Delapan gerbong, mungkin seribu orang, sejuta pergumulan. Aku satu di antaranya. Seperti sekeranjang ikan kering yang disusun berjejal. Namun yang terdengar hanya gesekan roda kereta dengan rel baja. Atau suara desis yang samar-samar dari iPod entah siapa di sebelah sana yang disetel - entah sengaja entah tidak - terlalu keras. Setengah jam bisa berlalu tanpa sepatah kata. Suara roda kereta tiba-tiba berubah jadi melodi sendu dengan ritme yang begitu teratur. Tapi tanpa lirik. Seribuan orang tadi diam karena telah menemukan tempat sembunyi. Tak ada semak, tanpa belukar. Mereka bersembunyi di click-wheel iPod yang bundar, di balik lembar demi lembar London Lite gratisan yang isinya payudara, gosip, dan bola, di buku-buku yang tebal dan sangar. Mereka seperti hidup di tabung kaca masing-masing yang tak saling beririsan. Lalu di setiap perhentian, begitu pintu di buka, mereka akan bergegas dalam langkah yang cepatnya menggila, tanpa maaf menabrak siapa pun yang lambat. Mengapa tak saling bicara?
Mungkin karena tak ada yang kami anggap penting, berguna, bermanfaat untuk kemaslahatan pribadi kami. Segera aku teringat salah satu cerita pendek Gabriel Garcia Marquez yang kami bahas belum lama, A Very Old Man with Enormous Wings. Tentang seorang tua yang ditemukan oleh Pelayo di halaman rumahnya, dia yang compang-camping, payah, dan berkubang lumpur. Tapi dia punya sepasang sayap. Lalu si tua dituduh sebagai malaikat yang datang untuk mencabut nyawa anak Pelayo yang malam itu demam parah, namun urung menyelesaikan misinya setelah dihantam cuaca yang - meminjam kata-kata Marquez - sedih. Si tua pun dikurung. Namun tak lama anak itu pun sembuh. Pelayo berencana melepas si tua bersayap itu ke laut dengan rakit yang diberi persediaan air dan makanan. Dia urung dilepas subuh itu. Orang banyak telah berkerumun menontonnya, seperti menonton binatang sirkus. Mereka terbahak.
Seorang pendeta mencoba menengahi, membuka-buka katekismus yang dia kira akan menjawab pertanyaan tentang malaikat. Dengan naif dia menyapa si tua dalam bahasa Latin yang dia sebut bahasa Tuhan. Dan menyerapah dia menyebut si tua yang tak membalas sebagai iblis. Istri Pelayo seperti Warren Buffett zaman itu, yang sadar peluang dan uang. Dia taruh si tua dalam pagar. Lalu orang-orang harus melempar 5 sen untuk menontonnya. Dan ke situlah datang orang-orang yang lemah jantung, yang sukar tidur hanya karena suara bintang, yang lumpuh, yang pincang. Mereka cabuti bulu pada sayap si tua dan menyentuhkannya pada bagian tubuh mereka yang cacat seraya berharap kesembuhan. Tak sedikit pun dan tak sedetik pun mereka memikirkan si tua, hanya kepentingan pribadi. Tak juga keluarga Pelayo yang kemudian membangun 'istana' dari uang para penonton itu.
Aku membayangkan betapa pragmatisnya manusia, yang selalu memikirkan guna bagi dirinya sendiri, bahkan terhadap malaikat. Kubayangkan si tua bersayap itu jatuh dari langit ke dalam kereta Bakerloo Line yang padat kala pagi. Mungkin kami, ribuan manusia yang bersembunyi tadi, baru akan saling bicara. Tentang apa yang bisa kami manfaatkan darinya, tentang keuntungan yang mungkin kami keruk darinya. Begitu takut aku membayangkan diriku menyentuh kening si tua yang penuh kerut sembari mengucap harap semoga terjadi perbaikan radikal dalam karierku. Barangkali seseorang yang lain akan mencabut sehelai bulu dari sayapnya sambil membayangkan sebuah apartemen mewah di Marble Arch. Yang lain mungkin sekadar menginjak kakinya sambil mengangankan hubungan yang kembali mesra dengan pasangan.
Merinding aku membayangkan betapa manusia bisa jadi begitu pragmatis terhadap apa pun yang dihadapinya. Entah pada hari ke berapa di London, aku memutuskan untuk tidak lagi bersembunyi di balik iPod, buku, apalagi London Lite. Setiap pagi kini aku selalu mencoba menatap muka orang-orang di sekelilingku di kereta, membagi sedikit senyum jika beradu mata dengan mereka yang - sebenarnya dalam hatinya - ingin menyapa. Atau sekadar memiringkan badan di lorong yang sesak agar orang lain bisa lewat, menjawab "no problem at all" ketika mereka mengatakan "thank you". Duduk di sebelah perempuan berkulit legam yang entah kenapa tidak ada seorang pun yang mau menduduki kursi kosong di sebelahnya padahal kereta itu sedang penuh sesak. Aku ingin menatap dengan penuh harap bulu-bulu yang kembali tumbuh di kedua sayap si tua, dan tersenyum melepas dia yang mencoba kembali terbang keluar dari pagar yang mengurungnya, melayang di atas atap-atap rumah tempat para penonton itu bersembunyi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment