di stasiun Victoria yang sekelam sketsa.
Seperti serpih kulit gandum yang diterbangkan angin
dari bibir alat penampi.
Bulir-bulirnya putih,
meluncur mencair ketika menyentuh bibirku.
Dengan mulut menganga
kucoba menangkap sekepal,
tapi sekuku pun tidak,
apalagi segumpal.
Ke mana kau?
Cepatlah, sebelum gegas mereka.
Usah takut udara yang beku.
Juga digentarkan angin yang menciutkan belulang.
Ada tanganku untuk kau pegang.
Kuhembuskan uap hangat,
kapan pun jemarimu mengerang.
Ke mari, ajarku menari.
Gerak apa saja,
tak seirama pun tak apa.
Berhitung kita hingga tiga,
lalu langkah menyamping sehasta dua.
Kau ingin aku bersenandung?
Wintersong kudendangkan ke telingamu,
setengah berbisik.
Menari kita, berputar-putar.
Tak ada orang lain,
tanpa silam, tak ingat esok.
Sampai mata kita terpejam,
ke buaian salju membenam.
Dan malam ini,
kita tak ingin apa pun lagi.
No comments:
Post a Comment