Jawil tanganku ketika pagi tiba, karena nyanyi balam takkan membuatku terjaga, seperti juga adzan yang mengalun takkan membuatku bangun. Aku dibuai mimpi yang sesekali ditingkahi igau.
Tentang menjadi manusia. Maksudku dengan menjadi manusia adalah merasakan kelemahan, ditekuk kekurangan-kekurangan. Aku tak sedang bicara tentang sikap menyerah. Mimpi ini bukan tentang menang-kalah.
Suatu kali hening menyandung kakiku, membuat pikir terkilir. Lalu tiba-tiba aku merindukan lagu yang bukan aku, gelak yang bukan aku, tangis yang bukan aku. Mendadak aku dan keriuhan pikiran-pikiranku sendiri tak lagi cukup menyenangkan, apalagi menenangkan. Sejenak lalu kukira kebebasanlah yang paling kucari, absennya keharusan untuk menimbang-nimbang yang di luar aku. Tapi seketika aku terdorong menakar ulang definisi tentang bebas. Malah kukira kini aku ingin menimbang-nimbang yang bukan aku, melupakan diri. Aku mau menjadikan ketidakbebasan menjadi kebebasanku yang baru.
Aku ini kaki kanan yang kekar, yang ingin berlari kencang mencapai negeri-negeri jauh. Dalam kenaifan yang berurat berakar, kegairahan memandang negeri-negeri itu, kukira yang kubutuhkan adalah kasut baru. Yang kuat untuk tanah berbatu, yang tegar untuk jalan berliku. Yang takkah rusak ketika mendaki setapak. Kasut kukenakan. Seperti anak panah aku siap laju. Kencang? Pincang. Kukira yang salah jalannya, tanahnya. Kusangka yang lemah kasutnya. Lalu menoleh aku ke kiri. Tertegun. Aku sadar, telah lama berhenti pintar.
Tak hadir yang satu lagi, yang bukan kanan. Hanya bersamanya aku bisa menapak di tanah nun jauh. Ya, dia memang berarti ketakbebasan: ke mana dia, ke situ aku. Yang diinjaknya, kuinjak pula, mungkin. Aku akan berhenti seenaknya memilih kasut cokelat tua, sekiranya dia lebih suka merah muda. Karena warna kami tentulah mesti senada demi tak mengundang tawa. Tak leluasa lagi aku menapak berlama-lama di tanah. Dalam berlari, ketika dia menapak tentulah aku harus mengawang di udara, kalau kami ingin maju. Hanya ketika diam atau melompat kami dalam posisi yang sama. Dalam duduk bersila, siapa mengatasi siapa, akan berganti-ganti.
Mimpi buruk kau bilang? Sama sekali bukan. Bagiku ini mimpi terindah. Sebab dia bukan penghalang. Ketidakbebasan yang dibawanya membebaskan dan membahagiakanku. Tak akan ada lagi pincang. Hanya sesekali mungkin timpang. Saling bantu, kami daki bukit berbatu. Bergantian bertumpu, kami lalui lereng berdebu.
Aku akan belajar seni bergantian, sehingga nanti tanpa berpikir lagi aku akan tahu kapan harus menapak, kapan mengangkasa. Aku akan berhenti mempersoalkan siapa mengatasi siapa, sebab dalam bersila yang kami ingini kenyamanan bersama. Aku akan belajar menerima merah muda, membayangkannya seperti menapak di rimbunan bunga-bunga. Tentulah kami akan saling memerciki ketika berlari melintasi pantai, tapi kami takkan berang. Sebab percikan itu akan mendinginkan otot-otot yang haus. Dan ketika akhirnya menapak di tanah yang pernah tak terjangkau mata, mungkin kami telah tebal berdebu, pun berbau. Tapi itu tak lagi soal, sebab kami telah tiba dan masih bersama. Kanan dan kiri yang ke mana pun sehati.
Dalam terpejam, aku tak tahu apakah balam telah berdendang, adakah adzan kumandang. Tapi berjanjilah tuk bangunkan aku kala pagi mendekat. Sebab aku ingin bergegas melihatnya muka dengan muka, sekalipun harus pincang, untuk katakan bahwa aku si buta yang baru tercelik. Yang kubutuhkan bukan kasut cokelat tua. Melainkan yang bukan kanan, yang akan membawaku serta dan yang dengan tertawa kuikuti entah ke negeri mana.
Jawil tanganku ketika pagi tiba.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment