19 October 2008

"Karenin, aku dekat."

Here lies Karenin. He gave birth to two rolls and a bee.

Setiap kali aku terkenang padamu, duduk diam aku di bawah pohon apel itu, mengingat-ingat apa yang telah kau ajarkan pada kami di dalam kebisuan dan keberserahanmu. Kau yang tak punya kehendak, kau yang tak memendam daya gugat, kau yang riang oleh pengulangan-pengulangan.

Aku bersyukur telah belajar dari mencintaimu, bahwa hanya cinta yang tak meminta pun tak berharaplah yang benar-benar bisa disebut tulus. Jika yang dicinta hanya teman, di mana baiknya? Jika kita mencintai orang hanya agar kita "diizinkan" ada, tak layak itu disebut cinta. Juga bukan cinta jika dasarnya membutuhkan semata. Kita takkan pernah menetapkan dengan pasti, bagian mana dari hubungan kita dengan orang lain yang merupakan hasil dari emosi-emosi kita - cinta, antipati, amal-kasih, atau kebencian - dan bagian mana yang ditentukan oleh permainan kuasa yang terus-menerus antara kita dan orang-orang itu. Kebaikan manusia yang sejati, dan segala kemurnian dan kebebasannya, hanya akan terwujud ketika sang penerima kebaikan tak punya kuasa.

Karenin, siapa lagi yang akan memberiku petuah kini. Sepeninggalmu, aku dirundung penyesalan bahwa dalam hidupku aku telah mencintai dengan menarik. Padahal mencintai juga berarti kadang merelakan diri ditarik, juga sering mengulur. Aku kisut dirundung sesal tentang ini. Hingga akhirnya di lantai dansa, aku dan dia angkat bicara - diiringi denting-denting piano yang serasa mabuk dan terhuyung - siapa menarik siapa, siapa mengurung siapa, siapa menyakiti siapa.

Aku yang menginginkannya menjadi tua, seekor kelinci. Tapi kini aku memikirkannya kembali dalam makna baru. Apa arti menjadi kelinci? Artinya hilang segala kekuatan. Tak seorang pun lagi lebih kuat dari yang lain. Itulah sebabnya kami bisa saling dekap dalam perasaan aman.

Dalam langkah-langkah yang lemah tapi padu, kami sadar sesungguhnya kami saling tarik, ke dalam apa yang kami sebut sebagai kesedihan. Tapi anehnya malam itu kami menari sambil menyunggingkan senyum yang paling indah dalam kehidupan kami, karena kami sadar, apa pun yang telah kami lakukan dan lewati, kami kini masih berdua, hanya berdua, dan bahagia. Ya, kesedihan yang ganjil dan kebahagiaan yang janggal. Kesedihan itu berarti: kami telah tiba di stasiun terakhir. Kebahagiaan itu: kami masih bersama. Kesedihan itu bentuk, kebahagiaan isi. Kebahagiaan mengisi ruang kosong dalam kesedihan. Dan kami akan berdansa hingga piano tak lagi bersuara, bahkan makhluk-makhluk nocturnal pun telah henti bicara.

Karenin, kapan pun kau merindu, aku di sini. Dekat.





Setelah akhirnya menuntaskan The Unbearable Lightness of Being pagi ini

No comments: