukan di pantai Florida. Tiga ribu enam ratus detik dia memompa keringat. Dan ekspektasi tertingginya adalah sepuluh ribu. Hanya sepuluh ribu itu dia menilai dan menghargai diri dan kerja kerasnya.
Aku benar-benar seperti ditampar dan diguncang-guncang. Sudah lama aku tak susah, tak merasa terdesak, sehingga selama itu pula aku seperti merasa punya hak untuk selalu mengeluh dan berdebat soal cukup tak cukup. Lupa aku barangkali betapa kini ekspektasi Juned tadi hanyalah receh yang sering kali habis sekali jajan. Sering kubicarakan soal bersyukur, tapi membicarakan syukur kini rasanya berbeda dengan ketika membicarakannya sambil menertawai kekurangan dalam kegetiran.
Kuserahkan sepuluh ribu tadi. Dan kulihat lagi apa bedanya aku dan si tukang jahit sepatu. Dia menerimanya dengan sukacita seolah tak ada yang lebih baik daripada sepuluh ribu. Aku? Ahh...
Hari itu kosakataku bertambah. Kata “syukur” tak kudapat dari munsyi manapun, melainkan dari tukang sepatu yang satu jam mengejan.
Dia langsung sigap menghampiri ketika kudekati kotak kayu bertuliskan “Sedia Sol” tempat dia meletakkan setumpuk sol sepatu usang. “Jahit sepatu, Bos?” tanyanya dalam keramahan ala pasar. Entah kenapa pula dia gunakan sapaan itu. Sangkaku itu bentuk subordinasi khas orang Indonesia. Langsung menempatkan diri sebagai hamba di hadapan orang yang pakaiannya lebih rapi, lebih wangi, yang kulitnya lebih bersih, dan yang kira-kira berkemampuan ekonomi lebih baik. Aku memang agak salah kostum, ke pasar memakai celana formal dan polo shirt yang dimasukkan. “Iya, lemnya lepas kena air,” jelasku, terlalu lengkap.
Sepatu formal merek Buccherri itu kubeli tiga bulan silam. Sengaja cari yang bersahabat dengan kocek dan sesuai dengan program pengencangan ikat pinggang. Di suatu sore sekitar tiga minggu lalu, kuterobos hujan yang agak deras. Berharap cepat sampai rumah, si Buccherri pun terpaksa diinjakkan di jalanan becek. Lemnya kontan lepas. Buccherri berubah menjadi the butcher a.k.a penjagal kantongku. Paling tidak itu yang terpikirkan ketika menimbang-nimbang berapa upah yang akan diminta si Juned kita.
Juned langsung melihat dengan cermat kondisi kerusakan sepatuku. Dibolak-baliknya, dicongkelnya dengan obeng yang agak karatan, dia regang-regangkan. Aku diam saja memerhatikan, tak ingin protes soal bidang yang bukan keahlianku. Melihatku terpanggang matahari, Juned sibuk mencarikanku kursi dan mempersilakanku duduk di tempat teduh bak maharaja. Kupilih untuk tetap di dekatnya, semacam pengawasan melekat demi memastikan dia mengerjakan penjahitan secara mendetail sehingga upah yang kuasumsikan akan mahal bakal setimpal. Intinya, aku bersyak wasangka.
Kotak kayu itu dibuat serampangan dari papan bekas. Di dalamnya bergelantungan kantong kresek hitam berisi sepatu, tiga kaleng lem Aika Aibon, aneka jarum sepatu, dua gulung benang hitam dan abu-abu. Tergeletak pula di sana segelas besar kopi tubruk. Tutup gelas berwarna hijau kusam tak terletak sempurna sehingga lalat-lalat pasar mengerumuni ampas kopi di tepi gelas. “Bagian depan bisa dijahit, tapi tapak belakangnya mesti dipaku, Bos,” jelasnya seperti memohon petunjuk. “Oke,” kataku. Dan dia mulai bekerja.
Kudengar kertak gigi, kulihat urat-urat wajahnya menegang, saat ia mengejan membuat tusukan pertama di sol sepatuku. Karet yang keras menuntut tenaga ekstra. Bulir-bulir peluh sebesar biji jagung bertengger di sudut matanya, tak sempat diseka. Sembari bekerja, sempat pula ia bercerita. “Sepatu pabrikan emang nggak kuat. Liat nih, pakunya cuma tiga. Yang penting cuma nempel doang,” cerocosnya. Juned tahu itu karena dulu dia tiga tahun kerja di Cibaduyut. Tahun 1998 dia kembali ke Jakarta ketika pabrik sepatu tempatnya bekerja diterjang krismon. “Oh gitu,” jawabku sengaja sekenanya, tak ingin mengesankan antusiasme sehingga pembicaraan meluas.
Dia kurus kering. Tulang lututnya terlalu kecil dibalut celana hitam pudar. Bajunya dua lapis. Di dalam kaus hijau. Di luar kaus PDIP bulukan. Topi hitamnya dihiasi pulau-pulau putih. Jelas itu endapan garam dari keringat berbulan-bulan. Aku masih dirundung syak. Orang begini, pikirku, biasanya cuma bisa tiga perkara: tipu, curi, palak. Meminjam Pram, aku sudah berlaku tak adil di dalam pikiran.
"Wah, jarumnya patah,” suaranya murung saat satu jarum patah oleh karet sol yang alot. Diambilnya jarum cadangan. Aku coba bertanya, berharap dia menangkap simpati sehingga tak men-charge kerusakan itu pada upah penjahitan sepatuku. Lagi-lagi tak adil dalam pikiran. “Jarum ini saya bikin sendiri dari jari-jari payung. Bisa tajam begini ngegosoknya ampe dua hari, Bos. Tapi besi jari-jari payung sekarang payah. Gampang banget meleyot,” tuturnya. Menurut Juned kita, tak ada lagi orang yang jual jarum sepatu. Kalau ada yang dijual jadi, dia akan bela-belain beli biarpun agak mahal. “Oh gitu,” kembali tukasku singkat.
Sepatu sebelah kiri hampir kelar. Yang kanan agak lebih ribet pengerjaannya berhubung kerusakannya lebih parah. Dia lumuri lem dulu di sela-sela sol dan kulit, lalu dia jemur di bawah terik matahari. Singkat kata, tak kurang satu jam Juned bekerja. Bajunya sudah kuyup oleh keringat. Kulitnya yang hitam makin legam dipanggang matahari yang pada jam itu tepat di atas ubun-ubun. Plus, dua jarumnya akhirnya patah oleh sol yang kerasnya minta ampun. Melihat pekerjaannya hampir kelar, aku mulai merogoh-rogoh kantong.
"Selesai, Bos,” katanya sembari menyerahkan sepatuku di dalam kantong kresek. “Berapa?” tanyaku pelan. Aku menduga harus membayar cukup mahal untuk peluhnya, urat-uratnya yang menegang, kertak gigi, kulit legamnya yang terpanggang, juga dua jarum jahit sepatu yang dikorbankan. Aku menunggunya menyebut angka-angka. Biar mahal, aku bertekad takkan menawar, mengingat beratnya pekerjaan itu dalam standarku. “Biasa,” katanya masih tidak menyebut angka. Entah apa maksudnya. Mungkin dia berharap aku tahu upah jahit sepatu di Jakarta tahun 2007. Meneketehe, kupinjam Tora. Ada jeda yang agak lama. Dia seperti menimbang-nimbang, mengumpulkan keberanian, menyatukan kekuatan. Aku bersyak lagi, dia akan menggelembungkan biaya. Dia akan membuatku pulang jalan kaki. Gawat, pikirku. Lalu katanya tanpa berani menatap wajahku, “Sepuluh ribu.”
Dunia seperti berhenti berputar, menyisakanku dan kata “sepuluh ribu” yang terngiang-ngiang, antara nyata dan tidak. Satu jam dia mengejan seperti perempuan mau beranak. Enam puluh menit dia berjemur, bukan di pantai Florida. Tiga ribu enam ratus detik dia memompa keringat. Dan ekspektasi tertingginya adalah sepuluh ribu. Hanya sepuluh ribu itu dia menilai dan menghargai diri dan kerja kerasnya.
Aku benar-benar seperti ditampar dan diguncang-guncang. Sudah lama aku tak susah, tak merasa terdesak, sehingga selama itu pula aku seperti merasa punya hak untuk selalu mengeluh dan berdebat soal cukup tak cukup. Lupa aku barangkali betapa kini ekspektasi Juned tadi hanyalah receh yang sering kali habis sekali jajan. Sering kubicarakan soal bersyukur, tapi membicarakan syukur kini rasanya berbeda dengan ketika membicarakannya sambil menertawai kekurangan dalam kegetiran.
Kuserahkan sepuluh ribu tadi. Dan kulihat lagi apa bedanya aku dan si tukang jahit sepatu. Dia menerimanya dengan sukacita seolah tak ada yang lebih baik daripada sepuluh ribu. Aku? Ahh...
Hari itu kosakataku bertambah. Kata “syukur” tak kudapat dari munsyi manapun, melainkan dari tukang sepatu yang satu jam mengejan.
Mendengarkannya Berandai
Ada kesedihan yang menitik mendengarkannya berandai-andai dalam lirik. “Jika aku seorang pelukis, dan bisa melukis kenangan...,” senandungnya dalam suara yang hampir setipis desir angin. Aku pun bangun dalam soreku, dalam keremangan yang terlalu setia mendramatisir kesendirian. Aku tak memikirkan cinta. Lelah aku dinaifkan oleh hal-hal macam itu. Aku ingin seperti kata lirik itu, melukis kenanganku. Bukan karena kedua kakiku tak pernah beranjak dari kemarin. Bukan sebab tungkaiku terlalu kebas untuk digerakkan ke dalam esok. Aku hanya tak mampu membaui kekinian. Dalam inginku menghidu bau harum detik ini ketika kupejamkan mata dan kurentangkan tangan, aku tak mendapati apa pun yang menyukakan. Semuanya seperti ditentukan. Segalanya menuruti jalan-jalan setapak yang terbangun.
Terlalu banyak pagi-pagi dalam kekinian di mana aku bangun tanpa pernah lagi terkejut. Sebab aku tahu hari ini untuk apa. Karena aku tahu hari ini bagaimana. Mengabdi aku pada tujuan-tujuan yang tak pernah diuji lagi kehakikiannya. Terlalu banyak malam-malam dalam kekinian di mana aku tidur tanpa pernah merasa gelisah lagi. Tentang nilai. Tentang makna. Terlalu dipacu aku. Terlalu lelah.
Sekarang baru aku tersadar, mengapa bau harum kekinian tak lagi memadati udara di paru-paruku. Sudah lama aku tak punya waktu untuk memaknai apa yang inderaku alami, yang hatiku rasai, yang pikiranku dalami. Di mana jeda untuk mengendapkan kekinian yang melaluinya aku mematrikan semuanya dalam ingatan dan belajar memaknai dan menghargai?
Sekarang baru aku tersadar, mengapa baru harum kenangan tak menyisakan ruang kosong apa pun di rongga paru-paruku. Kesahajaan dulu punya waktu leluasa untuk berinkubasi. Dia tak diburu-buru sehingga sempurna termaknai dalam bingkai ukir yang digantung di dinding-dinding sanubariku. Kesusahan dulu kuberi jeda untuk kumengerti, kuberi ruang untuk kurenungkan dengan tenang. Dengan begitu dia berharga. Jauh lebih berharga daripada jayaku di kekinian.
Karena itulah sore ini seperti ada kesedihan yang menitik. Ya, kesedihan, karena aku tahu seindah apa pun kulukiskan kenangan, tak bisa aku mundur barang sedetik untuk menghidupinya kembali. Kekinian yang harus kujelang. Semegah apa pun kenangan kubingkai dalam ingatan, tak boleh aku sekadar ingin untuk kembali. Kekinian yang harus kutantang.
Maka sore itu ada sebongkah keinginan yang merasuk – keinginan untuk berhenti. Agar aku bisa memaknai yang kini, agar aku bisa menjelang yang nanti, tanpa membanding-bandingkan dalam kemuraman.
Terlalu banyak pagi-pagi dalam kekinian di mana aku bangun tanpa pernah lagi terkejut. Sebab aku tahu hari ini untuk apa. Karena aku tahu hari ini bagaimana. Mengabdi aku pada tujuan-tujuan yang tak pernah diuji lagi kehakikiannya. Terlalu banyak malam-malam dalam kekinian di mana aku tidur tanpa pernah merasa gelisah lagi. Tentang nilai. Tentang makna. Terlalu dipacu aku. Terlalu lelah.
Sekarang baru aku tersadar, mengapa bau harum kekinian tak lagi memadati udara di paru-paruku. Sudah lama aku tak punya waktu untuk memaknai apa yang inderaku alami, yang hatiku rasai, yang pikiranku dalami. Di mana jeda untuk mengendapkan kekinian yang melaluinya aku mematrikan semuanya dalam ingatan dan belajar memaknai dan menghargai?
Sekarang baru aku tersadar, mengapa baru harum kenangan tak menyisakan ruang kosong apa pun di rongga paru-paruku. Kesahajaan dulu punya waktu leluasa untuk berinkubasi. Dia tak diburu-buru sehingga sempurna termaknai dalam bingkai ukir yang digantung di dinding-dinding sanubariku. Kesusahan dulu kuberi jeda untuk kumengerti, kuberi ruang untuk kurenungkan dengan tenang. Dengan begitu dia berharga. Jauh lebih berharga daripada jayaku di kekinian.
Karena itulah sore ini seperti ada kesedihan yang menitik. Ya, kesedihan, karena aku tahu seindah apa pun kulukiskan kenangan, tak bisa aku mundur barang sedetik untuk menghidupinya kembali. Kekinian yang harus kujelang. Semegah apa pun kenangan kubingkai dalam ingatan, tak boleh aku sekadar ingin untuk kembali. Kekinian yang harus kutantang.
Maka sore itu ada sebongkah keinginan yang merasuk – keinginan untuk berhenti. Agar aku bisa memaknai yang kini, agar aku bisa menjelang yang nanti, tanpa membanding-bandingkan dalam kemuraman.
Dinamika Coret
Ada satu kebiasaan yang seperti tak pernah lekang. Aku suka sekali mencorat-coret buku atau kertas atau apa saja ketika terpikir sesuatu atau ketika kebosanan menyerang. Coretan itu beragam, mulai dari gambar, puisi, tag line, atau bahkan umpatan-umpatan spontan yang tak mungkin disuarakan. Semua itu biasanya jujur. Ia bentuk ungkapan hati yang bebas keluar tanpa terprovokasi atau takut dimaknai lain oleh orang. Dia bebas penilaian.
Pagi itu aku dibuat tersenyum oleh coretan-coretan tanganku sendiri. Semua berawal dari agenda lusuh yang kutemukan saat membereskan meja penuh serakan kertas. Agenda tahun 2006, tahun pertamaku bekerja di suatu tempat. Iseng-iseng aku telusuri halaman demi halamannya yang jauh dari rapi, sekadar ingin tahu apa yang pernah kupikirkan dahulu.
Halaman pertama sepertinya catatan-catatan kecil dalam sebuah rapat antardivisi. Tanggalnya jelas tertera, 9 Januari 2006. Aku mulai dengan tulisan-tulisan dalam format bullet-point. Ada ulasan sasaran pasar empat buku lifestyle. Di situ aku merinci selling point dan proyeksi usia pembaca. Hahaha, wajarlah. Itu bulan pertama, jadi masih bersemangat untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Di satu bagian pada halaman itu aku tulis begini, “Ingat: Pilih kelebihan terbaik buku untuk dipromosikan.” Hmmm...., di mana passion itu sekarang?
Tak jarang aku juga mencatat kesimpulan dari observasiku terhadap orang. Aku suka sekali memerhatikan orang bicara – pilihan katanya; dinamika suaranya; integrasi antara kata-kata, mimik muka, dan suara; rona wajah yang mencerminkan emosinya. Lebih jauh, aku menikmati menduga-duga apa yang ada dalam diri orang, terutama dari gagasan-gagasan dalam bicaranya. Di satu bagian, masih dalam rapat antardivisi itu, aku menulis begini, “Klasik: Self Defense Mechanism yang tidak pada tempatnya.” Lalu di bawahnya lagi, “Memorize: Pak Y!” Menyenangkan. Tapi seiring berjalannya waktu, semakin lama aku tercebur di tempat ini, aku sadar kenapa bapak yang kusebut tadi bersikap demikian. Bahkan, melalui interaksi dengannya yang belakangan sangat baik, aku menganggap sikapnya berdasar.
Aku balik bagian lain. Kali ini tak bertanggal. Tapi kalau nggak salah ini ditulis dalam sebuah rapat membahas rencana penyelenggaraan event yang cukup besar. Dengan cukup panjang aku tulis begini,
I hate bossy people!
Why do bossy people exist?
Does wealth always make people bossy?
Situation is getting out of control!
It's getting hot!
Hot money!
Hahaha. Jadi ingat sekarang. Saat itu seorang atasan seenaknya main perintah, seperti tak memikirkan bahwa orang punya pekerjaan lain yang notabene berjibun dan tak bisa dikompromikan tenggatnya. Tapi karena kultur yang memang jauh dari demokratis, orang mengunci mulut rapat-rapat sambil mengangguk-angguk palsu. Tak ada yang berani mempertanyakan, apalagi protes. Pertanyaan yang tak kunjung terjawab, kenapa pula muncul kata 'hot money' di sana? Ini jadi pe-er!
Ada juga yang membuatku terkekeh. Di suatu bagian, aku menemukan catatan kecil yang ditulis ketika tim kami dipanggil bos besar. Intinya, dalam rapat itu semua orang seperti jadi sasaran tembak. Kami dibombardir dengan kemarahan-kemarahan seputar kurangnya agresivitas, frekuensi kunjungan ke toko buku yang dinilai rendah, angka penjualan yang jarang dievaluasi – aku termasuk yang terbengong-bengong soal ini mengingat levelku memang tidak punya akses terhadap data penjualan, promosi yang lemah. Di sela-sela poin-poin yang dituduhkan, sempat-sempatnya aku menulis, “Cari arti ungkapan 'holy smoke' di Webster!”, ketika dua kata itu meluncur dari mulut si bos besar di puncak kalapnya. Hmmm..., ke mana kemampuan bersenang-senang itu kini?
Catatan lain soal rapat tak kalah miris. Tak bertanggal, hanya tertulis 'SELASA KELABU', mengingatkanku pada rapat mingguan yang dulu disiplin kami lakukan. Poin penting rapat hanya kucatat dua baris. Selebihnya adalah komentar-komentar yang menggambarkan betapa geramnya aku pada perilaku menjilat. Begini aku tulis,
“Sweet lips, Dear. Sweet lips!”, lalu,
“Even the smartest mouth will do lip service in the presence of the authority.”, lalu,
“Voice from heaven, voice from heaven, voice from heaven, voice from heaven.”, lalu,
“We know what attention is all about, Daniel!”
Namun, yang paling berkesan dari semuanya adalah petuah yang meluncur dari mulut bos perihal kerapian meja kerja. Kutulis begini,
Quotation of the day: “Mana bisa dapet suami kaya kalo kamar jorok!”
Membaca catatan-catatan itu membuatku sadar bahwa hidup ini – hidupku – tak lepas dari dinamika. Ada bagian-bagian di mana aku terdorong untuk mencurahkan pikiran terbaikku bagi pekerjaan – menganalisis penjualan, memberikan ide-ide promosi, mendaftar hal-hal yang dibutuhkan untuk melengkapi naskah, mencatat masukan-masukan penting pada rapat, dan lain-lain. Ada pula saat-saat di mana aku sadar bahwa kami semata-mata mengabdi kepada yang tak kekal, kepada yang miskin moral. Kami melayani kantong dan perut kami, bukan ilmu yang membuat orang cendekia seperti kata mulut kami kerap. Itulah saat-saat aku merasa tak menjadi bagian dari apa pun yang penting, saat-saat aku menjadi lunglai.
Tapi aku yakin ini bagian dari dinamika hidup – bahwa pemaknaan tujuan yang hakiki itu butuh proses, bahwa kesulitan justru merupakan proses pemuliaan seseorang, bahwa aku selalu punya pilihan sekalipun apa yang kupilih kelak masih entah.
Pagi itu aku dibuat tersenyum oleh coretan-coretan tanganku sendiri. Semua berawal dari agenda lusuh yang kutemukan saat membereskan meja penuh serakan kertas. Agenda tahun 2006, tahun pertamaku bekerja di suatu tempat. Iseng-iseng aku telusuri halaman demi halamannya yang jauh dari rapi, sekadar ingin tahu apa yang pernah kupikirkan dahulu.
Halaman pertama sepertinya catatan-catatan kecil dalam sebuah rapat antardivisi. Tanggalnya jelas tertera, 9 Januari 2006. Aku mulai dengan tulisan-tulisan dalam format bullet-point. Ada ulasan sasaran pasar empat buku lifestyle. Di situ aku merinci selling point dan proyeksi usia pembaca. Hahaha, wajarlah. Itu bulan pertama, jadi masih bersemangat untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Di satu bagian pada halaman itu aku tulis begini, “Ingat: Pilih kelebihan terbaik buku untuk dipromosikan.” Hmmm...., di mana passion itu sekarang?
Tak jarang aku juga mencatat kesimpulan dari observasiku terhadap orang. Aku suka sekali memerhatikan orang bicara – pilihan katanya; dinamika suaranya; integrasi antara kata-kata, mimik muka, dan suara; rona wajah yang mencerminkan emosinya. Lebih jauh, aku menikmati menduga-duga apa yang ada dalam diri orang, terutama dari gagasan-gagasan dalam bicaranya. Di satu bagian, masih dalam rapat antardivisi itu, aku menulis begini, “Klasik: Self Defense Mechanism yang tidak pada tempatnya.” Lalu di bawahnya lagi, “Memorize: Pak Y!” Menyenangkan. Tapi seiring berjalannya waktu, semakin lama aku tercebur di tempat ini, aku sadar kenapa bapak yang kusebut tadi bersikap demikian. Bahkan, melalui interaksi dengannya yang belakangan sangat baik, aku menganggap sikapnya berdasar.
Aku balik bagian lain. Kali ini tak bertanggal. Tapi kalau nggak salah ini ditulis dalam sebuah rapat membahas rencana penyelenggaraan event yang cukup besar. Dengan cukup panjang aku tulis begini,
I hate bossy people!
Why do bossy people exist?
Does wealth always make people bossy?
Situation is getting out of control!
It's getting hot!
Hot money!
Hahaha. Jadi ingat sekarang. Saat itu seorang atasan seenaknya main perintah, seperti tak memikirkan bahwa orang punya pekerjaan lain yang notabene berjibun dan tak bisa dikompromikan tenggatnya. Tapi karena kultur yang memang jauh dari demokratis, orang mengunci mulut rapat-rapat sambil mengangguk-angguk palsu. Tak ada yang berani mempertanyakan, apalagi protes. Pertanyaan yang tak kunjung terjawab, kenapa pula muncul kata 'hot money' di sana? Ini jadi pe-er!
Ada juga yang membuatku terkekeh. Di suatu bagian, aku menemukan catatan kecil yang ditulis ketika tim kami dipanggil bos besar. Intinya, dalam rapat itu semua orang seperti jadi sasaran tembak. Kami dibombardir dengan kemarahan-kemarahan seputar kurangnya agresivitas, frekuensi kunjungan ke toko buku yang dinilai rendah, angka penjualan yang jarang dievaluasi – aku termasuk yang terbengong-bengong soal ini mengingat levelku memang tidak punya akses terhadap data penjualan, promosi yang lemah. Di sela-sela poin-poin yang dituduhkan, sempat-sempatnya aku menulis, “Cari arti ungkapan 'holy smoke' di Webster!”, ketika dua kata itu meluncur dari mulut si bos besar di puncak kalapnya. Hmmm..., ke mana kemampuan bersenang-senang itu kini?
Catatan lain soal rapat tak kalah miris. Tak bertanggal, hanya tertulis 'SELASA KELABU', mengingatkanku pada rapat mingguan yang dulu disiplin kami lakukan. Poin penting rapat hanya kucatat dua baris. Selebihnya adalah komentar-komentar yang menggambarkan betapa geramnya aku pada perilaku menjilat. Begini aku tulis,
“Sweet lips, Dear. Sweet lips!”, lalu,
“Even the smartest mouth will do lip service in the presence of the authority.”, lalu,
“Voice from heaven, voice from heaven, voice from heaven, voice from heaven.”, lalu,
“We know what attention is all about, Daniel!”
Namun, yang paling berkesan dari semuanya adalah petuah yang meluncur dari mulut bos perihal kerapian meja kerja. Kutulis begini,
Quotation of the day: “Mana bisa dapet suami kaya kalo kamar jorok!”
Membaca catatan-catatan itu membuatku sadar bahwa hidup ini – hidupku – tak lepas dari dinamika. Ada bagian-bagian di mana aku terdorong untuk mencurahkan pikiran terbaikku bagi pekerjaan – menganalisis penjualan, memberikan ide-ide promosi, mendaftar hal-hal yang dibutuhkan untuk melengkapi naskah, mencatat masukan-masukan penting pada rapat, dan lain-lain. Ada pula saat-saat di mana aku sadar bahwa kami semata-mata mengabdi kepada yang tak kekal, kepada yang miskin moral. Kami melayani kantong dan perut kami, bukan ilmu yang membuat orang cendekia seperti kata mulut kami kerap. Itulah saat-saat aku merasa tak menjadi bagian dari apa pun yang penting, saat-saat aku menjadi lunglai.
Tapi aku yakin ini bagian dari dinamika hidup – bahwa pemaknaan tujuan yang hakiki itu butuh proses, bahwa kesulitan justru merupakan proses pemuliaan seseorang, bahwa aku selalu punya pilihan sekalipun apa yang kupilih kelak masih entah.
Di Sepinggan Pasta
Di depan sepinggan pasta kami berkaca malam itu, ditemani lilin yang nyalanya liar oleh angin di jendela terbuka. Kami memandang potret diri di gunungan pasta merah menyala.
Wajah kami abu-abu, tidak hitam, tidak putih. Kami seperti merah pasta itu, yang memberi kesan pedas ketika diantarkan pelayan-pelayan bersenyum lebar ke muka kami, dan yang ternyata terasa masam ketika dilumat di antara geligi. Ia menipu sepintar senyum kosong kami ketika gurau demi gurau dilemparkan seseorang di meja kayu panjang itu. Gurau itu hambar bukan kepalang, namun toh kami bersedia memberinya tawa terlebar.
Kedua jarum jam dinding di sudut ruang sudah bersetubuh hening, sementara angin di luar makin menggoda kami untuk lelap. Kami paksa kelopak mata terbuka untuk meyakinkan seseorang tadi bahwa kami mendengarkan. Untunglah nyala liar lilin itu redup. Kalau tidak, urat-urat mata kami yang merah menyerupai garis retak pasti terkuak dan mengubur kesan antusias. Satu-satunya yang jujur malam itu adalah lelahnya tubuh. Sayang, kejujurannya pun kami bungkam.
Setengah jam sebelum potret pasta, kami disuguhi cermin lain. Potongan daging sapi yang nyaris setipis irisan bawang digoreng dan diletakkan berminyak di atas irisan daun hijau yang asing. Seperti fokus perhatian, irisan daging tadi dikelilingi wortel cacah dan tomat potong dadu di atas, kanan, dan kirinya. Kami tatap lekat-lekat keindahan warna-warni – hijau, cokelat muda, merah menyala, dan orens – di bawah dagu kami, berharap kenikmatan bersembunyi di sana. Kami antar irisan daging, cacahan wortel, dan tomat potong dadu tadi ke atas lidah yang basah. Lama kami mengunyah, berpikir, dan mencari. Kami tak menemukannya, melainkan yang lain – sebuah keinginan kuat untuk mencari tempat muntah. Toh kami masih tersenyum.
Pikiranku melayang ke tiga tahun silam, ketika ibu belum kembali ke Tuhannya. Serpihan-serpihan daging yang dari tadi hanya kubolak-balik dengan garpu kupandangi. “Di tangan ibuku, dia pasti jadi lebih nikmat,” benakku. Ibuku memasak dengan kejujuran. Merah di saus dan sambalnya pasti pedas. Rasa masam tomat hanya dijadikannya aksen untuk mengimbangi rasa pedas tadi. Sering kali sambal itu hanya disiramnya di atas ikan sardin yang digoreng kering.
Ditemani uap nasi panas, kami makan lahap sambil bercerita tentang pohon rambutan yang mulai berbuah atau jerat burung ayam-ayaman yang justru dilewati biawak sehingga rusak semalam. Kami tak mendiskusikan buku dan rasa senyum kami tak seperti tomat pasta.
Terkadang ia menyambut kami di sabtu siang dengan nasi panas, ikan asin kepala batu belah digoreng garing, aneka rebusan – daun singkong, daun pepaya, kacang panjang, labu siam – dan sepiring kecil sambal belacan. Belacan yang dibuat dari ebi itu dibelinya di pasar becek 500 rupiah. Ia panggang belacan itu di atas bara sampai sedikit menghitam sehingga baunya menyeruak mengusik tetangga, lalu ia ulek bersama cabai, bawang, dan tomat yang juga lunak oleh bara. Ke dalam sambal itulah aneka rebusan kami cocol, menemani dua-tiga piring nasi yang tak terasa ditambah. Diskusi kami sabtu itu soal tukang rumput di dekat kantor bapak yang ludes tanah dan kerbaunya, namun tetap gagal memasukkan anak sulungnya jadi pegawai negeri. Iba kami tulus pada orang yang ditipu itu. Kami tak membicarakan branding strategy dan rasa senyum kami tak seperti tomat pasta.
Kurindukan kesederhanaan itu, sesuatu yang sering orang tertawakan di sini. Keindahan dan gengsi mereka puja di ibukota. Orang dewakan keberbedaan di atas rasa, seperti kami yang malam itu mengucapkan terima kasih kepada pria berkulit pucat dan bermata besar pemilik restoran pasta. Sempat pula kami memuji masakannya yang enak.
“Kau dan kesederhanaanmu…,” tak kuteruskan lamunan itu, tak ingin menyeka tetes kedua di sudut mata.
Wajah kami abu-abu, tidak hitam, tidak putih. Kami seperti merah pasta itu, yang memberi kesan pedas ketika diantarkan pelayan-pelayan bersenyum lebar ke muka kami, dan yang ternyata terasa masam ketika dilumat di antara geligi. Ia menipu sepintar senyum kosong kami ketika gurau demi gurau dilemparkan seseorang di meja kayu panjang itu. Gurau itu hambar bukan kepalang, namun toh kami bersedia memberinya tawa terlebar.
Kedua jarum jam dinding di sudut ruang sudah bersetubuh hening, sementara angin di luar makin menggoda kami untuk lelap. Kami paksa kelopak mata terbuka untuk meyakinkan seseorang tadi bahwa kami mendengarkan. Untunglah nyala liar lilin itu redup. Kalau tidak, urat-urat mata kami yang merah menyerupai garis retak pasti terkuak dan mengubur kesan antusias. Satu-satunya yang jujur malam itu adalah lelahnya tubuh. Sayang, kejujurannya pun kami bungkam.
Setengah jam sebelum potret pasta, kami disuguhi cermin lain. Potongan daging sapi yang nyaris setipis irisan bawang digoreng dan diletakkan berminyak di atas irisan daun hijau yang asing. Seperti fokus perhatian, irisan daging tadi dikelilingi wortel cacah dan tomat potong dadu di atas, kanan, dan kirinya. Kami tatap lekat-lekat keindahan warna-warni – hijau, cokelat muda, merah menyala, dan orens – di bawah dagu kami, berharap kenikmatan bersembunyi di sana. Kami antar irisan daging, cacahan wortel, dan tomat potong dadu tadi ke atas lidah yang basah. Lama kami mengunyah, berpikir, dan mencari. Kami tak menemukannya, melainkan yang lain – sebuah keinginan kuat untuk mencari tempat muntah. Toh kami masih tersenyum.
Pikiranku melayang ke tiga tahun silam, ketika ibu belum kembali ke Tuhannya. Serpihan-serpihan daging yang dari tadi hanya kubolak-balik dengan garpu kupandangi. “Di tangan ibuku, dia pasti jadi lebih nikmat,” benakku. Ibuku memasak dengan kejujuran. Merah di saus dan sambalnya pasti pedas. Rasa masam tomat hanya dijadikannya aksen untuk mengimbangi rasa pedas tadi. Sering kali sambal itu hanya disiramnya di atas ikan sardin yang digoreng kering.
Ditemani uap nasi panas, kami makan lahap sambil bercerita tentang pohon rambutan yang mulai berbuah atau jerat burung ayam-ayaman yang justru dilewati biawak sehingga rusak semalam. Kami tak mendiskusikan buku dan rasa senyum kami tak seperti tomat pasta.
Terkadang ia menyambut kami di sabtu siang dengan nasi panas, ikan asin kepala batu belah digoreng garing, aneka rebusan – daun singkong, daun pepaya, kacang panjang, labu siam – dan sepiring kecil sambal belacan. Belacan yang dibuat dari ebi itu dibelinya di pasar becek 500 rupiah. Ia panggang belacan itu di atas bara sampai sedikit menghitam sehingga baunya menyeruak mengusik tetangga, lalu ia ulek bersama cabai, bawang, dan tomat yang juga lunak oleh bara. Ke dalam sambal itulah aneka rebusan kami cocol, menemani dua-tiga piring nasi yang tak terasa ditambah. Diskusi kami sabtu itu soal tukang rumput di dekat kantor bapak yang ludes tanah dan kerbaunya, namun tetap gagal memasukkan anak sulungnya jadi pegawai negeri. Iba kami tulus pada orang yang ditipu itu. Kami tak membicarakan branding strategy dan rasa senyum kami tak seperti tomat pasta.
Kurindukan kesederhanaan itu, sesuatu yang sering orang tertawakan di sini. Keindahan dan gengsi mereka puja di ibukota. Orang dewakan keberbedaan di atas rasa, seperti kami yang malam itu mengucapkan terima kasih kepada pria berkulit pucat dan bermata besar pemilik restoran pasta. Sempat pula kami memuji masakannya yang enak.
“Kau dan kesederhanaanmu…,” tak kuteruskan lamunan itu, tak ingin menyeka tetes kedua di sudut mata.
Subscribe to:
Posts (Atom)