Terpana aku ketika berganti-ganti kami membacakan puisi Edgar Allan Poe, The Raven, siang itu. Akukah si narator tanpa nama yang menghabiskan umur membaca kearifan-kearifan yang terlupakan, hanya demi melupakan hilangnya orang-orang tercinta? Kalau saja kami tak berlima, barangkali aku sudah berkabung di ruang itu.
Seekor gagak mencangkung di patung Pallas, seperti hendak mengolok-olok rasa kehilangan, mengejek drama yang dibawa kesendirian. Hendak marah aku. Tapi marah hanya akan membuatnya terbang, pikirku. Urung. Dan pikiran ini, kenapa pula semakin jauh menjejak ke belakang, ke yang dulu? Sudahlah. Apa lagi yang dicarinya? Ya, di sana, dalam pigura-pigura, ada potret-potret mereka. Yang pergi. Dan aku yakin, burung itu pun akan pamit, seperti mereka yang lebih dulu berlalu bersama kenangan-kenangannya.
"Nevermore," jawabnya. Ah..., dia gagak yang bicara. Benarkah kau takkan pergi? "Nevermore," ulangnya. Aku mulai ceria. Tapi itu sebelum aku bertanya. Akankah aku bersatu kembali dengan Lenore-ku di surga kelak? Dan dia hanya punya satu jawab: "Nevermore".
Kelas Thea benar-benar meninggalkan kesenduan yang mendalam, bahkan berjam-jam setelah buku kami tutup. Ke mana aku berjalan, seperti ada larik-larik The Raven yang sengaja dibacakan dengan pengeras suara di seluruh sudut London yang menua.
Di Charing X yang riuh:
Ah, distinctly I remember it was in the bleak December,
And each separate dying ember wrought its ghost upon the floor.
Eagerly I wished the morrow;- vainly I had sought to borrow
From my books surcease of sorrow- sorrow for the lost Lenore-
For the rare and radiant maiden whom the angels name Lenore-
Nameless here for evermore.
Di peron stasiun London Bridge yang padat:
Deep into that darkness peering, long I stood there wondering, fearing,
Doubting, dreaming dreams no mortals ever dared to dream before;
But the silence was unbroken, and the stillness gave no token,
And the only word there spoken was the whispered word, "Lenore!"
This I whispered, and an echo murmured back the word, "Lenore!"-
Merely this, and nothing more.
Di pelataran Lewisham yang muram:
Then methought the air grew denser, perfumed from an unseen censer
Swung by Seraphim whose footfalls tinkled on the tufted floor.
"Wretch," I cried, "thy God hath lent thee- by these angels he hath sent thee
Respite- respite and nepenthe, from thy memories of Lenore!
Quaff, oh quaff this kind nepenthe and forget this lost Lenore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."
Di Blackheath yang memanggil-manggil tangis:
"Prophet!" said I, "thing of evil- prophet still, if bird or devil!
By that Heaven that bends above us- by that God we both adore-
Tell this soul with sorrow laden if, within the distant Aidenn,
It shall clasp a sainted maiden whom the angels name Lenore -
Clasp a rare and radiant maiden whom the angels name Lenore."
Quoth the Raven, "Nevermore."
Begitu terus, diulang dan diulang. Hingga larut mata tak kunjung terpejam. Aku tak henti bertanya, tak usai menggugat. Tapi yang kudengar lagi-lagi "Nevermore" yang tak terbantahkan. Dalam diamku memandangi rintik hujan yang memukul-mukul kaca jendela malam itu, aku sempat berharap sang gagak hinggap di situ. Mungkin aku bisa memintanya berubah jadi nabi. Atau jadi serafim. Mungkin akan kutulis sepucuk surat dan kuminta dia menghantarkannya ke surga. Mungkin aku akan bertanya, mungkinkah aku berubah menjadi burung juga. Tapi mungkin demi mungkin yang tak berkesudahan akhirnya membuatku lelah juga. Dan aku tertidur dalam rindu. Jauh dari pulas. Yang terakhir kuingat hanya "Nevermore".
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment