Hanya ada Julie dan Paige minus ayah di sebuah rumah mungil berlantai dua berkamar tiga yang keberantakannya masih bisa diterima mata. Juga tiga kucing persia - Bobby, Batton, dan entah siapa - yang, kata Julie, seperti membentuk dua blok yang berseberangan, meski tak saling cakar. Aku tak pernah ingin menanyakan kepada Julie perihal ketidakhadiran ayah ini. Terlalu pribadi, pikirku.
Julie gemar nonton The X Factor, ikut terharu oleh kisah-kisah finalisnya yang lebih sering klise. Kecintaannya pada tanah air barangkali tergambar dari kegembiraannya yang meluap ketika Inggris melibas Kazakstan 5-1 pada laga kualifikasi Piala Dunia kemarin. Dia staf computer maintenance di sebuah universitas kecil dekat sini. Julie tipe ibu yang mengandalkan microwave, oven, dan mesin cuci piring. Selalu meluangkan waktu untuk bertanya, bagaimana hariku, bagaimana pelajaranku, apakah aku sudah bisa online atau tidak. Peduli.
Paige seorang remaja yang sedang peduli pada gaya dan warna rambut. Dia tahan berjam-jam di telepon. Kadang-kadang juga terlihat sedang mencoret-coret buku gambar yang besar.
Hubungan mereka? Baru mulai terang pada hari ketiga aku di rumah mungil itu. Ada suara-suara kudengar di ruang tv di bawah, tapi bukan membahas film atau opera sabun yang diputar malam itu. Nada suara Julie meninggi, sementara Paige selalu menyahut cepat di setiap akhir kalimat ibunya itu, dengan suara yang disengaja untuk menambah sebal. Tagihan telepon jadi pasal. Paige kecanduan menelepon. Julie pusing, tagihan mau dibayar dengan apa. Lalu si anak lari ke kamarnya di lantai atas dengan langkah yang sengaja dibuat berat agar bising. Si ibu terus memanggil. Dia belum selesai bicara, katanya. Entah jam berapa mereka berhenti. Aku terlelap sebelum gencatan senjata dicapai.
Hari lain soalnya adalah Paige yang bolos sekolah. Dia tidak suka sekolahnya, katanya. Julie mencecar retoris, Paige mau jadi apa kelak kalau malas sekolah. Yang ditanya malah mengancam minggat. Kepedulian seringkali memang dipersepsi berbeda.
Tadi malam topiknya adalah Paige yang pulang larut tapi tak bilang. Tapi perang tak berlarut karena The X Factor yang tayang langsung malam itu mengalihkan perhatian Julie. Paige selamat di kamarnya.
Tapi pagi ini ketika aku bangun, kudengar Paige yang mengingatkan ibunya untuk mandi karena air di bathtub sudah penuh. Suaranya damai sekali. Tak berapa lama, Paige remaja memanggil ibunya kembali dengan suara yang sama, menanyakan soal padu padan baju – sepertinya dia mau ke pesta. Julie menyarankan ini dan itu, yang ditanggapi putrinya dengan tawa. Saat Paige tengah mematut-matut diri di depan cermin, sempat pula dia berteriak kepada Julie yang sedang menonton The X Factor di kamar, finalis mana membawakan lagu apa. Julie menjawab dengan setengah berteriak pula.
Ah…, begitulah ibu, anak, dan cinta. Kalau yang ketiga hadir mengikat, ancaman minggat hanya akan jadi bunga-bunga pencerah hari. Di penghujung malam, si pengancam toh akan mengendap-endap naik ke kamarnya dan, dengan perasaan menyesal, mengintip ibunya yang pura-pura tidur, padahal menahan senyum mendengar buah hatinya kembali. Ibu yang menyumpah dirinya sudah tak tahan lagi, akan jumpalitan ketika mendapati anaknya kehilangan selera makan karena diserang sakit.
Tapi sayangnya ada yang tak begitu. Banyak anak yang lari dari orang tua yang telah membesarkannya tanpa sedikit pun memikirkan diri sendiri. Atas nama kemandirian, atas nama kemajuan zaman, atas nama kesenangan, atas nama kebebasan.
Seperti gadis belia yang menyelinap kala pagi meninggalkan ayah dan ibunya dalam lagu Beatles, She’s Leaving Home, yang kami bahas dalam kuliah kami di suatu pagi. Sepucuk suratnya meninggalkan sekelumit tanda tanya yang pedih di hati mereka – apa salah kami, apa yang kurang, mengapa?
Sore ini aku duduk di atas rumput di sebuah kolam di dekat Blackheath Village yang ramai di akhir pekan, menyelesaikan paruh akhir sebuah buku yang tak kunjung kelar kubaca. Anak-anak kecil melemparkan remah-remah roti ke arah angsa-angsa yang menanti dengan gembira di tengah kolam. Sang ibu tak henti tersenyum menyaksikan tingkah anak-anaknya yang lucu.
Perhatianku tiba-tiba teralih ke dua pasangan paruh baya yang mendorong seorang perempuan renta di kursi roda. Dia pasti ibu dari salah satunya. Mereka mendorongnya ke tepi kolam. Sang istri menjelaskan pemandangan di kolam itu, sedikit berbisik di dekat telinga sang ibu yang telah rabun agaknya. Lalu perempuan itu menaruh sejumput kacang di telapak tangan sang ibu untuk dia kunyah sesekali. Perempuan renta itu tak sepatah kata pun bicara. Dia hanya menatap lurus ke arah angsa-angsa yang berebut makanan. Lalu ketika tempat duduk mereka diterpa sinar matahari yang terik, mereka mendorong si renta ke tempat yang teduh dan mulai lagi mengajaknya bicara, sekalipun dia hanya diam.
Aku berhenti membaca, didera bayangan-bayangan yang membuatku merindu, seketika teringat lagu Beatles itu, She’s Leaving Home.
Julie gemar nonton The X Factor, ikut terharu oleh kisah-kisah finalisnya yang lebih sering klise. Kecintaannya pada tanah air barangkali tergambar dari kegembiraannya yang meluap ketika Inggris melibas Kazakstan 5-1 pada laga kualifikasi Piala Dunia kemarin. Dia staf computer maintenance di sebuah universitas kecil dekat sini. Julie tipe ibu yang mengandalkan microwave, oven, dan mesin cuci piring. Selalu meluangkan waktu untuk bertanya, bagaimana hariku, bagaimana pelajaranku, apakah aku sudah bisa online atau tidak. Peduli.
Paige seorang remaja yang sedang peduli pada gaya dan warna rambut. Dia tahan berjam-jam di telepon. Kadang-kadang juga terlihat sedang mencoret-coret buku gambar yang besar.
Hubungan mereka? Baru mulai terang pada hari ketiga aku di rumah mungil itu. Ada suara-suara kudengar di ruang tv di bawah, tapi bukan membahas film atau opera sabun yang diputar malam itu. Nada suara Julie meninggi, sementara Paige selalu menyahut cepat di setiap akhir kalimat ibunya itu, dengan suara yang disengaja untuk menambah sebal. Tagihan telepon jadi pasal. Paige kecanduan menelepon. Julie pusing, tagihan mau dibayar dengan apa. Lalu si anak lari ke kamarnya di lantai atas dengan langkah yang sengaja dibuat berat agar bising. Si ibu terus memanggil. Dia belum selesai bicara, katanya. Entah jam berapa mereka berhenti. Aku terlelap sebelum gencatan senjata dicapai.
Hari lain soalnya adalah Paige yang bolos sekolah. Dia tidak suka sekolahnya, katanya. Julie mencecar retoris, Paige mau jadi apa kelak kalau malas sekolah. Yang ditanya malah mengancam minggat. Kepedulian seringkali memang dipersepsi berbeda.
Tadi malam topiknya adalah Paige yang pulang larut tapi tak bilang. Tapi perang tak berlarut karena The X Factor yang tayang langsung malam itu mengalihkan perhatian Julie. Paige selamat di kamarnya.
Tapi pagi ini ketika aku bangun, kudengar Paige yang mengingatkan ibunya untuk mandi karena air di bathtub sudah penuh. Suaranya damai sekali. Tak berapa lama, Paige remaja memanggil ibunya kembali dengan suara yang sama, menanyakan soal padu padan baju – sepertinya dia mau ke pesta. Julie menyarankan ini dan itu, yang ditanggapi putrinya dengan tawa. Saat Paige tengah mematut-matut diri di depan cermin, sempat pula dia berteriak kepada Julie yang sedang menonton The X Factor di kamar, finalis mana membawakan lagu apa. Julie menjawab dengan setengah berteriak pula.
Ah…, begitulah ibu, anak, dan cinta. Kalau yang ketiga hadir mengikat, ancaman minggat hanya akan jadi bunga-bunga pencerah hari. Di penghujung malam, si pengancam toh akan mengendap-endap naik ke kamarnya dan, dengan perasaan menyesal, mengintip ibunya yang pura-pura tidur, padahal menahan senyum mendengar buah hatinya kembali. Ibu yang menyumpah dirinya sudah tak tahan lagi, akan jumpalitan ketika mendapati anaknya kehilangan selera makan karena diserang sakit.
Tapi sayangnya ada yang tak begitu. Banyak anak yang lari dari orang tua yang telah membesarkannya tanpa sedikit pun memikirkan diri sendiri. Atas nama kemandirian, atas nama kemajuan zaman, atas nama kesenangan, atas nama kebebasan.
Seperti gadis belia yang menyelinap kala pagi meninggalkan ayah dan ibunya dalam lagu Beatles, She’s Leaving Home, yang kami bahas dalam kuliah kami di suatu pagi. Sepucuk suratnya meninggalkan sekelumit tanda tanya yang pedih di hati mereka – apa salah kami, apa yang kurang, mengapa?
Sore ini aku duduk di atas rumput di sebuah kolam di dekat Blackheath Village yang ramai di akhir pekan, menyelesaikan paruh akhir sebuah buku yang tak kunjung kelar kubaca. Anak-anak kecil melemparkan remah-remah roti ke arah angsa-angsa yang menanti dengan gembira di tengah kolam. Sang ibu tak henti tersenyum menyaksikan tingkah anak-anaknya yang lucu.
Perhatianku tiba-tiba teralih ke dua pasangan paruh baya yang mendorong seorang perempuan renta di kursi roda. Dia pasti ibu dari salah satunya. Mereka mendorongnya ke tepi kolam. Sang istri menjelaskan pemandangan di kolam itu, sedikit berbisik di dekat telinga sang ibu yang telah rabun agaknya. Lalu perempuan itu menaruh sejumput kacang di telapak tangan sang ibu untuk dia kunyah sesekali. Perempuan renta itu tak sepatah kata pun bicara. Dia hanya menatap lurus ke arah angsa-angsa yang berebut makanan. Lalu ketika tempat duduk mereka diterpa sinar matahari yang terik, mereka mendorong si renta ke tempat yang teduh dan mulai lagi mengajaknya bicara, sekalipun dia hanya diam.
Aku berhenti membaca, didera bayangan-bayangan yang membuatku merindu, seketika teringat lagu Beatles itu, She’s Leaving Home.
Wednesday morning at five o'clock as the day begins
Silently closing her bedroom door
Leaving the note that she hoped would say more
She goes downstairs to the kitchen clutching her handkerchief
Quietly turning the backdoor key
Stepping outside she is free.
She (We gave her most of our lives)
is leaving (Sacrificed most of our lives)
home (We gave her everything money could buy)
She's leaving home after living alone
For so many years. Bye, bye
Father snores as his wife gets into her dressing gown
Picks up the letter that's lying there
Standing alone at the top of the stairs
She breaks down and cries to her husband Daddy our baby's gone
Why would she treat us so thoughtlessly
How could she do this to me.
She (We never thought of ourselves)
is leaving (Never a thought for ourselves)
home (We struggled hard all our lives to get by)
She's leaving home after living alone
For so many years. Bye, bye
Friday morning at nine o'clock she is far away
Waiting to keep the appointment she made
Meeting a man from the motor trade.
She (What did we do that was wrong)
is having (We didn't know it was wrong)
fun (Fun is the one thing that money can't buy)
Something inside that was always denied
For so many years. Bye, bye
She's leaving home. Bye, bye
1 comment:
Membaca cerita lo, jadi inget beberapa murid gw yang punya masalah serupa. Begitulah remaja, sama seperti kita dulu (hmm, kita? gw kali, hehehe).. Kalau ada murid gw yang curhat masalah serupa, gw bilang (nggak tau ini bijak atau nggak, hanya upaya membuat yang bersangkutan lebih tenang),"Perbedaan pendapat antara orangtua dan anak itu wajar karena peran masing-masing mereka sudah jelas berbeda dan sering kali berseberangan dalam keinginan. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya sebagai anak. Kalau satu saat kita menjadi orangtua, baru kita akan sadar mengapa orangtua kita dulu rasanya selalu membatasi gerak kita." ;)
Post a Comment