09 October 2008

Minggu Ersen

Menguaplah segala curiga khas first-timer ketika Ersen tua mulai bicara. Dia seorang Tunisia beranak empat yang lahir di Inggris. Tapi aksen Tunisia yang kadang terdengar menggelitik, tak lekang dari bicaranya. Setelah belasan jam kebisuan yang ricuh di sebuah maskapai Arab yang aroma kabinnya seperti aroma di toko rempah, celoteh Ersen si sopir taksi terasa begitu melegakan.

Ersen bukan orang kuliahan, tapi diskusi kami nyambung tentang banyak hal - perlambatan ekonomi dunia, pemanasan global, budaya, dan entah apa lagi. Ersen akan bicara dari sudut pandang pembaca surat kabar dan pemerhati yang awam tapi bersemangat. Tentang musim yang semakin aneh di London. Tentang nyamuk yang puluhan tahun tak ada tapi kini singgah lagi karena London semakin panas. Tentang kebiasaan orang-orang Inggris yang semakin gemar menggesek kartu kredit tanpa berpikir akan membayar dengan apa. Sambil sesekali menekan tombol di alat penjejak lokasi di mobilnya, "Profesor" Ersen akan memberikan kuliah singkatnya tentang sejarah, budaya, dan dinamika sosial di Inggris. Hal-hal trivial seperti beda 'heath' dan 'pasture' atau 'park' dengan 'communal playground', entah kenapa, terdengar begitu menarik ketika keluar dari mulutnya. Dan dia berhasil membuatku tersenyum tak henti di sepanjang jalan.

Jalan-jalan London sepi sore itu. "Beginilah jalanan pada hari Minggu," kata Ersen. Aku bertanya, apa yang dilakukan orang-orang Inggris pada hari minggu. Pergi rekreasi atau tinggal di rumah dan menonton TV, kata Ersen. Tapi, katanya lagi, tak semua orang bisa menikmati semua 'kemewahan' itu. Ada orang-orang yang harus tetap bekerja pada hari Minggu agar tetap hidup. Ya, dia salah satunya. "Hidup semakin berat di negeri ini. Bahan makanan, gas, listrik, makin mahal kian hari," katanya sambil mengenang roti yang dulu bisa didapat dengan uang 20 pence. Ah..., Ersen, dia baru saja merusak gambaran kemakmuran negeri ini yang ada di kepalaku yang naif. Dan segera aku menemukan kesamaan yang dimiliki semua belahan dunia - yang punya dan yang tak punya, yang sejahtera dan yang papa. Di pojok mana pun, dua kelas itu akan ada.

Di tengah perjalanan, sempat pula Ersen menepi untuk membuka jaket tebalnya yang bikin gerah, sambil tak henti meminta maaf sekiranya itu tak sopan. Tak apa, kataku, memandang sekilas kaus buntungnya yang jelas bukan pilihan golongan sejahtera. Aku diam, mereka-reka bagaimana Ersen menjalani hidupnya di kota serba gemerlap ini. Dan tersadar aku, ada sesuatu yang sedari tadi tak sekali pun kudengar dalam celotehnya. Keluh. Ya, tak secuil pun nada keluh terlontar dari mulutnya yang terus bicara. Tak juga tertoreh di wajahnya. Ceritanya tentang hidup yang keras adalah kesimpulan yang ditariknya sambil menceburkan diri dalam hidup yang disebutnya keras itu. Ersen jelas bukan kanak-kanak yang merengek di tepi kolam, menolak terjun. Dia petarung kehidupan yang tak menyerah.

Lamunku buyar saat mobil berhenti. Kami telah tiba di tujuan. Setelah sebuah selamat tinggal dan terima kasih yang cepat, Ersen tua berlalu, mungkin masih akan kembali ke Heathrow untuk menjemput entah siapa. Aku melangkah ke dalam rumah. Terselip seiris kagum yang tak pergi.

No comments: